|
Mempercepat
Penghapusan Kemiskinan
Hendri Saparini ; Ekonom
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Januari 2013
|
BEBERAPA hari lalu BPS meng umumkan angka
kemiskinan September 2012 turun men jadi 11,66% dari 12,36% pada September
2011. Dari segi jumlah, penduduk yang terkategori miskin berkurang dari 29,89
juta (2011) menjadi 28,59 juta, dengan garis kemiskinan (pengeluaran per
orang per bulan) sebesar Rp259.520 untuk September 2012.
Kinerja pemerintah SBY dalam menghapuskan
kemiskinan memang tergolong buruk karena selama kepemimpinan SBY, pengurangan
angka kemiskinan relatif lamban. Saat rezim SBY mengawali Kabinet Indonesia
Bersatu yang pertama, angka kemiskinan nasional sebesar 15,97% (Februari
2005). Artinya dalam waktu lebih dari tujuh tahun pemerintahannya, angka
kemiskinan hanya turun 4,31%.
Kinerja yang buruk dalam penanggulangan
kemiskinan ini memang tidak hanya terjadi saat ini, tetapi juga pada
masa-masa sebelumnya. Meskipun begitu, saat ini dapat dikatakan memburuk
karena kemampuan anggaran negara semestinya sangat jauh lebih besar.
Rendahnya kinerja Indonesia dalam penghapusan
kemiskinan dan peningkatan pendapatan masyarakat akan terlihat jelas saat
membandingkan dengan kinerja negara lain. China, misalnya, prestasi dalam
penurunan angka kemiskinan dan peningkatan pendapatan penduduk sangat jauh
lebih maju. Data Bank Dunia menyatakan, pada 2005, penduduk China dengan
pendapatan kurang dari U$2 per hari sebesar 36,3%. Data lain menyebutkan pada
1985, jumlah penduduk miskin masih sekitar 65%. Sementara di Indonesia, yang
memulai pembangunan ekonomi lebih dulu, ternyata pada 2009 jumlah penduduk
dengan pendapatan kurang dari US$2 per hari masih sebesar 50,9%.
Ubah Strategi
Negara lain yang juga sering disebut memiliki
pengalaman sukses dalam menghapus kemiskinan ialah Vietnam. Negara itu mampu
memangkas angka kemiskinan sebesar 62% dalam 10 tahun terakhir. Ternyata
kedua negara tersebut antara lain memiliki strategi yang mengintegrasikan
kebijakan pemberantasan kemiskinan ke dalam strategi pembangunan ekonomi
nasional.
Hal itu semakin memperkuat keyakinan bahwa Indonesia harus mengubah strategi
pembangunan ekonomi saat ini.
Strategi pembangunan ekonomi, yakni kebijakan
yang memacu pertumbuhan ekonomi di satu sisi dan menciptakan program
kemiskinan di sisi yang lain, telah terbukti hanya dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak mampu mengurangi jumlah orang miskin dan
berpendapatan rendah secara signifikan. Pertumbuhan ekonomi terjadi relatif
tinggi dan stabil, tetapi perbaikan ekonomi yang dihasilkan tidak menyentuh
dan memberikan manfaat yang besar bagi sebagian besar penduduk yang berada di
lapisan bawah.
Karakteristik pertumbuhan ekonomi yang lebih
disumbang dan dinikmati kelompok menengah ke atas juga tecermin dari data BPS
yang melaporkan distribusi pengeluaran penduduk 40% terendah menurun selama
periode 19992011. Pada 1999 masih sebesar 21%, tetapi pada 2011 porsi
pengeluaran kelompok bawah hanya sebesar 16,86%. Angka itu merupakan angka
terendah selama periode 1999-2011.
Di sisi lain, pengeluaran penduduk 20%
tertinggi, yang pada 1999 hanya sebesar 41,15%, meningkat menjadi 48,41% pada
2011 atau merupakan angka tertinggi juga selama periode tersebut.
Lebih dari itu, perubahan strategi pembangunan
ekonomi yang diperlu kan bukan hanya strategi yang mampu mendorong pendapatan
dan pengeluaran penduduk, baik di tingkat atas maupun bawah, melainkan
strategi pembangunan ekonomi yang mampu memberikan percepatan kenaikan
pendapatan yang lebih tinggi bagi kelompok masyarakat bawah ketimbang
percepatan yang dirasakan kelompok atas.
Tujuannya, agar tidak terjadi masalah baru,
yakni pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkatkan kesenjangan seperti saat
ini. Data BPS menunjukkan rasio gini 2011, yang sebesar 0,43, merupakan level
tertinggi (kondisi kesenjangan paling lebar) selama periode 2002-2011.
Pentingnya Pangan
Pelajaran lain yang dapat dipetik dari China
dan Vietnam ialah strategi penghapusan kemiskinan yang dilakukan dengan
menciptakan berbagai kebijakan dan program di sektor pangan yang melibatkan
penduduk miskin.
Bila kita cermati, ada dua hal dari publikasi
BPS minggu lalu yang mendukung pentingnya koreksi kebijakan di bidang pangan.
Pertama, BPS menyampaikan bahwa sumbangan garis kemiskinan makanan terhadap
garis kemiskinan pada September 2012 tercatat sebesar 73,5%. Berarti, dua
pertiga pengeluaran orang miskin masih untuk makanan. Dengan kondisi ini,
bila masyarakat miskin bisa memenuhi kebutuhan pangan sendiri, akan semakin mudah
bagi mereka untuk terentaskan dari kemiskinan. Sebaliknya, bila harus
memenuhi kebutuhan pangan dengan membeli, mereka akan semakin terperosok ke
dalam kubangan kemiskinan di saat terjadi inflasi makanan yang cukup tinggi.
Pada 2012, inflasi nasional memang hanya 4,3%.
Namun, sumbangan terbesar inflasi ialah makanan dan bahan makanan yang
mencapai 56%. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir (20072012), inflasi bahan
makanan dan makanan sangat tinggi, sebesar 54% dan 41%. Orang miskin,
meskipun hampir 65% tinggal di desa, sebagian besar adalah buruh tani yang
memenuhi kebutuhan bahan pangan dengan membeli. Artinya, meskipun tinggal di
daerah pertanian sekalipun, mereka harus memenuhi kebutuhan pangan dengan
membeli, bukan memproduksi. produksi.
Hal menarik kedua, dilaporkan BPS bahwa Indeks
Kedalaman Kemiskinan 2012 untuk perkotaan sebesar 1,38, sedangkan di daerah
perdesaan jauh lebih tinggi, mencapai 2,42. Nilai Indeks Keparahan Kemiskinan
untuk perkotaan hanya 0,36, sedangkan di daerah perdesaan sebesar 0,61. Angka-angka
tersebut menunjukkan bahwa tingkat keparahan kemiskinan di perdesaan ternyata
lebih buruk bila dibandingkan dengan daerah perkotaan. Bila pangan merupakan
faktor penting yang akan menentukan kerentanan masyarakat terhadap
kemiskinan, sedangkan 63% penduduk miskin berada di daerah pertanian,
seharusnya kemiskinan di perdesaan tidak lebih parah.
Dengan fakta-fakta
demikian, penghapusan kemiskinan lewat perubahan kebijakan sektor pangan dan
pertanian menjadi sangat vital.
Pentingnya Keterlibatan
Strategi penghapusan kemiskinan yang
memfokuskan pada sektor pertanian itu pulalah yang telah diterapkan di China
dan Vietnam. Pembangunan di China, yang diawali dengan membangun desa dan
khususnya sektor pertanian, ternyata telah berhasil menghapuskan kemiskinan.
Sebagaimana di Indonesia, konsentrasi orang miskin China juga terjadi di
perdesaan, sehingga fokus pembangunan pertanian pada tahap awal pembangunan
ekonomi menjadi solusi tepat karena tidak mensyaratkan sumber daya manusia
dengan pendidikan dan keterampilan yang tinggi.
Pilihan pembangunan sektor pangan juga pada
akhirnya tidak hanya mampu mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri.
Pembangunan pertanian yang komprehensif juga telah menjadikan komoditas
pertanian sebagai salah satu unggulan ekspor China.
Tidak mengherankan bila dalam ASEAN-China Free Trade Agreement
(ACFTA), China mendorong early harvest program, yakni liberalisasi sektor
pertanian diberlakukan lebih cepat, pada 2004, karena pada saat itu China
tidak hanya telah mampu swasembada, tetapi juga mampu menghasilkan produk
pangan yang sangat kompetitif. Dengan prestasi itu, para petani di perdesaan
yang semula tergolong masyarakat miskin telah berpindah kelas menjadi
kelompok kelas menengah. Itu sebabnya, menurut data ADB, jumlah kelas
menengah baru di China, yang pada 2009 mencapai 66%, lebih banyak berada di
perdesaan. Hal itu berbeda dengan Indonesia. Pada 2009, jumlah kelas menengah
baru di Tanah Air relatif masih sedikit dan hanya terkonsentrasi di
perkotaan.
Di Vietnam, program pemberantasan kemiskinan
yang memfokuskan pada sektor pertanian pangan juga menitikberatkan pada
keterlibatan penduduk dan penduduk miskin dalam memproduksi pangan, baik
pangan untuk memenuhi kebutuhan mereka maupun pangan sebagai komoditas komersial
untuk meningkatkan pendapatan. Sebagaimana China yang memberikan
comprehensive subsidy di bidang pangan, berbagai insentif juga diberikan
pemerintah Vietnam, termasuk jaminan margin hingga 40% yang akan mendorong
peningkatan kesejahteraan petani.
Jelas bahwa strategi pemenuhan pangan untuk
menjamin akses pangan bagi masyarakat, termasuk masya rakat miskin, yang
dilakukan China dan Vietnam bukan strategi pangan yang liberal. Melainkan,
kebijakan yang tidak sekadar menekankan pada pengadaan pangan, tetapi juga
pengadaan pangan oleh masyarakat. Kebijakan yang harganya diserahkan kepada
pasar, tetapi stabilitasnya ditentukan lewat peran pemerintah, baik harga
untuk konsumen maupun produsen.
Dari pelajaran tersebut, Indonesia seharusnya
dengan tegas menolak berbagai rekomendasi menyesatkan, termasuk dari OECD
yang menyarankan Indonesia melupakan mimpi swasembada pangan karena
swasembada pangan tidak menjamin produksi pangan yang efisien. Indonesia juga
harus tidak mudah menerima saran dari berbagai forum internasional yang
mendorong untuk memprioritaskan value chain dengan membangun infrastruktur
untuk menyediakan pangan bagi rakyat, tanpa mempermasalahkan sumber pangan
tersebut.
Pilihan ada pada pemerintah SBY, apakah akan
mempermudah masuknya investasi seperti pela investasi seperti pel buhan dan
jalan tol di berbagai wilayah Indonesia dan membuka lebar keran impor untuk
menekan bi aya pengadaan dari pasar China, Eropa, Australia, dll. Ataukah
rezim SBY akan memilih mendorong investasi berbagai proyek infrastruktur yang
akan memudahkan dan menekan biaya logistik dan distribusi komoditas pangan
dari sentra-sentra pertanian di seluruh Indonesia.
Ada korelasi erat antara kebijakan pangan dan
kemiskinan. Pilihan kebijakan pangan yang tepat akan mendorong ketersediaan
pangan sekaligus mengurangi kemiskinan, bahkan mengangkat masyarakat miskin
menjadi kelas menengah di perdesaan. Namun, kebijakan pangan yang liberal dan
meninggalkan petani miskin akan memperparah kemiskinan dan kesenjangan
ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar