|
SUARA
KARYA, 31 Januari 2013
Dalam dua tahun ke
depan, bangsa ini akan disibukkan dengan pemilihan calon-calon pemimpin di
legislatif dan eksekutif. Pekerjaan rutin dalam demokrasi prosedural, seperti
halnya kita memilih calon-calon kepala daerah. Berganti-gantinya pemimpin
menjadi pandangan keseharian. Jarang, ada nama tokoh (politik) jadi
fenomenal, lalu hinggap lama di benak masyarakat.
Ada api dan ombak
besar di tempat duduk para pemimpin. Kursi menjadi cepat panas sebelum banyak
pekerjaan selesai. Hadirnya kebebasan berbicara membuat posisi apa pun mudah
digunjingkan. Mau artis, selebritas, apalagi politikus. Padahal, guna
mewujudkan impian pembangunan yang besar, misalnya, kekuasaan yang stabil dan
loyal diperlukan. Satu wujud Indonesia masa lalu, ketika demokrasi kurang
hadir.
Lalu, bagaimana
caranya agar Indonesia memiliki cetak biru pembangunan yang tidak terganggu
oleh perubahan (pimpinan) politik dan pemerintahan? Di sinilah masalahnya.
Tidak ada kepastian apa pun bahwa satu program yang dirintis oleh sebuah
rezim wajib diteruskan oleh rezim berikutnya, baik di level presiden,
menteri, maupun kepala daerah. Seolah program itu identik dengan orang.
Berganti orang, bisa dengan mudah berganti program.
Padahal, cetak biru
diperlukan agar terjadi kesinambungan pembangunan. Berapa kilometer jalan
lagi yang harus dibangun di Pulau Jawa? Kapan Selat Sunda memiliki jembatan?
Apakah jalur kereta api trans-Kalimantan akan dibangun? Berapa jumlah armada
kapal dagang dan kargo yang ideal dimiliki Indonesia? Idealnya, jumlah total
PNS yang menghabiskan anggaran pusat dan daerah, berapa banyak? Adakah
jaminan pusat pemerintahan dipindahkan ke Kalimantan, lalu proses
pembangunannya selama 20 tahun akan dilaksanakan oleh rezim (politik) mana
pun, sekalipun berbeda partai?
Sebuah cetak biru
Indonesia untuk 25 tahun sampai 50 tahun ke depan layak dirumuskan, lalu
disosialisasikan sejak sekarang. Satu dan dua generasi akan dipertaruhkan.
Kenapa penting? Guna melihat ada perubahan di Indonesia, sehingga kita tidak
terus terpenjara dalam kungkungan kebijakan lama atau bahkan oleh repetisi
saja. Berbagai beban kehidupan selama ini boleh jadi karena ada kesalahan
dalam desain, misalnya pembangunan dan kemajuan Jakarta yang pesat hingga
meninggalkan daerah lain.
Parpol juga memerlukan
cetak biru itu sehingga bisa melakukan apa yang dikenal sebagai permanen
campaign atau kampanye terus-menerus menuju apa yang sudah disepakati.
Apalagi sekarang, sulit mendapatkan orang besar dengan ide besar. Yang banyak
adalah orang kecil dengan ide sama kerdilnya. Dengan banyaknya lulusan
perguruan tinggi berjenjang pendidikan maksimal, sebetulnya ide-ide besar
yang bersifat kolektif bisa disepakati. Teknologi informasi yang berkembang
pesat sanggup menjadi medium untuk menyampaikan ide sebesar dan seberat apa
pun kepada publik luas.
Menjelang tahapan
pemilu yang akan berlangsung sebaiknya formulasi ide-ide besar itu lebih
diutamakan. Setelah itu dicarikan tokoh-tokoh atau manusia-manusia yang tepat
guna menjalankan ide-ide besar itu. Bukan sebaliknya, mencarikan manusianya
dulu, lalu manusia itu yang merumuskan ide-ide tertentu dan menjalankannya.
Kontrak sosial antara penduduk Indonesia berusia dewasa (pemilih) mestinya
terletak dalam visi bersama yang sudah disepakati, lalu disetujui oleh
pemilih.
Kalau hanya sekadar
mencari siapa yang layak jadi pemimpin, sungguh sia-sia banyak anggaran
dikeluarkan. Penyamaan persepsi di kalangan pemilih tentang "Cetak Biru
Indonesia"-lah yang patut didahulukan, bukan menyepakati siapa partai
yang layak menang atau presiden yang bisa dipercayai. Itu sama saja dengan
sebuah kontrak yang halamannya kosong diserahkan kepada siapa para pihak yang
menandatanganinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar