|
SINAR
HARAPAN, 23 Januari 2013
Tsunami politik melanda Partai Nasional Demokrat (Nasdem)
menjelang dilaksanakan kongres 25-26 Januari mendatang. Berita mundurnya Hary Tanoesoedibjo (HT) dari jabatan ketua
dewan pakar diikuti mundurnya sekjen partai, Ahmad Rofiq, wakil sekjen,
Saiful Haq, dan ketua dewan pimpinan wilayah (DPW) Jawa Barat, Rustam
Effendi, Senin 21 Januari menunjukkan
ada problem internal yang cukup akut dialami partai berlatar belakang biru
itu.
Mundurnya tokoh-tokoh penting yang telah dikenal luas publik itu
dipastikan akan melemahkan akselerasi politik Nasdem yang diketahui sebagai
satu-satunya partai non-parlemen yang lolos untuk Pemilu 2014. Citra politik
dan kekuatan modal yang besar menjadi salah satu andalan partai yang memakai tagline
“gerakan perubahan” itu untuk menjadi partai tiga besar.
Hasil jajak pendapat (polling) Lembaga Survey Indonesia (LSI)
pada Maret 2012 atau sepuluh bulan sebelum partai ini disahkan sebagai
peserta Pemilu 2014 menempatkan Nasdem berada di posisi keempat (5,9 persen)
di belakang Golkar (17,7
persen), PDIP (13,6 persen), dan Demokrat (13,4 persen).
Tentu hasil survei ini tidak begitu mengagetkan di tengah
rontoknya citra partai-partai parlemen yang dianggap berkinerja buruk,
terlibat korupsi, dan oligarkis dibandingkan populis. Jelas efek mundurnya HT
jauh lebih hebat guncangan dan pengaruhnya dibandingkan mundurnya Sri Sultan
Hamengku Buwono X ketika organisasi ini berubah dari ormas menjadi partai
politik.
Terlalu Politis, Kurang Ideologis
Sejak awal banyak pihak melihat tujuan hadirnya organisasi
Nasdem tidak lain untuk kepentingan politik praksis dibandingkan menjadi
kekuatan sipil (civil society) yang
mengawal kekuasaan. Organisasi ini dibentuk oleh Surya Paloh (SP)
pasca-kekalahannya saat persaingan dalam kongres “Golkar satu triliun” di
Riau pada 2009. Naiknya Aburizal Bakrie dirasa SP menjadi tanda tamat riwayat
politiknya di partai berlambang beringin itu.
Dengan cepat dan cenderung terburu-buru ia mendirikan sebuah
organisasi yang dinamakan Nasional Demokrat. Pemberian nama “Nasional
Demokrat” dan bukan “Demokrat Nasional” sebenarnya tidak sesuai dengan kaidah
kata benda majemuk dalam bahasa Indonesia (kaidah diterangkan-menerangkan
atau DM).
Pemilihan kata “demokrat” dan bukan “demokrasi” juga
memperlihatkan partai ini berorientasi pada subjek dan bukan pada nilai atau
wacana politik yang mendalam dan filosofis. Pemilihan istilah “Demokrat” pun
sebenarnya tidak meniru Partai Demokratnya SBY, tapi Partai Demokratnya Obama
di Amerika Serikat. Kritik itu muncul sejak nama ini pertama sekali
diperkenalkan ke publik.
Dengan modal politik dan ekonomi yang dimilikinya, SP
mengembangkan petualangan politiknya dengan maksud pertama menampung
pendukungnya yang anti-Aburizal Bakrie. Secara cepat, organisasi yang
mengampanyekan restorasi Indonesia ini menjadi kekuatan politik baru dan
dikenal luas.
Itu karena ia menguasai kerajaan media melalui Media Group,
sehingga memudahkan untuk mempromosikan dan mendiseminasi gagasan politik dan
kerja-kerja politik. Kekuatan Nasdem semakin kuat ketika konglomerat media
lain, HT dengan jaringan MNC Group masuk dan menduduki posisi intelektual
partai (ketua dewan pakar).
Perpaduan dua konglomerat media ini diyakini akan mudah
melakukan penggiringan wacana politik sekaligus pembentukan citra partai
secara lebih positif. Edmund Burke menyebutkan kekuatan media massa menjadi
pilar keempat demokrasi setelah representasi eksekutif, legislatif, dan
yudikatif.
Representasi fakta dan opini melalui media massa dapat
memengaruhi kebijakan politik dan juga ingatan publik. Maka di era posmodernisme
saat ini, berpolitik tanpa menggunakan peran media sama dengan bersikap naif
di tengah politik pragmatis.
Dengan tokoh-tokoh muda berasal dari beragam latar belakang
seperti pengusaha, mantan-aktivis Golkar dan partai lain, mantan aktivis
mahasiswa, pekerja media massa, aktivis LSM, selebritas, dan aktivis
perempuan membuat Nasdem menjelma menjadi impresario harmonis di tengah
politik yang semakin kompetitif.
Dengan partai yang lebih minimal (10 partai) dibandingkan
pemilu-pemilu pasca-reformasi yaitu pemilu 1999 (48 partai), 2004 (24
partai), dan 2009 (38 partai) Partai Nasdem jelas harus bekerja lebih keras
membujuk konstituen dengan karakter pemilih yang semakin apatis dan realistis
dengan momen elektoral.
Namun, yang menguntungkan adalah meskipun Partai Nasdem kurang
ideologis dan aspek identitas politik tidak cukup khas, popularitasnya tetap
terjaga karena partai-partai lain juga sama-sama lemah kumparan ideologisnya.
Partai dengan warna ideologi dan politik aliran yang eksklusif seperti pada
Pemilu 1955, masa Orde Baru, dan 1999, semakin tidak terlihat di dua pemilu
terakhir.
Partai pun tidak lagi memiliki percakapan tentang platform dan
ideologi politik yang mendalam, tapi lebih mengarah pada program-program
praksis dan retorikapopuler, seperti anti-korupsi, pro-rakyat, partai
terbuka, pro-perubahan, dsb.
Faktor Orang Kuat
Perpecahan yang terjadi di Partai Nasdem tidak dapat dilepaskan
dari figur SP yang terkenal keras hati. Padahal, rekaman sejarah menunjukkan,
konflik internal partai karena adanya sosok orang yang terlalu mendominasi
akan menyebabkan konsolidasi partai secara internal lemah dan pengaruh
eksternal ke publik mengecil.
Keluarnya Sri Sultan HB X dari Nasdem adalah awal kerugian dari
segi modal kultural. Namun, terlihat SP tidak menyayangkan keluarnya HB X,
dan masih bisa mengelola partainya sehingga tidak terjadi eksodus
besar-besaran.
Saat ini konflik internal akan lebih hebat, karena adanya ambisi
SP menjadi ketua umum partai menggantikan Patrice Rio Capella. Memang dari
segi figur SP jelas jauh lebih berpengaruh dan populer dibandingkan ketua
umum partai saat ini. Bahkan, dibandingkan partai-partai medioker lain
seperti PKB, PKS, atau Hanura sosok Rio terlihat jauh tidak populer.
Partai Nasdem harus bisa belajar dari sejarah. Kasus PAN
misalnya, ketika tokoh-tokoh pendiri seperti Faisal Basri, Goenawan Mohamad,
Albert Hasibuan keluar dari partai yang awalnya dideklarasikan inklusif itu,
PAN pun hanya ditakdirkan menjadi partai menengah.
Faktor Amien Rais yang terlalu memaksakan PAN menjadi lebih
Muhammadiyah menjadi penyebab utama. Demikian juga ketika PKB pecah karena
sikap besar kepala Muhaimin Iskandar yang tega menggusur seluruh unsur Gus
Dur, PKB pun ambruk popularitasnya pada Pemilu 2009.
Contoh paling nyata juga terlihat pada Demokrat. Elektabilitas
partai pemerintah pemenang Pemilu 2009 dipastikan akan menurun drastis pada
2014.
Salah satu penyebab karena semakin tersingkir para pendiri di
dalam kepengurusan terakhir, dan di saat yang sama masuknya pemain baru yang
kental watak avonturirnya seperti Ruhut Sitompul, M Nazaruddin, Angelina
Sondakh, dan Andi Mallarangeng. Harus diingat para pendiri lebih lekat napas
historis partainya dan lebih bertanggung jawab dibandingkan para pemain baru
yang oportunis.
Ini yang harus dipastikan SP untuk terus melakukan konsolidasi
Partai Nasdem secara lebih baik pasca-eksodus beberapa pengurus penting itu,
agar partai ini tidak layu sebelum berkembang. Mati pucuk di tengah zaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar