Mendidik Anak
Bangsa
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota
Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Januari 2013
KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) membubarkan
sistem rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf
internasional (SBI) menimbulkan berbagai reaksi. Kolom ini tidak membicarakan
benar-tidaknya keputusan atau sistem tersebut karena kita memang sedang terus
mencari formula yang tepat untuk mendidik anak bangsa yang jumlahnya akan
terus meningkat sesuai dengan ledakan penduduk.
Dilema yang umum dihadapi masyarakat
negara-negara berkembang ialah memilih sistem pendidikan yang bisa meningkatkan
taraf hidup untuk mengatasi ketertinggalan dari negara-negara maju. Masyarakat
Jepang, misalnya, memiliki kesadaran tentang pentingnya pendidikan formal dan
nonformal. Sejak Restorasi Meiji lebih dari satu abad yang lalu (1852-1912),
Jepang mempunyai hasrat besar untuk mengatasi ketertinggalan mereka dari
kemajuan Barat. Mereka tidak henti-hentinya menerjemahkan buku-buku asing,
khususnya dari Amerika dan Eropa, ke dalam bahasa Jepang. Dari penduduk
Jepang yang seluruhnya berjumlah sekitar 130 juta jiwa, sekitar 127 juta jiwa
tinggal di Jepang. Lebih dari separuhnya bekerja di industri ilmu
pengetahuan, yang mencetak ribuan buku tiap tahunnya.
Profesor Ryokichi Hirono, ahli ekonomi dari
Universitas Teiko, pernah menyatakan bahwa Jepang bisa semaju sekarang
terutama berkat antusiasme mereka di bidang pendidikan. Korea Selatan juga
tumbuh pesat karena penggiatan pendidikan mereka sejak Perang Dunia II. China,
yang sudah mengirimkan anak-anak mereka ke Amerika sejak dari sekolah dasar,
terbukti juga maju pesat. Mereka tidak khawatir anak-anak itu diresapi
ideologi Barat. Menurut pengalaman Jepang, banjir ilmu pengetahuan dari Barat
toh tidak mengikis kepribadian mereka sebagai orang Jepang.
Pendidikan Sebagai
Pupuk Kemajuan
Lebih dari seperempat abad
yang lalu, 21 pakar pendidikan kita bertemu dan berembuk dengan diketuai Prof
Dr Slamet Iman Santosa (alm) dan Prof Sumitro Djojohadikusumo (alm) sebagai
wakil. Kelompok yang disebut Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional itu
selama satu setengah tahun berembuk menyusun konsep untuk mendidik para siswa
supaya mampu memenuhi tantangan zaman. Begitu hakikatnya. Agar tuntas, banyak
pihak dimintai pendapat. Hasilnya bak disertasi tingkat tinggi.
Soal pendidikan tidak hentihentinya menjadi
sorotan. Sejak dulu kita menyadari perubahan zaman menuntut perubahan sikap
dan perilaku kita semua, dari pemimpin sampai pekerja biasa. Jalan paling
cepat dan tepat melakukannya memang lewat pendidikan, lewat rekayasa sosial. Yang
terpenting menciptakan sistem politik, ekonomi, dan sosial yang memberi jalan
ke arah itu; dan bila perlu mengenakan sanksi-sanksi hukum terhadap
unsur-unsur yang merugikan gerakan menuju itu.
Untuk sementara, itu bisa
mengatasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya penyalahgunaan sistem pendidikan
agar tidak semata-mata mengeruk keuntungan.
Masalahnya, bidang pendidikan menawarkan
begitu banyak kesempatan untuk menjalankan bisnis di bidang itu. Ada
pilihan-pilihan yang terbuka antara sistem pendidikan yang membagi jatah
pendidikan dan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat. Misalnya berbagai
kursus keterampilan dalam berbagai hal jumlahnya menjamur, yang memberikan
keuntungan besar bagi penyelenggaranya; antara lain salon kecantikan, kursus
komputer dan bahasa, dan berbagai kursus teknik. Di samping itu, ada lembaga-lembaga
pendidikan yang memang dijalankan untuk menjawab kebutuhan negara; termasuk
berbagai sekolah swasta dan semacamnya.
Tanpa pengaturan yang jelas, apakah
bisa disalahkan bila para orangtua menghendaki anak-anak mereka mengikuti
pendidikan di sekolah-sekolah yang menawarkan kurikulum terbaik? Pendidikan
bermutu tentu memakan biaya. Maka mana yang dipentingkan? Pemerataan
pendidikan yang diatur negara atau pendidikan yang diselenggarakan sesuai
dengan keinginan masyarakat?
Kesulitan Memeratakan
Pendidikan
Bila kita menginginkan produk pendidikan yang
bisa dimanfaatkan secara efektif oleh masyarakat banyak, yang terbanyak
diperlukan sekarang ialah tenaga-tenaga kerja yang dididik untuk menangani
bidang pertanian dan industri kecil. Bidang-bidang yang menurut analisis para
ahli akan bisa membawa masyarakat lebih dekat ke pemerataan pendapatan
asalkan pemerintah memang mengambil kebijakan ke arah itu, hingga
penanganannya dapat lebih terencana. Untuk itu, yang terbanyak dibutuhkan
bukan ahli-ahli pertanian/ industri lulusan akademi atau universitas,
melainkan tenaga-tenaga kerja tingkat bawah dan menengah yang mendapat
didikan praktis tentang bagaimana cara menggarap tanah atau bidangnya.
Apakah itu yang kita inginkan? Sampai saat
ini, rasanya kita belum pasti langkah apa yang akan diambil mengingat
banyaknya faktor yang harus dipertimbangkan. Pertama, apakah kita
menginginkan pertumbuhan ekonomi yang pesat ataukah pemerataan pendapatan
yang cepat? Kedua, apakah pertimbangan politik memungkinkan kita menjatah
pendidikan?
Dalam alam demokrasi, setiap warga berhak
mendapat kesempatan yang sama.
Masyarakat pun belum tentu siap mental untuk
mendapat pendidikan yang nantinya akan membagi-bagi mereka dalam kelompok
tani di bawah, kelompok industri/dagang di tengah, dan kelompok intelektual
di atas--sekadar sebagai contoh.
Lagi pula, sesuai dengan alam demokrasi, wajar
bila para orangtua bercita-cita membuat anak mereka menjadi sarjana karena
mereka yakin peningkatan pendidikan berarti peningkatan penghasilan dan
status sosial. Quo vadis pendidikan kita? Mungkin dibutuhkan rumusan yang
memberi harapan untuk semua pihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar