Pada akhir bulan Januari lalu Menko Kesra, Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan beberapa kalangan
mengeluh bahwa upaya penanggulangan kemiskinan menampakkan tren yang
lamban. Atau kalau berhasil, nilai penurunannya kecil. Bahkan, di beberapa
daerah trennya menampakkan stagnasi, maju tidak mundurpun tidak, alias
seperti layaknya tari poco-poco. Padahal pelaksana dan anggaran yang telah
disediakan dan terserap berjumlah triliunan rupiah. Begitu juga komitmen
politiknya sangat tinggi disertai dengan petunjuk berupa Instruksi Presiden
atau instruksi jajaran pimpinan di bawahnya yang cukup luas. Karena itu,
dipertanyakan alasan kelambanan tersebut.
Dicatat bahwa beberapa daerah yang menunjukkan kemajuan
berarti mempunyai strategi yang ampuh karena pemilihan sasaran yang tajam
dan pengertian yang luas tentang bentuk intervensi dukungan yang diberikan
kepada masyarakat miskin dan lingkungannya dalam artian luas. Daerah-daerah
yang berhasil umumnya mempunyai kemampuan memperbaiki infrastruktur dan
fasilitas yang memadai. Sehingga, keluarga miskin yang diberdayakan mampu
mengakses pelayanan yang diberikan pemerintah atau dari partisipasi
masyarakat yang peduli. Daerah-daerah yang menunjukkan kenaikan IPM
ditandai munculnya keluarga miskin yang menyumbang kenaikan IPM bukan hanya
karena yang sudah mampu makin menanjak saja. Kenaikan sedikit saja dari
setiap keluarga miskin, karena keluarga miskin jumlahnya banyak, akan
sangat signifikan dibandingkan dengan kenaikan sedikit dari nilai yang
sudah tinggi.
Daerah-daerah yang belum menunjukkan hasil positif
biasanya adalah daerah-daerah yang pendekatan operasional mikronya kurang
seksama, tidak cermat mempergunakan data rumah tangga sangat miskin (RTSM),
rumah tangga miskin (RTM) dan rumah tangga hampir miskin (RTHM). Daerah
yang menyebut RTSM sebagai sasaran utama tetapi tidak memberikan dukungan
yang sesuai karena tidak diikuti partisipasi dari keluarga miskin dalam
proses pemberdayaan akan kecele. Karena setelah diberikan bantuan rescue
agar hidup layak, keluarga miskin itu akan segera miskin lagi begitu
bantuan yang diterimanya habis dikonsumsi. RTSM, menurut indikator
kemiskinan BPS, sebagai ringkasan indikator keluarga sejahtera yang pernah
digunakan BKKBN untuk melihat tahapan kemajuan tahapan keluarga, memerinci
kemiskinan menurut 14 indikator yang menunjukkan kelemahan keluarga
tersebut.
Artinya, RTSM tidak seluruhnya tidak potensial atau
harus dibantu seumur hidup. Oleh karena itu disamping diberikan bantuan
rescue, utamanya keluarga potensial, harus segera didukung pelatihan
ketrampilan, kesempatan kerja atau kesempatan berusaha agar segera menjadi
keluarga yang mandiri. Dengan cara itu keluarga tersebut tidak akan kembali
menjadi keluarga yang sangat miskin.
Kesalahan kedua adalah bahwa banyak daerah yang usahanya
terkonsentrasi hanya pada RTSM saja dan melupakan RTM serta RTHM. Batas
antara RTM, RTHM dan RTSM sangat tipis yakni cukup dipenuhinya satu atau
dua indikator dari 14 indikator keluarga miskin versi BPS. Andaikan satu
atau dua indikator yang tadinya positif berubah menjadi negatif, maka
otomatis keluarga itu akan masuk ke kategori rumah tangga sangat miskin
(RTSM). Kemungkinan terjadinya proses seperti tarian Poco-poco sangat
tinggi, yaitu misalnya sepuluh orang keluarga sangat miskin dientaskan,
tetapi dua puluh keluarga miskin berubah turun statusnya menjadi RTSM. Atau
keluarga hampir miskin dengan mudah berubah menjadi keluarga miskin atau
keluarga sangat miskin.
Oleh karena itu daerah yang ingin menanggulangi
kemiskinan dengan lebih lestari dianjurkan untuk membangun pos pemberdayaan
keluarga (posdaya) dan menempatkan keluarga miskin dan keluarga hampir
miskin sebagai sasaran utama didampingi keluarga yang sudah maju dan
diberikan pemberdayaan secara sungguh-sungguh. Pemberian bantuan langsung
harus betul-betul dilakukan sebagai dukungan dalam keadaan darurat,
sementara keluarga miskin pada umumnya dipersiapkan sebagai calon pekerja
atau pengusaha mikro yang dibimbing oleh seluruh masyarakat dengan
perhatian dan pemihakan penuh kasih sayang. Kalau tidak ada keberpihakan
pada keluarga miskin, hampir pasti upaya penanggulangan kemikiskinan sama
dengan mempertontonkan tarian poco-poco yang tidak menarik.
Kesalahan lain yang umum terjadi adalah bahwa proses
pemberdayaan tidak selalu dipentingkan siapa sasarannya. Orientasi proyek
dan kebiasaan untuk mengambil cara mudah, apabila diadakan pelatihan
ketrampilan atau undangan untuk mengikuti proses pemberdayaan menyebabkan
acara pelatihan yang diikuti dengan pemberian modal, syarat-syaratnya
begitu tinggi sehingga peserta bukan lagi keluarga atau anggota keluarga
sangat miskin, keluarga miskin atau keluarga hampir miskin sesuai daftar
yang ada. Tetapi, lebih mengacu pada kemampuan keluarga yang menjadi
peserta menurut selera penyelenggara yang dianggap bisa menyerap materi
pelatihan dan sanggup menyediakan agunan untuk dana pinjaman yang
disediakan. Dana KUR misalnya, dalam praktek bukan lagi untuk orang miskin,
karena untuk mendapatkannya diperlukan pengalaman dan kemampuan tata kelola
usaha yang matang. Banyak dana lain yang melimpah tetapi menempatkan
keluarga miskin sebagai penonton belaka.
Gerakan menabung dan kredit Tabur Puja yang disediakan
antara Rp 200 miliar sampai Rp 1 trilliun oleh Yayasan Damandiri melalui
Bank BPD, Bank Bukopin, Bank BPR dan lainnya merupakan satu alternatif yang
perlu segera diikuti oleh Bank-bank lain. Karena, bisa diakses oleh
kelompok dengan sistem tanggung renteng dan pendampingan oleh keluarga yang
mampu oleh kelompoknya atau mahasiswa dalam kuliah kerja nyata (KKN)
tematik posdaya. Pengalaman membuktikan bahwa apabila sasaran sangat
dipertajam dan dilakukan dengan semangat tinggi, pelaksanaan pemberdayaan
itu membawa hasil yang menakjubkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar