|
Politik
Pembenaran 2013
Umbu TW Pariangu ; Dosen Fisipol Undana, Kupang
|
KORAN
TEMPO, 05 Januari 2013
|
Dunia dan rakyat Indonesia
baru saja menutup buku 2012 dan mulai meniti lembaran baru tahun 2013. Tahun
2013 adalah celah untuk memperbaiki keadaan yang dikomposisikan oleh
kenyataan masih adanya sekelompok orang baik, cerdas, tulus, berani mengambil
sikap, dan mengedepankan akal sehat. Inilah momentum untuk mempertegas
kerendahan hati sebagai bangsa dalam berupaya merajut elegansi di tengah
pergumulan negara yang pelik.
Selama 2012, masa depan
bangsa masih dijejali perilaku ignoransi yang mendegilkan nurani dan akal
sehat. Politik yang tersayat korupsi menjadi menu keseharian yang mengancam
keutuhan berdemokrasi kita. Bau tengik korup politikus yang berebut makan di
meja perjamuan politik menjelang Pemilu 2014 makin memuakkan. Aroma itu
bahkan sudah menyentuh level pucuk kekuasaan.
Nafsu meroketkan
pendapatan, prestise dalam sekejap, dan libido memperkukuh jaringan
kekuasaan-bisnislah yang membuat negara ini tetap nyaman dihuni para koruptor
(Deni, 2010:136-137). Apalagi dengan sistem politik kedagingan Machiavellian
"het doel heiling de middelen" (cara apa pun halal dilakukan,
asalkan tujuan tercapai), politikus koruptor bisa bersembunyi dari pengadilan
rakyat di bawah ketiak induk semang partai politiknya.
Bahkan mereka semakin
memperoleh angin surga ketika hukuman yang diberikan negara pun amat ringan,
alias tidak memberi efek jera. Padahal di Cina saja, yang telah menerapkan
hukuman berat terhadap koruptor--sehingga 4.800 pejabat negara telah
dieksekusi di depan regu tembak sampai tahun 2007--praktek korupsi masih saja
bertambah.
Menyusut
Survei Lembaga Survei
Indonesia tentang kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintah pada 2012
menunjukkan bahwa ketidakpuasan publik terhadap lembaga kepresidenan mencapai
62,7 persen, lembaga polisi 64,7 persen, dan ketidakpuasan terhadap partai
politik 58,1 persen. Penyebabnya lebih didominasi oleh keberanian moral
pemimpin yang rendah untuk menegakkan konstitusi dan memasifnya perilaku
korupsi. Penyusutan kepercayaan ini makin mempertajam kejanggalan peradaban
(civilizational malady) berdemokrasi kita yang terlalu memuliakan prosesi,
namun miskin esensi. Akibatnya, nilai-nilai kesejahteraan dan pemerataan
terabaikan.
Derajat kesejahteraan pun
menyusut di bawah persoalan "bawah tanah" ekonomi yang menyimpan
bara kesenjangan kronis. Ekonomi-sentris seperti ini akan memperkuat kultur
kapitalisme dan narsisme, serta merobek tenunan modal sosial, sehingga
konflik dan kejahatan sosial mudah tersulut.
Modal sosial yang rapuh
membuat kita kesulitan merajut demokrasi, karena kentalnya ideologi
pementingan diri. Kepentingan mayoritas dinegasikan oleh "tirani
kebaikan". Para politikus selalu mengatasnamakan "rakyat"
untuk melegitimasi setiap tindakannya, sedangkan di sisi lain rakyat terus
dijadikan tumbal bancakan anggaran dalam berbagai ritual demokrasi.
Tengok saja, meski
anggaran belanja meningkat pesat dari Rp 400 triliun menjadi Rp 1.200
triliun, Indeks Pembangunan Pendidikan kita pada 2011 hanya berada di posisi
ke-69 dari 127 negara, turun dibanding tahun 2010 yang berperingkat ke-65.
Hal yang sama terjadi pada peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indonesia, yang anjlok dari posisi ke-108 (di antara 169 negara) menjadi
peringkat ke-124 (di antara 187 negara).
Modalitas anggaran yang
besar pun ternyata tidak berdampak populis di tangan politikus dan birokrat
kita. Jika saja Rp 39,3 triliun yang dirampok oleh para koruptor--sesuai
dengan hitungan KPK terhadap kerugian negara akibat praktek korupsi sepanjang
2004-2011--digunakan untuk membangun fasilitas pendidikan, atau sumber modal
usaha untuk 3,9 juta sarjana baru, tentulah kebaikan Indonesia bisa
dipercepat.
Bagaimanapun, rendahnya
derajat pendidikan dan ekonomi merupakan musuh utama pembangunan demokrasi
sejati. Pengetahuan publik yang minim dalam mencerna fenomena dan persoalan
bangsa di sekitarnya akan menciptakan pula pemahaman serba-terbatas, terutama
dalam mengambil sikap dan pilihan yang menyangkut nasib dan masa depannya.
Rakyat berpotensi menjadi korban dari lingkaran setan demokrasi yang
membiarkan lembaga-lembaga politik-kekuasaan diisi para politikus musiman dan
pejabat korup.
Demokrasi hanya bisa
bersemai di tengah otoritas kepemimpinan yang melembaga, meluasnya akses
pendidikan dan kesenjangan ekonomi yang tidak terlalu melebar. Karena itu, di
negara yang rendah dalam pencapaian pendidikan, suara rakyat tak selalu
mencerminkan suara Tuhan. Seperti yang dikatakan Bob Hefner (2000:126), there
is no one size fits all democracy, tidak ada demokrasi yang berlaku untuk
semua. Di negara yang memberi celah terhadap kleptokrasi, suara rakyat bisa
menjadi suara setan yang menyesatkan nurani dan akal sehat bangsa. Kalaupun
demokrasi memberi ruang bagi kritik publik, itu hanyalah kamuflase politik
yang jauh dari semangat diskursus publik, selain spirit permufakatan elitis
mengkapling kue-kue kekuasaan lewat bendera oligarkis di pemerintahan maupun parlemen.
Keutamaan
Yang jelas, persoalan
konflik dan gesekan kepentingan ekonomi, terorisme yang kian brutal, maupun
pengekangan terhadap kebebasan beragama masih menghantui kita di 2013.
Bagaimanapun, menurut Gerth dan Mills (1958:78), negara adalah sebuah
masyarakat manusia yang dibenarkan menggunakan monopoli kekuatan untuk
memaksa secara fisik di dalam suatu wilayah tertentu demi tegaknya
sendi-sendi kebaikan bersama (bonum
commune). Negara harus tampil dengan panji-panji konstitusinya untuk
melawan semua kezaliman tersebut tanpa pandang bulu.
Sebagaimana ungkapan Latin
"emitur sola virtute
potestas" (kekuasaan diperoleh hanya oleh keutamaan), tahun 2013
harus menjadi simbol penghadiran keutamaan spiritualitas bernegara, terutama
bagi pemimpin dan elite politikus, yakni: kejujuran, sportivitas, kerja
keras, solidaritas, tanggung jawab, dan pengorbanan. Politik hipokrit dan
pencitraan sudah terbukti kemanjurannya dalam menyempurnakan proses menuju
kebangkrutan negara. Sia-sia menginvestasikan demokrasi yang mahal, dan sibuk
untuk meraih jabatan kekuasaan jika nilai keutamaan nihil.
Tidak mudah memang, karena
arena kekuasaan akan dikepung rangkaian kesibukan politik menyambut Pemilu
2014. Itu artinya politik saling sikut dan jegal berpotensi menjadi tradisi
instan. Tetapi pembumian nilai keutamaan tadi bisa menghambat kontaminasi
politik dengan mengadopsinya terutama pada jantung kepemimpinan yang tegas
dan beradab.
William Douglas (1898-1980), pakar hukum
Amerika Serikat, pernah mengatakan, untuk melawan ide-ide yang menyesatkan,
gunakan ide-ide lain; untuk melawan kebohongan, gunakan kebenaran. Kita
berharap, di tangan politikus yang masih memiliki integritas, tahun 2013 akan
menjadi momentum perayaan politik kebenaran menuju pesta demokrasi 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar