|
REPUBLIKA,
25 Januari 2013
Salah satu kosa kata dalam film
Sang Pencerah yang menjadi pemicu konflik adalah kata kafir. Betapa label ini
telah dengan mudah menyulut kekerasan.
Setidak-tidaknya, penanda kafir terhadap upaya pembaruan Ahmad Dahlan telah mendorong pengikut Kiai Penghulu membakar Langgar Kidul. Betapa mengenaskan, sebuah tempat ibadah yang suci dibakar oleh sekelompok Muslim sendiri.
Lalu, bagaimana kita memahami kata
kafir agar ia tidak dengan mudah dijadikan tameng untuk menyerang lawan dan
menggampangkan persoalan yang kompleks terkait hubungan kemanusiaan? Ada dua
rujukan yang perlu dilihat agar siapa pun tak dengan lancang dan lancung
mengecap orang lain kafir untuk membenarkan penyerangan, yaitu kitab suci dan
sejarah Nabi.
Yang pertama adalah sumber mutlak yang tidak bisa diganggu gugat
keabsahannya, namun pada waktu yang sama ia juga mengandaikan pelbagai
penafsiran. Sementara yang kedua adalah praktik Nabi dalam menyemai
nilai-nilai kitab suci, yang kadang tak disebutkan secara tersurat dalam
Alquran. Dengan demikian, tidak ada kata-kata dalam kitab suci yang berfungsi
sebagai sumbu pendek, sekali disulut langsung meledak.
Menurut Rudi Paret dalam Mohammed und der Koran: Geschichte und Verkuindigung des
Arabischen Propheten sebagaimana dikutip oleh Marylin Robinson Waldman
dalam The Development of the Concept of
Kufr in The Qur'an (1968), kata terkait dengan kata kafir, yang berasal
dari k-f-r, berjumlah 500 kata turunan. Betapa konsep kafir dengan sendirinya
tidak bisa dengan mudah diletakkan pada kening seseorang mengingat kata dasar
ini mengandaikan hubungan medan semantik yang luas. Anehnya, banyak orang
dengan ringan telah meringkus kafir adalah orang bukan Islam yang layak
diperangi.
Hakikatnya, pengertian ini adalah
sebagian dari konsep k-f-r yang lebih luas dan mengandaikan konteks
tertentu. Oleh karena itu, kita tidak bisa hanya meringkus k-f-r ke
dalam pengertian tidak beriman, namun ia secara relasional berkait dengan
kata kunci lain dalam kitab suci seperti fasiq, fajr, zulm, i'tida, dan
israf. Dengan kata lain, pengingkaran itu tidak saja pada Tuhan, tetapi
perilaku manusia itu sendiri yang melawan perintah Tuhan. Misalnya,
pengertian kafir yang dikaitkan perilaku boros atau mubazir dalam hal makan
minum (al-A'raf: 31) mengetuk kepala banyak orang yang berbuka puasa di
hotel bintang dengan makanan berlimpah. Meskipun mereka tidak mengasup semua
menu di meja, tetapi tak ada orang yang mengusik prilaku `kafir ini' dengan
lantang.
Dengan pendekatan semantik Izutsu
seperti ini, kafir itu bermakna lebih luas dan mengandaikan pandangan dunia (weltanschaaung) tersendiri. Ia bisa
dilekatkan pada Muslim, bukan pelabelan secara serampangan seperti yang
dilakukan oleh Kiai Penghulu terhadap Dahlan, tetapi mengandaikan pandangan
menyeluruh.
Bagaimanapun, kita menyadari bahwa penyematan ini mempunyai beban trauma
sejarah, di mana mereka yang dianggap kafir dengan sendirinya adalah musuh
yang harus dibasmi. Kata kape di Aceh mengingatkan perjuangan Teuku Umar dan
Cut Nyak Dhien yang menggelorakan perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Namun, mengingat Nabi Muhammad
tidak memerangi kafir Quraish dalam penaklukan Makkah, dengan alasan perang
itu sebenarnya bukan karena sekelompok masyarakat itu mengingkari Tuhan,
tetapi pertahanan diri dari serangan lawan. Dalam keadaan damai, justru Nabi
telah mematerai perjanjian untuk memberi hak dan kewajiban yang sama terhadap
setiap komunitas masyarakat yang berbeda, baik agama maupun suku.
Dari penjelasan di atas, kita seharusnya
kembali pada misi nubuat Nabi yaitu penyempurnaan perilaku (akhlak) umat.
Keluasan dari pengertian kafir seharusnya mendorong kita untuk melihat secara
langsung bagaimana Nabi berhadapan dengan orang-orang yang berbeda agama
dalam urusan ibadah dan sosial. Sebagai wujud yang paling nyata dari
Alquran, betapa Nabi dengan tanpa kikuk turut memanggul keranda jenazah
Yahudi yang melintas di depannya. Sementara, sekarang begitu banyak orang
berprilaku sebaliknya dengan meng- anggap Yahudi adalah musuh yang
nyata.
Dengan ringan orang ramai
menganggap Gus Dur sebagai agen Yahudi, yang setelah ditelisik cercaan ini lahir
dari pertikaian politik karena tokoh yang bersangkutan mendukung calon
tertentu. Sebenarnya film Sang Pencerah telah mengajarkan kita bahwa
penyerangan terhadap Langgar Kidul itu karena Masjid Kiai
Penghulu telah
ditinggalkan oleh jamaah. Belum lagi, sang kiai sendiri pun mengakui bahwa ia
merasa terganggu oleh kewibawaannya yang makin melorot. Dengan kata kafir,
sang kiai telah berhasil memantik amarah kaum santri untuk bertindak kasar.
Fenomena seperti ini akan terus
terulang. Untuk itu, kita harus memeriksa ulang makna semantik kafir
yang serampangan. Tak pelak, Jurgen Habermas mengaitkan pengetahuan dan
kepentingan, karena sejatinya yang terakhir kadang menuntun manusia untuk
mengelola wacana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar