Menuju Era
Politik Postmodern
W Riawan Tjandra ; Pengamat Filsafat Hukum,
Pengajar
FH Universitas
|
KOMPAS,
16 Januari 2013
Tahun 2013 bukan sekadar
Tahun Ular dalam perhitungan kalender Tiongkok klasik, melainkan juga tahun
pemanasan menuju Pilpres 2014.
Politik
yang di arena praksis mengalami peyorasi makna sebagai cara untuk meraih
kekuasaan, dalam pemikiran Aristoteles sejatinya memiliki makna yang mulia.
Sebab, ia berkaitan dengan hal-hal kenegaraan. Menurutnya, kemunculan sebuah
negara tak terlepas dari watak politik manusia: zoon politicon, makhluk yang berpolitik.
Tak
jarang dikenal ungkapan, manusia adalah hewan yang berpikir (human is an animal rational).
Berdasarkan tabiat itu, maka kepada negaralah manusia mempraktikkan watak
politik tersebut.
Berbagai
nama kandidat calon presiden yang diembuskan di ruang publik di awal tahun
telah memetakan arena pertarungan politik dalam pilpres mendatang. Bukan tak
mungkin segera diikuti berbagai praktik transaksi politik, afirmasi politik,
hingga kampanye hitam dalam dimensi banalitas politik.
Kontestasi
politik di era modern berakar pada kedigdayaan kultur Barat, yang tak jarang
menafikan kultur lokal yang di dalamnya terkandung berbagai akar nilai budaya
luhur. Seluruh kontestasi berujung pada hitungan angka pemilih yang amat
sering berangkat dari pencitraan.
Tak
heran ruang publik sarat muatan berbagai pencitraan politik kaum elite yang
memberangus suara kritis publik. Rekam jejak para aktor dipoles dalam
tampilan baru sebagai tokoh yang populis, bersih, dicintai rakyat, dan piawai
dalam bernegara. Akibatnya, berbagai kontestasi sering kali diwarnai praktik
kampanye hitam yang berakar dari naluri buas manusia di era homo homini lupus
(manusia adalah serigala bagi sesamanya).
Politik
di era postmodern sejatinya meletakkan dasar eksistensinya di atas
kedigdayaan kultur lokal serta segala sesuatu yang berasal dari wilayah
sendiri. Politik postmodern mempromosikan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Maka,
politik di era postmodern telah menjadi rahim bagi lahirnya para pemimpin
yang menempatkan kesejahteraan rakyatnya sebagai pilar kekuasaan politiknya.
Blusukan
Politik
postmodernitas telah mendekonstruksi politik quidditas (esensi) yang menekankan bahwa kesejatian dilahirkan
oleh representasi, bukan sekadar esensi. Kesejatian dalam postmodernitas
dimaknai sebagai kehadiran atau representasi. Maka, rakyat sangat paham:
negara ini memang sarat masalah, banjir tak mudah diatasi karena faktor
geospasial yang buruk, misalnya.
Namun,
kehadiran sang pemimpin di kala rakyat kesusahan tak hanya memastikan negara
masih ada, tetapi juga empati sang pemimpin, yang bersama rakyatnya hendak
mencari solusi atas masalah, telah mengalahkan pendewaan rasionalitas manusia
yang mengembalikan pemahaman bahwa manusia adalah makhluk kultural.
Dengan
demikian, rasionalitas harus dibangun di atas nilai-nilai kultural yang
beraneka ragam. Manusia bukan sekadar sederet konstituen yang berakhir
nasibnya dalam kotak suara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar