|
JAWA
POS, 24 Januari 2013
LUAR biasa, umat Islam di tanah air dengan penuh takzim merayakan hari
kelahiran Nabi, mulai orang biasa hingga kepala negara. Caranya pun
beranekaragam. Di kampung saya, kelahiran Sang Nabi dirayakan dengan bacaan barzanji, burdah, atau pembacaan
salawat yang diiringi tetabuhan terbang (hadrah) dan diakhiri
dengan makan bersama.
Tak hanya itu, tuan rumah membawakan para tamu sekeranjang pelbagai kudapan dan buah-buahan untuk keluarga di rumah. Di sana, kehadiran bulan Maulid disambut sukacita. Tidak saja mereka bisa memanjakan selera, tapi juga menghadirkan panutan dalam detak napas dan jantung mereka melalui lagu pujian. Sementara itu, presiden, pejabat tinggi negara, dan perwakilan negara sahabat hadir di Istana Negara untuk turut mengenang perjalanan hidup Muhammad. Setelah sambutan orang nomor satu tersebut, salah seorang tokoh masyarakat atau sarjana muslim membawakan pidato tentang liku-liku perjuangan Nabi yang dikaitkan dengan hal-ihwal terkini. Upacara tersebut tampak elok dan terpelajar. Di sini, refleksi lebih kental. Orang pintar yang memberikan ceramah mencoba mengambil pelajaran dari pengalaman Nabi terakhir itu dalam mengurus masyarakat ''madani''. Lalu, sehari setelah perayaan, kehidupan berjalan seperti sebelumnya. Mencari Rujukan Apa sebenarnya tujuan utama peringatan ini? Ketika dijawab ia adalah sebuah ikhtiar mengingat dan meneladani perilaku sosok yang mendapat gelar teladan yang baik (uswah hasanah), mungkin tidak seorang pun membantah. Tapi, apakah pesona Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari merembes ke dalam keseharian umat? Itulah tantangan utama yang sampai hari ini tak membuahkan hasil secara membanggakan. Nah, untuk itu, pembacaan ulang terhadap sejarah Nabi perlu dilakukan untuk memeriksa kembali keteladanan Nabi yang diucapkan di panggung dan dinyanyikan bukan sekadar ritus yang tak mengubah keadaan orang ramai. Sebuah biografi Muhammad yang dianggap otoritatif dan bisa dijadikan rujukan adalah karya Ibn Ishaq berjudul Sirah Rasulullah. Maxime Rodinson, filsuf dan sosiolog Prancis, menjadikan karya tersebut sebagai sumber utama. Demikian pula Karen Armstrong, ahli perbandingan agama Inggris. Namun, pembacaan dua terakhir tidak sekadar menceritakan perilaku Nabi, tapi juga memberikan analisis sosial dan politik dengan pendekatan modern. Meski melakukan demistifikasi terhadap Nabi, keduanya telah menangkis banyak serangan dari sarjana Orientalis. Dalam biografi berjudul Muhammad, Karen Armstrong, penulis Barat yang simpatik, mengungkap kembali sejarah perlawanan Nabi terhadap ideologi masyarakat pada waktu itu dalam bahasa yang baru. Misalnya, rasisme. Dari pembacaan model itulah, tindakan Nabi terasa hadir kembali pada masa kini. Ia tidak lagi hanya berkisah mengenai cerita kronologi perjuangan yang datar tanpa mengetengahkan pesan moral yang lebih mendasar dan kontekstual. Hakikatnya, upaya pembebasan manusia dari kesewenang-wenangan merupakan tugas utama kenabian. Kehendak untuk mewujudkan cita-cita itu tidak hanya melalui penanaman keyakinan, tapi juga dengan mengurusi kehidupan konkret rakyat. Wajah Politikus Muslim Sebagaimana ditegaskan Fazlur Rahman, sarjana Pakistan, dalam buku terkenal The Major Themes of the Qur'an, tujuan etik dan tatanan sosial egalitarian kitab suci diwujudkan dengan cara mengkritik ketidakseimbangan ekonomi dan ketidaksetaraan sosial yang berlaku dalam masyarakat Makkah pada waktu itu. Mengingat kitab suci adalah akhlak Nabi, secara tersirat manifesto politik muslim sekarang ini dengan sendirinya mengacu pada pesan moral tersebut. Sejarah kenabian dalam membangun masyarakat Madinah merupakan oase yang bisa dijadikan cetak biru bagi pegiat politik untuk membawakan dirinya dalam pentas kekuasaan. Malangnya, pada era reformasi politik, politikus Islam tak terlihat manis. Kebanyakan pelaku yang aktif di dalamnya terjerat skandal suap. Hampir-hampir di semua partai politik Islam ditemukan anggotanya yang dijebloskan ke penjara. Pada saat yang sama, tidak ada tokoh yang mampu menjadi magnet karena kesederhanaan dan keteguhan sikapnya. Sosok seperti Agus Salim dan Muhammad Natsir tentu tak ditemukan lagi di gemerlap panggung dan retorika politik saat ini. Elite politik muslim tidak jauh berbeda dari selebriti yang senantiasa memikirkan mode dan penampilan. Mereka berkoar-koar membela Islam dengan garang. Namun, mereka secara tidak sadar juga menista dengan terang. Menelisik keseharian Muhammad yang tertera dalam kitab suci dan kisah itu, siapa pun bisa memeriksa kembali gaya hidupnya dengan merujuk pada perilaku yang dicontohkan Nabi. Kehidupan keluarga Nabi tidak jauh berbeda dari masyarakat kebanyakan waktu itu. Sejatinya Muhammad bisa meraup kekayaan, namun beliau menahan diri dari memperkaya diri sendiri, lebih suka berada di tengah si miskin. Demikian pula, ayah Ibrahim itu masih sempat menjahit sendiri bajunya yang koyak, sebuah contoh kemandirian. Sayangnya, para ulama yang sering dianggap ahli waris Nabi juga tidak layak menjadi cermin. Kisah kesederhanaan Kiai As'ad Syamsul Arifin, pendiri Pesantren Salafiyyah Syafiiyyah Situbondo, telah menjadi cerita usang. Sekarang, tokoh panutan di seantero tergoda pada kekuasaan, termasuk pernak-pernik yang menyertainya. Mungkinkah sosok ahli waris kenabian itu bisa ditemukan? Akhirnya, di tengah kemiskinan masyarakat kebanyakan, para pemimpin dituntut bekerja keras agar kefakiran itu tidak mendatangkan kemudaratan dan kekafiran. Jika ikhtiar untuk mengurangi angka kemiskinan belum memenuhi harapan, setidaknya mereka tidak memamerkan dan menghamburkan kekayaan negara dengan beraneka ragam dalih melalui penetapan anggaran dan kegiatan jalan-jalan. Sayangnya, amanat kekuasaan dilihat dari gemerlap istana, mobil mewah, pesawat pribadi, dan berpelesir ke luar negeri. Lalu, untuk apa mereka merayakan Maulid Nabi? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar