Krisis Global
dan Indonesia
Anwar Nasution ; Guru Besar Fakultas Ekonomi UI
|
KOMPAS,
17 Januari 2013
Krisis ekonomi dunia yang
tengah terjadi dewasa ini bersumber dari tiga jenis krisis yang terjadi di
negara industri maju, terutama Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang.
Krisis
ekonomi di zona euro merupakan gabungan antara tiga krisis yang saling
kait-mengait: krisis fiskal, krisis perbankan, dan pertumbuhan ekonomi
rendah. Krisis Yunani merupakan krisis fiskal karena pemerintah tak mampu
melunasi pokok serta bunga utang yang jatuh waktu. Karena sudah terikat
unifikasi moneter yang menggunakan mata uang euro, ke-17 negara anggotanya
(termasuk Yunani) tak lagi dapat menetapkan kebijakan moneternya sendiri,
yang telah dialihkan dari bank sentral nasional masing-masing negara anggota ke
the European Central Bank (ECB),
bank sentral untuk semua negara anggota zona euro.
Oleh
karenanya, Yunani dan negara-negara anggota zona euro lain tak dapat
melakukan devaluasi untuk menggerakkan kembali perekonomiannya, seperti
halnya Indonesia saat krisis 1997-1998.
Krisis
keuangan di negara-negara pinggiran Euro (Irlandia, Portugal, Spanyol,
Italia) pada awalnya berupa krisis industri perbankan. Seperti Indonesia
tahun 1997, krisis perbankan kemudian menimbulkan kredit fiskal karena
besarnya biaya pembersihan buku bank yang mengalami krisis dan memulihkan
kecukupan modal dasarnya. Seperti halnya Yunani, tingkat suku bunga di
kelompok negara pinggiran menurun drastis setelah terjadi integrasi pasar
keuangan dan mulai berlakunya mata uang euro 1 Januari 1999.
Penurunan
suku bunga terjadi karena derasnya dana yang mengalir dari negara-negara kaya
di belahan utara (Skandinavia, Jerman, Belanda, dan Perancis). Sebagian dana
itu berupa pinjaman bank antarnegara. Dana digunakan negara-negara pinggiran
untuk membelanjai ekspansi defisit anggaran negara dan kredit perbankan.
Sebagian besar ekspansi dana perbankan itu untuk membangun sektor real estat.
Seperti di sektor negara, real estat tak dapat diekspor dan produktivitas pun
lebih rendah dibandingkan sektor penghasil komoditas ekspor. Daya saing
ekonomi negara pinggiran kian merosot karena tingginya tingkat upah dan
bantuan sosial yang sangat membebani anggaran negara. Sebaliknya, pasar
tenaga kerja di Jerman lebih fleksibel dan jaminan sosialnya sudah diperbaiki
sehingga tak terlalu memberati keuangan negara.
Berbeda
dengan Jerman, negara-negara pinggiran juga tak mampu memperluas basis
industri manufakturnya ke negara-negara bekas Eropa Timur untuk memanfaatkan
tenaga kerja murah dengan tingkat keterampilan yang tinggi di negara-negara
tersebut. Dengan adanya pengembangan basis industrinya itu, Jerman dapat
meningkatkan ekspor mesin-mesin, alat-alat berat serta mobil mewah ke Asia
yang perekonomiannya tumbuh pesat.
Krisis
ekonomi AS dan Jepang bersumber dari krisis politik dalam negeri. Krisis sub-prime mortgages di AS tahun
1997-1989 sudah dapat diatasi dengan menambah modal bank-bank beserta
nasabahnya, seperti asuransi AIG dan pabrik mobil General Motor.
Partai-partai politik di kedua negara itu tak sepakat tentang seberapa cepat
menaikkan pajak dan mengurangi pengeluaran negara untuk mengurangi defisit
APBN. Defisit APBN yang terlalu cepat dikurangi dapat menimbulkan resesi
ekonomi (fiscal cliff). Tak ada
masalah bagi kedua negara itu untuk membelanjai defisit APBN ataupun melunasi
utang negaranya. AS dapat mencetak uang atau menjual obligasi hampir tanpa
batas karena mata uangnya berlaku di seluruh dunia dan seluruh bank sentral
termasuk China dan BI menempatkan cadangan luar negerinya dalam obligasi
pemerintah negara itu. Jepang memiliki Bank Tabungan Pos yang dapat menyerap
sebagian besar obligasi pemerintahnya yang seluruhnya dinyatakan dalam satuan
mata uang nasionalnya.
Krisis
ekonomi global telah dan akan terus memperbesar defisit neraca pembayaran
luar negeri Indonesia yang pada gilirannya menurunkan tingkat laju
pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja. Defisit neraca berjalan
itu harus ditutup dengan menggunakan cadangan luar negeri kita yang tak besar
jumlahnya. Alternatif lain, melakukan devaluasi rupiah yang dapat menimbulkan
inflasi. Kenaikan laju inflasi 2013 tak dapat dihindarkan akibat gabungan
kian melemahnya kurs rupiah yang menaikkan harga barang impor, kenaikan upah
tenaga kerja yang sangat tinggi tanpa diimbangi peningkatan produktivitas,
kenaikan harga BBM yang subsidinya sudah mencapai seperlima pengeluaran
pemerintah pusat.
Krisis
ekonomi internasional memengaruhi ekonomi nasional melalui neraca pembayaran
luar negeri, baik berupa neraca berjalan maupun neraca modal. Defisit neraca
berjalan kian membesar karena adanya penurunan ekspor ataupun kiriman TKI
dari luar negeri (remittances) ke
kampung halamannya. Selain kredit bank, remittances
salah satu sumber pembelanjaan pengeluaran konsumsi domestik di daerah asal
TKI. Sumber pembelanjaan lain pengeluaran domestik adalah pengeluaran
pemerintah, termasuk untuk membantu kelompok miskin. Berbeda dengan masa Orde
Baru, pemerintah kini mengatasi kemiskinan lewat bantuan langsung (BLT) dan
beras untuk kelompok miskin (Raskin). Pemerintah Orde Baru mengatasi
kemiskinan melalui upaya peningkatan produktivitas dan produksi, seperti
program bimas serta penciptaan lapangan kerja pada industri manufaktur padat
karya, puskesmas, dan pendidikan.
Karena
ketergantungan yang tinggi pada impor barang konsumsi, bahan baku ataupun
barang modal impor, nilai impor tak dapat segera diturunkan secepat penurunan
ekspor. Dewasa ini, ekspor Indonesia sangat tergantung pada sekelompok kecil
bahan mentah (batubara, migas, minyak kelapa sawit, karet, dan tembaga),
terutama ke China dan India, selain Jepang, Korsel, dan Taiwan. Penurunan
permintaan ekspor Indonesia adalah akibat dari penurunan ekspor China dan
India ke AS, Eropa, dan Jepang yang tengah dilanda krisis. Penurunan
permintaan bahan baku juga terjadi karena berkurangnya kegiatan
industrialisasi, mekanisasi, serta urbanisasi akibat dari penurunan ekspor
serta tingkat laju pertumbuhan di kedua negara.
Nilai
tukar efektif rupiah yang sempat menguat beberapa waktu lalu merupakan
disinsentif bagi peningkatan produksi serta ekspor nonbahan mentah, terutama
di industri manufaktur. Upaya peningkatan produktivitas dan memerangi biaya
tinggi pun tak ada. Pada masa Orde Baru, ekspor nonmigas padat karya
(terutama tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki) dirangsang melalui devaluasi
rupiah secara reguler dan upaya peningkatan produktivitas serta daya saing.
Penanaman modal asing yang masuk dewasa ini terutama di sektor pertambangan
untuk mendapatkan akses pada sumber energi dan bahan mentah.
Berbeda
dengan negara tetangga, Indonesia tak ikut serta dalam rantai pasokan global
(global supply chains) sebagai
produsen komponen dan suku cadang elektronik dan otomotif untuk dirakit di
China guna menghasilkan produk jadi yang diekspor terutama ke AS dan Eropa.
Modal asing jangka pendek yang masuk ke Indonesia terutama membeli SUN, SBI,
saham ataupun obligasi swasta dan kredit pada bank-bank dan usaha nasional.
Likuiditas
global yang tersedia sangat besar dewasa ini karena bank sentral di AS,
Eropa, dan Jepang memompakan likuiditas jangka pendek untuk membantu
likuiditas industri perbankan dan menurunkan tingkat suku bunga hingga
mendekati nol persen. Perbaikan likuiditas perbankan serta penurunan suku
bunga ini diharapkan dapat merangsang peningkatan kegiatan ekonomi, melalui
peningkatan konsumsi dan investasi masyarakat. Kebijakan moneter yang
ekspansif seperti ini ditempuh karena, akibat dari kegaduhan politik,
kebijakan fiskal tak dapat diperluas guna mendorong kegiatan ekonomi.
Ekspansi likuiditas dilakukan oleh Bank Sentral Jepang dan AS dengan
mengintroduksi quantitative easing yang dapat membeli langsung obligasi
pemerintah di pasar primer. Sebagaimana di Indonesia, ECB yang independen
hanya boleh membeli obligasi negara melalui pasar sekunder. Injeksi likuiditas
di Zona Euro dilakukan ECB lewat fasilitas kredit likuiditas jangka panjang.
Meski likuiditas melimpah dan tingkat bunga sangat rendah, perbankan di zona
euro tak dapat melakukan ekspansi kredit karena kekurangan modal dan
ketakutan pada peningkatan rasio kredit bermasalah.
Pembelian
obligasi serta saham perusahaan Indonesia oleh pemodal asing kian berkurang
karena, selain didominasi sektor pertambangan dan perkebunan yang produknya
sedang merosot, pemodal asing pun masih meragukan tata kelola perusahaan Indonesia.
Gabungan antara keperluan peningkatan modal di kantor pusat dan keraguan atas
kualitas investasi pada perusahaan Indonesia dapat mengurangi pemasukan modal
jangka pendek ke Indonesia ataupun memicu arus baliknya. seperti kita alami
1997, berhentinya mendadak pemasukan modal jangka pendek dan arus baliknya
bisa langsung meningkatkan kurs rupiah. Kurs rupiah yang sangat tinggi
membangkrutkan industri perbankan, dunia usaha serta memberatkan keuangan
negara yang sangat tergantung pinjaman luar negeri.
Ada
beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menghadapi krisis global dan
mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi nasional. Pertama, membangun
lembaga andal. Untuk menurunkan biaya transaksi pasar perekonomian Indonesia,
tertib hukum perlu ditegakkan agar dapat melindungi hak milik individu dan
memaksakan berlakunya kontrak perjanjian. Kegagalan pasar harus ditiadakan
dengan menegakkan aturan main secara tegas dan adil. Krisis perbankan yang
terus-menerus terjadi sejak kasus BLBI, Bank Bali, dan Bank Century harus
dihentikan untuk mengurangi tekanan pada anggaran negara. BUMN dan BUMD perlu
dikorporatisasi dan dibuat jadi profesional agar mampu bersaing di pasar
dunia.
Kedua,
mengendurkan disiplin anggaran untuk membangun infrastruktur. Resep
stabilitas ekonomi makro Uni Eropa yang kita gunakan melalui program IMF
1997-2003 sangat ampuh untuk memulihkan kembali stabilitas ekonomi makro dan
memeliharanya hingga saat ini. Dalam pelaksanaan, defisit APBN jauh di bawah
nilai maksimum 3 persen PDB dan rasio utang hanya sekitar 27 persen PDB, di
bawah batas maksimum 60 persen. Strategi seperti ini baik untuk citra
sebagaimana tecermin dari kenaikan peringkat SUN di pasar dunia dan
menurunkan tingkat suku bunganya. Namun, korban strategi itu adalah tak
adanya anggaran untuk membangun infrastruktur yang diperlukan. Akibatnya,
biaya logistik sangat mahal sehingga investasi baru terhambat dan program
MP3EI hanya mimpi kosong belaka.
Ketiga,
memangkas subsidi BBM yang salah sasaran. Subsidi BBM seyogianya untuk
meningkatkan infrastruktur ekonomi, pendidikan, dan kesehatan masyarakat.
Keempat, lemahkan nilai tukar efektif rupiah. Nilai tukar efektif rupiah
perlu terus-menerus diperlemah secara perlahan agar dapat memberikan insentif
bagi produsen komoditas ekspor. Penurunan nilai tukar efektif itu tidak saja
dapat dilakukan lewat devaluasi eksternal atau mengubah nilai tukar nominal
rupiah, tetapi juga bisa lewat devaluasi internal dengan memangkas ekonomi
biaya tinggi, seperti pungli, korupsi, serta tingkat upah tenaga kerja yang
berlebihan. Kelima, merangsang investasi dan penanaman modal di manufaktur
merupakan cara terbaik menciptakan lapangan kerja di dalam negeri untuk
menyerap tenaga kerja yang sangat besar. Investasi harus diarahkan ke
industri padat karya yang berorientasi pengaitan Indonesia pada rantai
pasokan global dan mengolah sumber daya
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar