|
SUARA
KARYA, 01 Februari 2013
Meski APBD DKI 2013 sebesar Rp
49,9 triliun sudah disahkan, namun belasan triliun rupiah di antaranya
dialokasikan untuk penanganan banjir. Masalahnya, hingga kini program jangka
pendek seperti gerakan kebersihan lingkungan belum dicanangkan serta
pengerukan sungai dan situ belum dilakukan. Gorong-gorong dan got-got pun
masih pekat dengan lumpur, sementara sampah tetap berserakan di sana-sini.
Memang, kita harus beradaptasi
dengan banjir. Bukankah sering kali kita mendengar ajaran dalam kearifan
lokal (local wisdom) bahwa kita
harus selalu mengembangkan kehidupan yang harmoni dengan manusia, alam, dan
Tuhan?
Banjir di Jakarta harus dipandang
sebagai fenomena alam. Meskipun banjir ini terjadi akibat rusaknya alam dan
lingkungan akibat tangan-tangan manusia, namun banjir nyatanya sudah menjadi
fakta alam di Jakarta. Maka, kita harus mulai hidup penuh harmoni dengan
banjir. Sudah saatnya kita berdamai dengan banjir dan alam.
Mengapa demikian? Ya, karena
nyatanya kita belum mampu mengatasi--apalagi menghentikan--banjir di Jakarta.
Sudah berapa gubernur silih berganti mengurus Jakarta dengan segala konsep,
rencana, dan janji-janji untuk mengatasinya, baik jangka pendek maupun jangka
panjang, tetapi kenyataannya banjir tetap terjadi dengan tingkat keparahan
kian meningkat.
Kita tidak perlu saling
menyalahkan. Kita tidak perlu berapologi bahwa banjir Jakarta adalah
"banjir kiriman". Maka, satu-satunya jalan yang tersisa adalah
menyerah dan kemudian berdamai dengan banjir. Banjir di Jakarta itu sudah
sama seperti musim dingin ekstrem dan menggigit di Eropa. Tidak ada jalan
untuk mengatasi cuaca dingin ekstrem di Barat, kecuali berdamai dengan
dingin: mengenakan pakaian tebal (overcoat),
makan makanan bergizi, tinggal di rumah berpelindung, menciptakan alat
penghangat ruangan, menggunakan moda transportasi yang kedap dingin, dan
seterusnya.
Demikian juga dengan kita dan
banjir. Banjir sudah menjadi fenomena alam, dan faktor-faktornya terlalu
kompleks. Ada faktor alamiah, ada banyak pula karena tangan manusia. Semuanya
berakumulasi menjadi satu. Tetapi, apa pun faktor penyebabnya, banjir sudah
menjadi kenyataan rutin, periodik, dan pasti terjadi dengan tingkat keparahan
makin memburuk dari tahun ke tahun.
Kini, kita memang harus mulai
berdamai dengan banjir. Kita harus beradaptasi, bersahabat, dan hidup
berdampingan dengan banjir, persis seperti orang Barat menyesuaikan diri dan
berdamai dengan musim dingin! Rumah dan bangunan-bangunan di Jakarta harus
dibuat tinggi-tinggi, mungkin harus seperti rumah-rumah kolong. Demikian juga
dengan moda kendaraan juga harus dibuat tinggi, misalnya roda mobil mesti
setinggi 3-4 meter. Jalan-jalan juga harus dibuat tinggi-tinggi atau
bertingkat. Biarlah tingkat dasar di atas tanah dihuni oleh air banjir. Kita
harus mulai hidup di atas air. Mungkin mirip kota Vinisia (Venice): moda
transportasi juga perlu disesuaikan dengan kota air, kota banjir. Untuk
berjalan di musim banjir, kita mungkin memerlukan alat semacam egrang.
Banjir adalah kawan kita, sahabat
kita, dan saudara kita. Banjir adalah tetangga kita, tetangga dekat kita.
Kita harus saling menyapa dan saling bertoleransi dengan banjir. Ayo, kita
warga Jakarta, mulai berdamailah dengan banjir. Semoga. ●
|
Bagus ni info
BalasHapus