WACANA redenominasi rupiah kembali digulirkan. Rencananya,
pemerintah bersama DPR akan membahas RUU redenominasi rupiah menjadi
prioritas utama Program Legislasi Nasional 2013. Menkeu Agus Martowardojo
mengungkapkan, RUU itu sudah difinalisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Bank
Indonesia juga sudah memencet lampu hijau. Bahkan, sosialisasi mulai
dilaksanakan Januari ini hingga bisa terlaksana penuh secara bertahap pada
2022.
Memuliakan
Uang Receh
Sebelumnya, perlu digamblangkan tiga istilah terkait redenominasi yang
sering dikacaukan. Pertama, devaluasi. Inilah kebijakan satu
negara memperlemah kurs mata uangnya guna meningkatkan pendapatan ekspor
sekaligus menggemukkan cadangan devisa. Namun, devaluasi kerap memicu aksi
devaluasi balasan negara lain sehingga berpotensi melejitkan inflasi. Karena
itu, devaluasi meniscayakan angka penurunan kurs besar. Padahal, pemangkasan
kurs itu bisa memperburuk kredibilitas mata uang bersangkutan.
Kedua, sanering alias
penurunan nilai mata uang dengan mengguntingnya. Misalnya, selembar uang Rp
10.000 bisa digunting dua hingga bernilai Rp 5.000. Umumnya, sebagaimana
dituturkan Gubernur BI pertama Sjafruddin Prawinegara dalam Pelaku Berkisah (2003), kebijakan ini bertujuan
mengurangi uang beredar (money supply) demi menurunkan harga barang.
Sjafruddin pun pernah menerapkan ini -''Gunting Sjafruddin''- pada 1950. Efek
sampingnya, masyarakat menjadi kian miskin karena nilai uangnya berkurang.
Itu terjadi pada 1965 saat sanering kembali dilakukan di tengah
hiperinflasi 650 persen. Memang, sanering ditempuh jika situasi politik
kalut. Sebab, cara normal menurunkan inflasi ialah menaikkan suku bunga bank
untuk mengerem konsumsi.
Ketiga, redenominasi.
Yaitu, penghilangan beberapa digit dari mata uang demi penyederhanaan,
sementara nilainya tetap sama. Jadi tidak seperti sanering. Jika redenominasi memangkas tiga nol
dari Rp 10.000 menjadi Rp 10, uang Rp 10 itu masih bisa membeli satu kilogram
beras yang sebelumnya berharga Rp 10.000. Lalu, redenominasi tidak mengubah
kurs seperti devaluasi sehingga tidak mengundang balasan negara lain.
Jadi, redenominasi bertujuan menyederhanakan suatu mata uang dan
membuat transaksi lebih simpel. Selain itu, redenominasi bisa mendongkrak
kredibilitas mata uang. Kelak, ketika tiga nol rupiah dihilangkan, kurs per
USD akan Rp 9,5, bukannya Rp 9.500 seperti sekarang.
Tambahan lagi, kebijakan redenominasi rupiah dapat menumbuhkan kembali
apresiasi kita terhadap uang receh. Padahal, uang receh meroketkan inflasi
yang membebani masyarakat. Sebagai ilustrasi, kita andaikan kenaikan harga
BBM akan menaikkan tarif angkutan umum 10 persen. Namun, di lapangan, jika
kita naik angkutan umum bertarif Rp 2.000, yang terjadi bukanlah kenaikan
tarif menjadi Rp 2.200 (10 persen), melainkan Rp 2.500. Mengapa? Sebab, uang
Rp 200 dianggap remeh lagi, susah persediannya untuk ditransaksikan.
Akhirnya, terjadi pembulatan ke atas sebesar Rp 500 (25 persen) dari Rp
2.000, bukannya 10 persen seperti diproyeksikan.
Dalam konteks tersebut, redenominasi mampu memuliakan uang receh.
Sebab, redenominasi meniscayakan penataan pencetakan uang secara radikal
dengan pencetakan mata uang baru. Dari sini, BI dan pemerintah bisa meracik
ramuan pas pasokan uang receh dan uang besar secara proporsional. Dengan
begitu, pasokan uang receh mencukupi transaksi masyarakat sehari-hari.
Harapannya, cukupnya pasokan uang receh akan meniadakan dalih ''sulit
recehan'' bagi pihak yang suka membulatkan kenaikan harga.
Cermin Baik Buruk
Hanya, redenominasi bukanlah obat mujarab yang dalam semalam bisa
meningkatkan perekonomian Indonesia. Dua kisah penerapan redenominasi di
Brasil dan di Turki sebagaimana dijelaskan Tony Prasetiantono (2010) patut
disimak.
Pertama, redenominasi
di Brasil menjadi mimpi buruk saat penyederhanaan mata uang dari cruzeiro
menjadi cruzado pada 1986-1989 tak banyak mengubah kurs mata uang itu
terhadap dolar AS. Kurs terjun bebas dari 1 cruzado per 1 dolar AS menjadi
ribuan cruzado. Alasan kegagalan itu adalah ketidakmampuan pemerintah Brasil
mengelola inflasi, yang mencapai 500 persen per tahun kala itu. Juga,
rendahnya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah karena negeri itu masih
dilanda konflik politik dan instabilitas pemerintahan yang mengikis kepastian
berusaha.
Untungnya, Brasil mampu bangkit ketika kembali meredenominasi cruzeiro
real menjadi real pada 1 Juli 1994. Kunci keberhasilan kali ini: Brasil mengutamakan
stabilitas politik terlebih dahulu dan menjalankan reformasi ekonomi. Dengan
begitu, inflasi perlahan terpangkas dan investasi asing mulai masuk
memperkuat cadangan devisa.
Kedua, redenominasi
di Turki justru menuai sukses. Awalnya, Turki kelimpungan mendapati kurs
liranya membengkak dari 9 lira per 1 dolar AS menjadi 1,65 juta lira pada
2001! Masyarakat pun memandang rendah lira dan sekaligus Turki. Karena itu,
Turki membuang enam angka nol pada 1 Januari 2005 agar 1 dolar AS setara
dengan hanya 1,26 lira baru, yang terus stabil pada level 1,517 lira per Juli
2010. Rahasia keberhasilan Turki: melakukan reformasi ekonomi yang memangkas
inflasi hingga satu digit, meningkatkan kepercayaan investor, membuka
perekonomian terhadap sektor swasta, dan menurunkan tingkat pengangguran.
Efek redenominasi pun lestari hingga kini. Sebab, Turki konsisten mencatat
pertumbuhan ekonomi sejak 2002 hingga saat ini.
Karena itu, asalkan Indonesia dalam jangka panjang tekun menjalankan
reformasi politik dan ekonomi, mengendalikan inflasi di tingkat satu digit,
menjaga pertumbuhan, dan memperkuat cadangan devisa, redenominasi jelas
kebijakan strategis yang potensial menjadikan perekonomian negara ini kian
besar. Toh, Indonesia memang menyadari perlu
waktu cukup lama untuk merealisasikan hingga redenominasi tuntas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar