Hasil survei Saiful Mujani
Research and Consulting yang dilakukan pada 6-20 Desember 2012 dan
dirilis akhir pekan lalu sungguh mengharubirukan para pengurus Partai
Demokrat.
Partai yang berdiri pada 9 September 2001 ini, menurut hasil survei
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), elektabilitasnya semakin
merosot tajam, yaitu tinggal 8 persen, walau masih menduduki peringkat
ketiga setelah Partai Golkar (21 persen) dan PDI-P (18 persen). Padahal,
pada Pemilu Legislatif 2004, Demokrat mengawali debut politik dengan
memperoleh 8.455.225 suara (7,45 persen), yang setara dengan 57 kursi di
DPR, dan melonjak tajam jadi 21.703.137 suara (20,4 persen), setara dengan
150 kursi di DPR.
Kekhawatiran para pendiri dan pengurus Demokrat ialah apabila
menjelang Pemilu Legislatif 2014 tak ada perubahan positif atas elektabilitasnya,
perolehan suara Demokrat bukan saja kian tergerus, melainkan juga akan
sulit mencapai ambang batas parlemen (parliamentary
threshold) 3,5 persen. Ini berarti, nama Demokrat akan tinggal
kenangan. Bisa dibayangkan betapa pedihnya para pendiri melihat partai yang
dibangun dengan susah payah lenyap ditelan zaman dalam waktu begitu cepat,
hanya 13 tahun.
Gesekan Politik Baru
Hasil survei SMRC tentunya tak berbeda jauh dengan hasil survei lain
yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia atau lembaga survei lain. Tidaklah
mengherankan jika Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang
Yudhoyono menyebut kenyataan politik itu bukan lagi sekadar warning atau
lampu kuning, melainkan sudah menjadi lampu merah bagi Demokrat. Seperti
juga terjadi sebelumnya, para pendiri dan pengurus Demokrat bukan melihat
hal itu sebagai suatu hikmah tersembunyi bagi upaya mengonsolidasi
Demokrat, melainkan justru dijadikan manuver politik untuk, lagi-lagi,
menyalahkan Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum sebagai biang keladi
keterpurukan Demokrat, dilanjutkan dengan berbagai upaya untuk
menggulingkannya. Ibarat kaset rusak yang melantunkan suara sumbang
berulang-ulang, beberapa petinggi Demokrat lagi-lagi meminta Ketua Dewan
Pembina Demokrat SBY turun tangan menyelesaikan persoalan di partai
berlambang segitiga biru ini.
Kita melihat, sejak Anas terpilih jadi ketua umum lewat kongres
nasional di Bumi Priangan, 23 Mei 2010, mengalahkan Andi Mallarangeng dan
Marzuki Alie, kemelut internal Demokrat tiada berakhir. Demokrat sebagai
”Partai Besar” ibarat kapal limbung diterpa badai yang datang silih
berganti, dari persoalan faksionalisme yang tak sehat sampai korupsi besar
yang menghancurleburkan nama Demokrat, yang slogan kampanyenya pada Pemilu
Legislatif 2009 ialah ”Katakan Tidak
pada Korupsi”. Di tengah badai dahsyat itu, Demokrat tak punya nakhoda
kuat yang mampu menyelamatkan partai seperti dilakukan mantan Ketua Umum
Partai Golkar Akbar Tandjung pada awal Reformasi, yang mampu menyatukan
seluruh jajaran Golkar agar berjuang membangun ”Golkar Baru” supaya partai
itu tak lekang kena panas dan tak hancur diterpa badai.
Demokrat menghadapi banyak kesulitan, antara lain, pertama, Demokrat
belum beranjak dari fenomena politik ”Fans Club SBY” dan belum mampu
menunjukkan dirinya sebagai ”Partai Besar”. Meski segala aturan main
politiknya sudah lengkap, Demokrat masih bergantung pada sosok ketua dewan
pembina, ketua dewan kehormatan, dan ketua majelis tinggi yang semuanya
dipegang satu orang, SBY, dalam menyelesaikan persoalan besar yang
dihadapi. Demokrat belum punya mekanisme penyelesaian konflik atau kemelut
yang baik dalam artian yang nyata. Para politisi Demokrat juga amat kaku
atau kurang luwes dalam upaya mencari jalan keluar atas kemelut yang mereka
hadapi.
Kedua, sosok ketua dewan pembina yang selalu sangat hati-hati
berdasar pada aturan main partai menyebabkan kurang beraninya SBY mencari
terobosan baru yang apik dan diterima semua jajaran partai. Sebagai mantan
jenderal yang memang lebih berpengalaman sebagai konseptor politik
ketimbang komandan lapangan, SBY lebih menyukai melakukan ”tindakan dengan meminjam tangan orang
lain” (action by proxy)
sebagai modifikasi dari strategi war by proxy ketimbang turun tangan
sendiri langsung. Sebagai contoh, kemelut Demokrat terakhir ini bukannya
diselesaikan sendiri olehnya melalui manuver yang amat cantik, melainkan
justru ingin meminjam tangan Komisi Pemberantasan Korupsi agar cepat-cepat
menyelesaikan kasus-kasus korupsi di jajaran Demokrat yang, antara lain,
menyeret nama Anas.
Untungnya, Indonesia tak lagi berada di dalam sistem otoriter yang
dulu memungkinkan ucapan seorang penguasa lebih sakti daripada aturan
hukum. Pendekatan kekuasaan kini telah berganti dengan pendekatan hukum.
Karena itu, tidaklah mengherankan jika Ketua KPK Abraham Samad dan Juru
Bicara KPK Johan Budi menampik untuk mengikuti irama SBY dengan mengatakan,
”KPK tidak ada urusan dengan
politik!” Memang, urusan internal Demokrat adalah urusan Demokrat
sendiri dan bukan urusan KPK.
Ketiga, Demokrat belum mampu membangun rasa kebersamaan atau perasaan
kekitaan (We Feeling) di jajaran
pengurus partai, dari pusat sampai ke daerah, sehingga yang masih terbangun
adalah ”konsep kekitaan” di dalam
faksi-faksi yang ada di Demokrat berhadapan dengan konsep ”mereka” (They) atau faksi lain. Tidaklah
mengherankan jika setiap ada gagasan dari orang per orang pendiri atau
pengurus, selalu dipandang mewakili individu atau kelompok yang berlawanan.
Sebagai contoh, ketika ada jajaran pendiri atau pengurus pusat yang
mengusulkan agar Anas mundur atau diganti melalui KLB, atau agar SBY turun
tangan menyelesaikan kasus di Demokrat, seperti yang substansinya
diutarakan tiga menteri asal Demokrat (Jero Wacik, Syarifuddin Hasan, dan
Amir Syamsuddin), saat itu juga akan ada pendukung Anas yang pasang
kuda-kuda untuk mempertahankannya.
Anas memang berakar ke bawah dan tak jarang membuat pernyataan atau
manuver politik yang menunjukkan perlawanan atau pembangkangan terhadap
ketua dewan pembina atau tokoh pendiri Demokrat lainnya. Sebagai contoh,
Anas pernah mengatakan, keterpurukan elektabilitas Demokrat bukan karena
dirinya, melainkan karena kinerja pemerintah yang juga buruk di mata
sebagian orang.
Meski ada beberapa kandidat kepala daerah yang didukung Demokrat yang
sudah menang, seperti di Sulawesi Utara (SH Sarundajang) dan Papua (Lukas
Enembe), atau kemungkinan besar akan menang dalam pilkada, seperti Gubernur
Bali Made Mangku Pastika yang seperti Sarundajang hijrah ke Demokrat dari
sebelumnya didukung PDI-P atau Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang masih
kuat, orang lebih melihat kekalahan telak Demokrat di Pilkada DKI Jakarta
2012 dan Pilkada Sulawesi Selatan yang baru terjadi. Demokrat harus
berusaha keras bangkit dan bersatu serta mampu menyelesaikan kemelut
internalnya secara baik tanpa bantuan SBY. Jika tidak, bukan mustahil
Demokrat akan masuk ke dalam sejarah politik Indonesia sebagai partai yang
gemilang pada Pemilu Presiden 2004 dan Pemilu Legislatif serta Pemilu
Presiden 2009 yang mendukung SBY, tetapi rontok setelah SBY ”tak laku dijual lagi sebagai komoditas
politik” Demokrat pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar