|
SINDO,
25 Januari 2013
Setelah seratus hari, berbagai media menggarisbawahi pertanyaan
klasik yang mengemuka di masyarakat, mana wujud janji kampanyenya? Pertanyaan
itu mengemuka di tengah banjir besar di Jakarta dan sekitarnya, yang bahkan
lebih besar dibanding 2007.
Janji kampanye Jokowi-Ahok tempo dulu banyak, tetapi barangkali yang spesifik berhubungan dengan situasi kekinian adalah mengatasi banjir. Solusi Jokowi, oleh sementara kalangan, terkesan jangka pendek, walaupun yang bersifat jangka panjang juga direncanakan. Yang jelas, Jokowi-Ahok tengah berada dalam tantangan besar. Namun, ironi banjir Jakarta seolah tengah menenggelamkan beberapa gebrakan dan manuvernya. Beberapa kebijakan yang populer, misalnya, peluncuran Kartu Jakarta Sehat (KJS), Kartu Jakarta Pintar (KJP), penetapan upah minimum provinsi (UMP) DKI sebesar Rp2.200.000, pelantikan wali kota di kampung kumuh, Jakarta Night Festival pada malam Tahun Baru, pendekatan baru terhadap pedagang kaki lima, rencana penerapan aturan lalu lintas berdasarkan nomor pelat kendaraan ganjilgenap, hingga disepakatinya pembangunan enam ruas jalan tol dengan beragam persyaratan. Di sisi lain, gaya kepemimpinan Jokowi dan Ahok juga terekspresikan menggebrak kebiasaan lama birokrasi. Betapapun belum tampak efektivitasnya, inspeksi mendadak Jokowi ke kantor kelurahan, dan gaya Ahok memimpin birokrasi merupakan “gaya baru” yang cukup tersorot media. Dengan pendekatan “blusukan”, Jokowi juga merespons soal-soal sehari-hari yang sebelumnya dipandang remah. Misalnya, menuntaskan masalah kependudukan warga Tanah Merah, mendandani rumah susun, hingga menerapkan aturan baju adat khas Betawi. Kalaulah dibilang bahwa gebrakan dan kebijakan Jokowi-Ahok masih banyak sebatas simbol, maka hal itu tidak sepenuhnya salah. Yang menjadi permasalahan ialah, apakah kepemimpinannya mampu mengaktivasi makna symbol-simbol itu sedemikian rupa, sehingga kemanfaatannya bagi publik bisa optimal. Kebijakan populer simbolik, akan menjadi bumerang, manakala tidak ada upaya aktivasi nyata, “beyond the symbols”. Superhero Ketika pengungsi banjir merebak di mana-mana, hal-hal itu seolah tenggelam. Secara simplistis, banyak yang berharap ke-superhero-an Jokowi muncul. Jokowi, dalam titik ekstremnya, diharap mampu menyulap keadaan. Alam bawah sadar masyarakat Jakarta yang demikian, tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Mereka memang rindu perubahan, dan yang bisa dilakukan Jokowi- Ahok dalam 100 hari kerjanya, masih dipandang minim. Betapapun demikian, masyarakat masih penuh harap bahwa kesempatan setelah 100 hari pemerintahan baru DKI, bisa melangkah cepat dalam mewujudkan perubahan. Masalah Jakarta memang kompleks. Dengan gaya kepemimpinan populis dan “blusukan”, yang kompleks itu dicoba diurai. Dua aspek yang harus tetap dikedepankan, adalah aspek empati dan kebijakan yang mendasar. Soal empati terhadap publik, Jokowi cukup berhasil. Gaya “blusukan”-nya telah mendesakralisasi posisinya sebagai gubernur ke inspektur lapangan. Dengan begitu, ada komunikasi, selain tetap menyisakan sisi-sisi selebritasnya. Terkait dengan kebijakan mendasar, tim pengkaji kebijakannya harus kuat dan kepentingan publik harus tetap nomor satu. Memang gaya kepemimpinannya sudah mulai dikritik. Namun, kritik-kritik itu tampak masih dapat diimbangi dengan segera. Bagaimanapun, publik masih demikian menghargai gaya kepemimpinan Jokowi yang cenderung “workoholic”, tidak memperhatikan hari libur. Citra Jokowi sebagai pemimpin yang bekerja, tak terelakkan. Ia juga masih demikian disayang media (media darling). Pada masa awal pemerintahannya ini, prinsip transparansi dan akuntabilitas masih relatif baik, walaupun harus terus dikontrol. Kita berharap, setelah 100 hari, Jokowi semakin paham permasalahan DKI dan mampu memetakannya secara jelas dan segera mengambil langkah-langkah kebijakan mendesak yang diperlukan, maupun yang bersifat mendasar jangka panjang. Memimpin DKI jelas juga dihadapkan pada banyak kelompok kepentingan, baik kepentingan politik maupun bisnis. Dari sisi ini,rasionalitas kepemimpinan Jokowi-Ahok diuji oleh publik, apakah kebijakannya rasional dan bermanfaat sebesar-besarnya bagi publik. Politik Dari sisi dinamika politik, juga belum tampak adanya perseteruan yang berarti antara pemda versus DPRD. Kekuatan opini dan pengaruh kepemimpinan Jokowi-Ahok juga tampak masih cukup dominan dalam mengimbangi resistensi, baik dari birokrasi maupun berbagai kekuatan politik. Di sisi lain elemen-elemen pendukung nonpolitiknya, juga masih tampak solid dalam menyangga kepemimpinan Jokowi-Ahok untuk tidak terpeleset. Artinya, belum ada kegaduhan politik yang memperburuk legitimasi kepemimpinannya. Di tengah-tengah tantangan besar perubahan Jakarta, maka kerja keras dan strategis Jokowi-Ahok masih akan terus dituntut hingga akhir masa jabatan. Popularitas Jokowi barangkali akan stabil dan punya peluang untuk naik lagi mendekati Pemilu 2014. Konsistensinya menjadi pejabat publik, yakni orang nomor satu di DKI sebagai gubernur, akan diuji, apakah ia akan mengambil peluang ke jenjang jabatan politik yang lebih tinggi. Tentu publik berharap Jokowi tetap menjadi pendekar DKI hingga akhir masa jabatan. Ia harus konsisten. Selamat bekerja Jokowi-Ahok! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar