Wakil Gubernur Pemerintah Provinsi, Daerah
Khusus Ibu Kota Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok -tanpa
mengurangi rasa hormat- adalah “angpau” terbesar bagi ketionghoaan dan
kemajemukan di negeri ini. Jabatan wakil gubernur di provinsi sekaligus ibu
kota merupakan bukti kepercayaan dan cara pandang yang sangat maju dari
kemajemukan urban masyarakat Jakarta. Ahok bukan prototipe “pranawa”
(peranakan China-Jawa) yang selama ini dominan mengisi ketionghoaan di
negeri ini. Ini karena Tionghoa di Jawa lebih dekat dengan pusat kekuasaan
kolonial Belanda di Jawa, sehingga kiprahnya lebih menonjol.
Sebagai bukan
Tionghoa Jawa tetapi Tionghoa Bangka Belitung atau Sumatera, Ahok
menampilkan ketionghoaan yang lebih lugas, langsung, tanpa tedeng aling-aling,
rasional dan kadang berintonasi meninggi. Ini berbeda dengan personifikasi
Tionghoa Jawa yang njawani dan sikapnya yang lebih ngapurancang
(mendekapkan kedua tangan di bagian depan perut) wujud sikap lebih mengalah
dan nrimo. Ketionghoaan dengan begitu sangat beragam, tak ada definisi
tunggal tentang Tionghoa Indonesia, masing-masing mengisinya dengan
karakter dari budaya masyarakatnya di mana ia tinggal.
Runtuhnya Diskriminasi
Terpilihnya
Ahok adalah puncak kegamangan ihwal diskriminasi Tionghoa selama ini, tapi
akhirnya bisa dilewati dengan mulus. Jauh sebelum Ahok terpilih di Jakarta,
ia terpilih lebih dahulu sebagai Bupati Belitung Timur. Kita harus
berterima kasih pada masyarakat Belitung Timur yang telah memilihnya
sehingga ada Tionghoa Ahok dipercaya sebagai puncak eksekutif di sana.
Meski sentimen etnik bermunculan ketika seorang minoritas berupaya memimpin
mayoritas yang berbeda, tetapi kepercayaan masyarakat Belitung Timur dulu
menunjukkan bahwa masyarakat harus bebas memilih kandidat potensial, siapa
pun dia dan apa pun latar belakangnya. Kemajuan masyarakat Belitung Timur
untuk tidak tunduk pada kriteria primordial seperti seagama, seetnik, dan
seterusnya menunjukkan bahwa saat ini mengusung primordialisme sudah bukan
jaminan. Mereka yang dipercaya dan dituakan dalam bidang agama, yang
dipercaya hidupnya suci dan alim ketika dipercaya memimpin sebuah partai
politik justru mengingkari kepercayaan itu dengan korupsi.
Upaya
masyarakat Belitung Timur lepas dari primordialisme ketika memilih Ahok,
terulang di Jakarta ketika masyarakat metropolitan yang majemuk memilih
Jokowi-Ahok. Padahal, sentimen ras dan agama sangat kuat menerpa Ahok,
tetapi masyarakat Jakarta bisa juga menjauhi primordialisme. Logikanya
demikian karena Jakarta lebih majemuk dan terbuka dibanding Belitung Timur.
Semua ini menunjukkan bahwa Jakarta menjadi teladan nasional dalam
meruntuhkan sekat diskriminasi, khususnya Tionghoa dalam berkiprah sebagai
pemimpin bangsa. Selama ini ketionghoaan sebatas dijatah, menjadi menteri
yang ditunjuk oleh presiden. Tapi dengan terpilihnya Ahok secara langsung,
pelajaran demokrasinya ialah masyarakat memilih Tionghoa dan bukan
presiden, sehingga kesadaran antidiskriminasi masyarakat sangat tinggi.
Perubahan harus
diraih melalui semua cara dan semua kalangan yang mampu mengusung perubahan
itu. Selama ini perubahan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan selalu
bersumber dari tokoh primordial sehingga mereka yang seagama, seetnik dan
seterusnya yang lebih sering terpilih untuk memimpin. Dengan keluar dari
patron primordial ini, seorang Ahok bukan dilihat Tionghoanya atau
Kristennya, tetapi dilihat kemampuannya untuk ikut melakukan perubahan yang
lebih baik bersama Jokowi. Tentu kita akan melihat prestasi Jokowi-Ahok
beberapa tahun ke depan, bisa sukses bisa pula stagnan atau buruk.
Pelajarannya masyakarat belajar bertanggung jawab atas pilihannya. Jika
Ahok gagal masyarakat dewasa akan melihat kegagalan itu objektif dan bukan
karena etnik atau agamanya. Di sini masyarakat berusaha memilah antara
kinerja Ahok yang bisa diukur, dan fakta etnik atau agamanya di sisi lain
sebagai urusan takdir dan privat yang tidak bisa dibawa-bawa.
Sentimen ras
dalam soal panggilan “china”, yang pernah dialami Ahok ternyata tidak
mempan membuat Ahok tersinggung dan menggunakan kekuasaannya untuk
merespons. Responsnya netral-netral saja, mendiamkan dan membuat soal
“china” itu menjadi tidak berarti apa-apa. Sindrom “china” yang dialami
Tionghoa sebetulnya hanya buang-buang waktu. Upaya berbagai pihak untuk
“jangan panggil aku china” (JPAC) dalam berbagai media buku, sinetron,
puisi, blog dan seterusnya kontraproduktif karena secara tidak langsung
sudah mengakui panggilan itu merendahkan dan menghina. Padahal, politik
bahasa rasial lewat panggilan atau sebutan “china”, “indon”, “niger/negro”
dan seterusnya memang bertujuan agar mereka yang dipanggil itu tersinggung,
marah dan merasa terhina sehingga diri dan mind set mereka mendapat
pengakuan dan stigma sosial bahwa mereka itu memang seperti itu. Tujuannya
agar mereka tetap berkubang dengan nasibnya yang buruk sehingga tidak
mengancam keberadaan si pembuat politik bahasa rasial.
Menanti Ahok yang Lain
Dengan hadirnya
Ahok di panggung Jakarta yang otomatis lebih tersorot secara nasional,
membuat masa depan ketionghoaan dalam keindonesiaan diharapkan semakin
baik. Ketionghoaan harus terus berupaya dicangkokkan ke dalam budaya
masyarakatnya di mana ia tinggal. Ahok yang tinggal di Jakarta yang majemuk
dan berbasis budaya Betawi sebagai tuan rumah, akan menciptakan pengaruh-memengaruhi
dengan hadirnya ketinghoaan ala Jakarta yang majemuk atau yang berciri khas
Betawi. Strategi budaya ini penting dan harus ditumbuhkan dan bukan
dibiarkan tumbuh liar apa adanya. Dengan keterlibatan Ahok dalam pemilihan
bupati, wakil gubernur dan mungkin akan ada Ahok-Ahok yang lain dalam
pemilihan ketua partai politik, ketua koperasi, ketua BUMN, atau kandidat
jenderal militer atau polisi, sampai ketua RT/RW, akan mewarnai
keindonesiaan dengan lebih baik.
Jika itu
tercapai maka Ahok bukan milik Tionghoa saja. Ahok bukan romantisme napak
tilas ala Kapitein der Chinezen of
Batavia Souw Beng Kong, kapitan China pertama di Batavia, di mana peran
kapten atau mayor China pada zaman itu menjadi pemimpin komunitas China
perantauan (hoakiao) agar Belanda
lebih mudah mengatur keberadaan mereka.
Ahok juga bukan
titipan Tiong Hoa Hwe Koan di masa lalu yang hanya Tionghoa minded, untuk
kepentingan Tionghoa saja. Dengan membebaskan Ahok dari sindrom kapitein
der chinezen, Ahok mempunyai tugas lebih luas dan tak dibatasi oleh dinding
primordial terutama etnis atau agama. Ahok hanya berakar Tionghoa Kristen
yang bertanggung jawab di provinsi majemuk multietnik, multiagama dan
multi-multi yang lain, di mana semua harus diperjuangkan untuk menjadi
lebih baik nasib dan keadaannya. Terpilihnya Ahok, seperti Nusantara di
masa lalu yang membuka diri terhadap berbagai pengaruh budaya asing dari
pedagang Persia, India, China sampai Barat. Jika kita bisa memelihara
kemajuan ini dan mengubur sentimen primordial maka Indonesia akan
dikembangkan dengan objektivitas problem dan profesionalisme kinerja dan
prestasi pemimpin-pemerintahan, untuk mempercepat ketertinggalan dari
bangsa lain. Selamat Imlek. Hayya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar