|
KOMPAS,
01 Februari 2013
Jika dalam masalah
pengelolaan bahan bakar minyak di hilir kita sudah sangat mafhum bahwa
kondisinya sudah sangat darurat, hal yang sama sejatinya juga terjadi pada
pengelolaan di hulu.
Sejak mencapai puncak
produksi (yang kedua) lebih dari 1,6 juta barrel per hari di tahun 1995,
penurunan produksi minyak terus terjadi. Saat ini tingkat produksi minyak
harian hanya mampu di kisaran 840.000, atau lebih kurang hanya separuh dari
puncak produksi yang pernah dicapai. Cadangan terbukti minyak juga terus
menurun dari 5,2 miliar barrel menjadi hanya di kisaran 4 miliar barrel.
Target lifting (produksi yang bisa dijual) minyak APBN tiap tahun hampir
selalu tak pernah tercapai.
Penyebabnya tentu beragam
dan tak selalu linier. Namun, pasti ada yang salah dalam pengelolaannya
sehingga produksi dan cadangan terus turun dalam 15 tahun terakhir. Merujuk
hasil suatu kegiatan hulu minyak dan gas (migas) baru dapat dirasakan 5-10
tahun sesudahnya, maka apa yang terjadi saat ini adalah buah dan akumulasi
dari apa yang dikerjakan 5-10 tahun lalu.
Fondasi Keropos
Produksi dan cadangan
minyak baru akan dapat meningkat secara signifikan hanya jika dilakukan
investasi peningkatan perolehan minyak (enhanced
oil recovery/EOR) atau ditemukan lapangan baru dengan cadangan minyak
skala besar.
Investasi, baik untuk EOR
maupun eksplorasi skala besar, hanya akan ada jika iklim investasi hulu migas
kondusif. Iklim investasi yang kondusif hanya akan tercipta jika ada
kepastian aturan main dan pengelolaan hulu migas nasional yang didasarkannya
dilakukan secara benar.
Kepastian aturan main dan
penyelenggaraan pengelolaan yang benar hanya akan ada jika fondasi
(undang-undang) yang melandasinya kokoh. Itulah yang tidak kita miliki selama
lebih kurang satu dekade terakhir ini.
Sejak 2004, Mahkamah
Konstitusi (MK) telah menganulir empat pasal UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Migas. Satu di antaranya Pasal 12 Ayat (3), yang pada hakikatnya merupakan
pasal utama (induk) yang berkaitan langsung dengan aspek tata kelola
kelembagaan hulu migas. Artinya, sejak tahun 2004 fondasi yang ada sebenarnya
sudah tidak kokoh. Namun, oleh pemerintah tetap digunakan sebagai landasan
penyelenggaraan pengelolaan hulu migas.
Pada 13 November 2012, MK
kembali menganulir sejumlah pasal UU Migas. Kali ini seluruh pasal yang
menyangkut Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) dinyatakan
tidak berlaku karena keberadaan BP Migas dinilai inkonstitusional. Artinya,
sejak itu pula fondasi bagi pengelolaan hulu migas nasional sebenarnya bukan
hanya sudah sangat tidak kokoh (keropos), tetapi pada tingkatan tertentu bahkan
dapat dikatakan sudah tidak ada.
Ganti Baju
Maka, tindakan solutif
konkret yang harus dilakukan dengan segera mestinya adalah membuat fondasi
pengelolaan hulu migas (UU Migas) yang baru, yang sesuai dengan konstitusi.
Jadi, bukan sekadar dengan mengganti-ganti ”baju” BP Migas dengan pembentukan
Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKSP Migas),
kemudian berganti lagi menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Migas (SKK Migas).
Terus terang, saya agak
miris melihat rentetan langkah dan respons yang diambil. Karena bukan saja
sepertinya pemerintah merasa sama sekali tak ada keadaan genting dan tak ada
yang keliru, tetapi juga terkesan seperti agak mempermainkan dan menantang
konstitusi.
Sebagai respons
super-darurat untuk menjaga agar jangan sampai ada kekosongan hukum,
pergantian ”baju” semacam itu sebetulnya boleh-boleh saja. Akan tetapi,
karena minyak itu ”licin”, dikhawatirkan nanti malah jadi ”keenakan” memakai
”baju” yang baru itu. Lalu lupa bahwa yang sebenarnya harus segera dilakukan
adalah membuat fondasi baru yang kokoh dan konstitusional bagi pengelolaan
hulu migas nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar