Kepemimpinan
Trisakti
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar
Departemen Politik
FISIP
Universitas Airlangga
|
KOMPAS,
02 Januari 2013
Pada awal musim hujan yang
baru turun di tanah Jakarta, kami sekumpulan dosen, aktivis kemanusiaan, dan
jurnalis dari Aceh sampai Papua—bertemu dalam forum Sukarelawan Indonesia
untuk Perubahan. Selama tiga hari kami bertukar pengalaman bersama tentang
persoalan di antara kita dalam konteks keindonesiaan.
Salah
satu persoalan penting yang kami diskusikan terkait dengan kepemimpinan
Indonesia. Bagi kami, kepemimpinan Indonesia menjadi problematik ketika hanya
diputuskan segelintir lapisan sosial elite Jakarta yang memiliki akses
dominan atas kekuasaan ekonomi-politik di negeri ini. Kepemimpinan Indonesia
ke depan—yang melingkupi gugus kebinekaan Indonesia dalam segenap
dimensinya—sudah saatnya dirundingkan oleh segenap pluralitas Indonesia,
terutama kaum muda.
Persoalan
kepemimpinan Indonesia menjadi tantangan ke depan sekaligus krisis dalam
kehidupan kita berbangsa. Krisis kepemimpinan Indonesia ini tampil dalam
beberapa indikator utama, yang memperlihatkan runtuhnya prinsip-prinsip dalam
Trisakti yang pernah dicanangkan oleh Soekarno pada 1963 sebagai parameter
kemajuan bangsa. Tiga prinsip itu adalah berdaulat secara politik, mandiri
secara ekonomi, dan berkepribadian dalam ranah sosial-kebudayaan. Meskipun
Trisakti ini diucapkan hampir 50 tahun lalu, tetapi prinsip-prinsipnya masih
relevan dalam konteks demokratisasi di Indonesia.
Dalam
kedaulatan politik, konteks demokratisasi memperluas ruang kedaulatan. Di
sini bukan lagi terbatas pada kedaulatan negara, lebih dari itu adalah
kedaulatan warga negara dalam menentukan posisi politiknya.
Terkait
kedaulatan warga negara akhir-akhir ini, kita menyaksikan jajak pendapat dari
beberapa lembaga survei ternama di Indonesia tentang kepemimpinan nasional di
2014 yang masih didominasi oleh elite-elite lama. Sebutlah seperti Megawati
Soekarnoputri (PDI-P), Aburizal Bakrie (Partai Golkar), Prabowo Subianto
(Gerindra), dan Hatta Rajasa (PAN).
Munculnya
tokoh-tokoh elite lama di ruang publik utama dalam wacana kepemimpinan
nasional menunjukkan terjadinya dua krisis politik. Pertama, terjadinya krisis
regenerasi kepemimpinan dalam ruang masyarakat politik. Kedua, partai sebagai
katalisator politik gagal menampilkan sosok kepemimpinan muda organik yang
berasal dari akar rumput dalam pentas politik nasional. Kedaulatan politik
warga, yang di dalamnya termasuk kedaulatan untuk menentukan regenerasi
kepemimpinan di negeri ini, dihalangi oleh partai politik yang terbonsai oleh
aktivitas oligarki elite-elite politik.
Persoalan
kemandirian ekonomi muncul dalam bentuk semakin menguatnya ketidakadilan sosial.
Empat belas tahun lebih proses reformasi bergulir di
Apabila
angka kemiskinan
Dari
sekitar 120 juta angkatan kerja, angka pengangguran terbuka tahun 2012 masih
7,61 juta jiwa atau 6, 32 persen. Sementara data MDG (Tujuan Pembangunan
Milenium) memperlihatkan harapan hidup kita memprihatinkan. Sejak tahun 2009
Indonesia mengalami 307 angka kematian setiap 100.000 kelahiran, masih jauh
dari target MDG yang 105 kematian dari 100.000 kelahiran pada 2015.
Problem
ketimpangan sosial bukanlah semata-mata persoalan ekonomi. Juga terkait
persoalan kepemimpinan dan institusi politik yang memproduksi dan bekerja
melalui nakhoda kepemimpinan tersebut.
Selama
ini rakyat menaruh harapan atas institusi demokrasi untuk membereskan
persoalan-persoalan publik. Namun, aktivitas kepemimpinan untuk memproduksi
kebijakan pada kenyataannya tak mampu menempatkan negara sebagai pembela bagi
mayoritas mereka yang papa, pembendung bagi kerakusan malapraktik korporasi,
serta penghukum bagi kekuatan oligarki bisnis-politik yang bekerja melalui
mekanisme korupsi dan penjarahan aset publik.
Pada
wilayah kebudayaan, kita berhadapan dengan persoalan terkikisnya prinsip
hidup bergotong royong. Suatu prinsip hidup yang tak saja menekankan pada
pentingnya menghormati pluralisme Indonesia, serta saling
Adapun
yang kita saksikan saat ini adalah betapa para pemimpin politik hanya
menyepakati prinsip-prinsip kebinekaan secara normatif, tetapi tidak sungkan
menggunakan isu-isu diskriminatif suku, agama, ras, antargolongan (SARA) ketika
berhubungan dengan kepentingan elektoral politik. Kepemimpinan nasional kita
terlibat dengan mendiamkan kekerasan sosial saat kalangan minoritas di
berbagai wilayah negeri ini kehilangan hak-hak sipilnya. Otoritas hukum
sebagai penjamin perlindungan bagi rakyat untuk memiliki kebebasan
berkeyakinan dan menjalankan ibadah tidak bekerja di hadapan suara-suara yang
mengklaim sebagai mayoritas.
Berhadapan
dengan krisis kepemimpinan kita dalam mewujudkan prinsip-prinsip utama dalam
gagasan Trisakti di atas, maka ada yang harus kita pertimbangkan dalam
menyoal kepemimpinan nasional sebelum menyodorkan tokoh-tokoh alternatif.
Penting untuk kita ingat adalah Indonesia bukan hanya Jawa, lebih khusus lagi
bukan hanya Jakarta.
Proses
seleksi kepemimpinan nasional bukan semata-mata melakukan survei melalui
pertanyaan tertutup dengan menyodorkan tokoh-tokoh nasional untuk dipilih
oleh responden dari Sabang sampai Merauke. Melakukan seleksi kepemimpinan
Indonesia, pertama-tama, bukan hanya soal mencari tokoh, melainkan juga
menghimpun detail persoalan yang dihadapi setiap wilayah dengan segenap
lokalitasnya sebelum diabstraksikan sebagai persoalan nasional.
Memilih
pemimpin republik harus dilakukan melampaui jajak pendapat teknokratis.
Caranya dengan mulai melibatkan entitas masyarakat sipil di tingkat lokal
untuk membuka pertanyaan dan menemukan figur kepemimpinan organik yang
terlibat dengan persoalan keseharian rakyatnya.
Hanya
dengan jalan mendengarkan suara-suara kebinekaan Indonesia, yang dilakukan
mendahului seleksi formal pemilu, maka kita dapat memperjuangkan kembali
prinsip-prinsip Trisakti. Suatu prinsip yang terbukti tidak mampu dijawab
generasi lama yang tengah memimpin republik kita saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar