Tanggal 14 Februari lalu, yang merupakan
Hari Valentine, saya menyaksikan pemandangan menarik. Di Toko Bunga
Floe,yang terletak di Plaza Senayan Jakarta, orang antre dengan membawa
beberapa tangkai bunga,menunggu petugas toko membuat karangan untuk bunga
mereka.
Ada beberapa
petugas yang dikerahkan sekaligus, layaknya loket di bank, masing-masing
membantu para pelanggan mengubah beberapa tangkai bunga menjadi karangan
bunga yang dikemas apik. Umumnya bunga tersebut dikemas menjadi buket
tangan (hand bouquet) yang siap
untuk disampaikan kepada orang yang mereka sayangi. Ketika menyaksikan
kejadian tersebut, saya kebetulan bertemu dengan seorang rekan kerja yang
sekarang pindah ke perusahaan lain.
Dia bercerita,
sebelumnya dia sudah datang ke Toko Bunga Floe itu dan melihat antrean
panjang.Oleh karena itu, kemudian dia memutuskan untuk pergi dulu dari
tempat tersebut, makan siang sambil menunggu antrean selesai. Sewaktu
kembali, teman saya mendapati antrean yang tetap atau bahkan lebih panjang
dari sebelumnya. Padahal, stok bunga yang tersedia sudah semakin menipis.
Oleh karena itu, dia buru-buru memilih bunga dan akhirnya masuk dalam
antrean tersebut.
Dari profil
mereka yang antre, ternyata variasinya sangat lebar. Bukan hanya mereka
yang berusia muda yang antre, banyak juga bapak-bapak yang ikut di dalamnya
(termasuk teman saya tersebut). Bahkan beberapa dari wajah mereka, saya
mendapatkan beberapa orang bule juga ikut antre menunggu bunga yang mereka
pilih untuk dikerjakan para petugas. Saya yakin, pemandangan semacam ini
juga terjadi di took bunga lainnya pada hariitu.
Saya menduga,
bahkan beberapa hari sebelumnya toko bunga tersebut menerima pesanan
rangkaian bunga untuk dikirimkan ke rumah pelanggan. Dari pemandangan
tersebut, saya berkesimpulan ternyata penyampaian bunga sebagai tanda kasih
sudah cukup dalam masuk dalam lifestyle
orang Indonesia. Hari Valentine yang sering dipandang sebagai budaya Barat,
ternyata juga sudah pula masuk menjadi bagian dari “tradisi” baru bagi
banyak orang Indonesia.
Pada akhirnya,
hal ini memiliki kemiripan dengan masuknya budaya barat seperti minum kopi
di gerai Starbucks dan Coffee Bean yang berasal dari negara Barat,maupun
yang sekarang diadopsi oleh pengusaha Indonesia dalam bentuk gerai Excelso,
JCo, maupun juga Kopi Luwak dan Kafe Bengawan Solo. Kita bahkan sudah
melihat hal itu sebagai pemandangan yang sangat biasa jika dalam resepsi
pernikahan banyak melihat puluhan rangkaian bunga papan ucapan selamat
kepada mempelai.
Di
gedung-gedung yang menjadi favorit untuk pesta pernikahan, maupun di
hotelhotel, rangkaian bunga papan tersebut akhirnya banyak menghiasi
dinding dari sejak pintu masuk sampai dengan tempat parkir. Dan kalau kita
perhatikan, jumlahnya semakin lama semakin banyak. Jika awalnya ucapan
selamat dengan menggunakan bunga papan tersebut banyak menggunakan nama
perusahaan,semakin lama semakin banyak pula ucapan selamat yang disampaikan
oleh pribadi.
Dengan melihat
perkembangan tersebut, kesimpulan besar yang dapat kita saksikan adalah
potensi industri bunga yang luar biasa. Berapa banyak tangkai bunga yang
harus dipotong untuk memenuhi kebutuhan tersebut maupun yang harus diimpor
dari luar negeri. Itulah sebabnya,dengan semakin berkembangnya kelas
menengah Indonesia, bisnis pertanian bunga bisa dipastikan akan terus
berkembang di tahun-tahun mendatang.
Dalam suatu
perbincangan dengan pemilik suatu perusahaan pertanian yang mengembangkan
bunga di daerah Gadog, Jawa Barat, ternyata perusahaan tersebut banyak
mengembangkan tanaman bunga krisan yang banyak dipesan dari luar negeri
terutama Jepang. Kemampuan mereka untuk memenuhi pesanan tersebut secara
rutin cukup mencengangkan saya.
Untuk kebutuhan
tersebut, mereka membangun rumah kaca (yang dibuat dari plastik)
sebagaimana rumah kaca yang banyak berkembang di negara lain. Saya
menyaksikan sendiri puluhan rumah kaca tersebut di dalamnya bermacam-macam
jenis bunga yang ditanam, sebagian untuk mengisi pasar ekspor dan sebagian
lagi untuk mengisi pasar di dalam negeri, seperti jaringan hotel maupun
dikirim ke pasar bunga Rawa Belong.
Ternyata
pertanian bunga dengan menggunakan rumah kaca cukup banyak dikembangkan di
daerah tersebut. Saya bahkan mendengar, bisnis pertanian bunga itu pun
banyak dikembangkan di dataran tinggi lainnya di Pulau Jawa. Dengan melihat
potensi yang sedemikian,pemerintah maupun perguruan tinggi juga perlu
melihat prospek industri pertanian bunga tersebut termasuk dalam kurikulum
yang mereka kembangkan di perguruan tinggi.
Dengan demikian
maka akan banyak kesempatan untuk memasuki bisnis pertanian bunga tersebut
yang dapat dilakukan di dalam negeri dan tidak usah tergantung pada impor.
Mengacu pada industri pertanian bunga di Belanda, kita dengan mudah dapat
menyaksikan hal ini jika kita hendak mendarat di lapangan udara Schiphol,
Amsterdam.
Dari
ketinggian, kita akan menyaksikan di tengah kegelapan (karena pesawat
biasanya mendarat di Amsterdam sangat pagi) terdapat kotak-kotak raksasa
berwarna kuning di sekitar bandara yang hendak kita darati. Kotak-kotak
kuning tersebut adalah kawasan rumah kaca yang untuk menjaga temperatur
menggunakan lampu yang berwarna kuning. Jadilah rumah kaca tersebut suatu
pemandangan yang menakjubkan yang dapat kita saksikan sebelum pesawat
mendarat.
Dalam suatu
artikel di Economist, pernah
muncul suatu cerita, bisnis bunga dari Belanda tersebut sekarang ini
melebar sampai Afrika. Negara seperti Kenya menjadi tempat pengembangan
bunga mawar yang jika panen langsung dikirim dengan pesawat ke negeri Belanda.
Dari tempat pelelangan bunga di Belanda tersebut, bunga dari Kenya akan
dikirim ke seluruh dunia. Jadilah industri pertanian bunga di Belanda
tersebut menjadi industri dengan omzet puluhan miliar dolar.
Dari
perbincangan saya dengan pengusaha bunga di Gadog tersebut, ternyata
permintaan dari Belanda pun juga sudah mulai merambah Indonesia. Semoga
para petani kita dapat meningkatkan kesejahteraan mereka, dengan memasuki
industri pertanian yang bernilai tambah tinggi seperti industri pertanian
bunga tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar