Sabtu, 19 Januari 2013

Jakarta Panen Dusta Ekologis


Jakarta Panen Dusta Ekologis
Suparto Wijoyo ;  Dosen Hukum Lingkungan Universitas Airlangga,
Ketua Kenduri Agung Pengabdi Lingkungan (Kapal) Jawa Timur
JAWA POS, 19 Januari 2013


SEPERTI ritual peribadatan saja. Bencana demi bencana terus berulang. Kita menjadi terhenyak atas peristiwa banjir dengan tangis dan lelehan air mata warga Jakarta. Sejak puluhan tahun lalu, terdapat prediksi scientific mengenai masa depan Jakarta yang akan "tenggelam". Peristiwa genangan menjadi banjir yang menggelegak setiap masa hujan tentu merupakan tragedi ekologi yang mendukacitakan dengan kerugian triliunan rupiah. 

Kita pernah menyaksikan betapa dahsyatnya banjir di Jakarta pada 2001 maupun 2002. Pada 2007, 70 persen wilayah ibu kota terendam. Ini adalah mimpi buruk Jakarta yang diberitakan sebagai hasil siklus lima tahunan. Sebuah logika yang naif untuk "mengalihkan wewenang" agar otoritas publik Jakarta terbebas dari tanggung jawab hukum. Alam dianggap telah bersalah. 

Padahal, Kota Jakarta memang sedang mengalami kecelakaan perkotaan yang serius dengan banjir sebagai bentuk nyata penebusan atas "dosa-dosa ekologinya" yang diproduk para penguasanya. Banjir kali ini semakin meneguhkan dusta ekologis Jakarta yang selalu mengundang bencana. Inilah tugas berat Gubernur Jokowi untuk melakukan penebusan dosa masa silam Jakarta.

Publik Jakarta semestinya telah menyaksikan bahwa dalam kisaran kebijakan lingkungan (environmental policy), sesungguhnya tragedi terendamnya Jakarta adalah hasil dari kebijakan perkotaan pemdanya sendiri selama ini. Pemda DKI telah "berinvestasi" agar banjir datang menghadang pada suatu saatnya. Banjir diundang sebagai "tamu kehormatan". Di awal tahun 2007 serta kini diawal 2013, warga Jakarta sedang "memanen" perilaku pemerintahnya yang "acak" dalam mendesain Jakarta. 

Intinya, dalam koridor hukum lingkungan (milieurecht) dan planologi dapat dikatakan bahwa banjir Jakarta adalah "legal selegal-legalnya" sebagai akibat kebijakan yang mengabaikan kepentingan lingkungan sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusannya. 

Pada 2002, Jakarta mengalami banjir bandang. Saat itu banyak pihak berpaling pada rencana aksi yang terpola di Pantura Jakarta. Tahun 2003 Jakarta sibuk mengembangkan proyek raksasa yang begitu ambisius berupa reklamasi Pantura yang membentang sepanjang 32 km dari Tangerang sampai Bekasi. Pemda DKI melalui Badan Pelaksana (BP) Reklamasi Pantai tampak tidak mau surut langkah. 

Kemudian, kajian Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) terhadap dokumen amdal untuk proyek reklamasi Pantura terbukti tidak layak, sesuai Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 14/2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana Pantai Utara Jakarta di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Keputusan Menteri Nabiel Makarim inilah, yang dalam kisah selanjutnya disengketakan di peradilan dan MA memenangkan KLH.

Warga Jakarta saat itu secara cerdas sudah menerka: dengan reklamasi, Jakarta pasti terendam. Semua sudah mafhum mengingat pada 2002 sebelum dilakukan reklamasi besar-besaran saja, Jakarta sudah terendam. Frekuensi banjir saat itu diprediksi meningkat. Kini di 2013, bencana banjir di Jakarta tidak terelakkan menjadi "ritual akbar". 

Hal ini wajar mengingat di Pantura itu bermuara lebih kurang 13 sungai. Kalau pantainya diuruk, logikanya adalah terdapat pendangkalan Pantura. Akibat yang sudah terlihat adalah kerusakan habitat publik Jakarta. Apalagi daerah resapan di Jakarta juga sangat berkurang dengan beragam tol dan superblok yang tidak dibarengi laju pembuatan drainase perkotaan. 

Banjir sekarang ini jelas merupakan peristiwa memilukan yang menelan korban manusia dan lingkungan. Bencana yang telah merenggut nyawa, ribuan warga terisolasi, dan hancurnya tatanan ekologis seperti yang kini terus mengancam jiwa warga Jakarta bukanlah semata-mata bencana alam, act of God, melainkan "kiamat" kemanusiaan dan lingkungan yang terdesain. 

Aksi Gugat Tanggung Jawab 

Terhadap ancaman banjir dan tenggelamnya Jakarta, tentu para korban tidak dapat meminta pertanggungjawaban kepada Tuhan. Di Jakarta ini terdapat otoritas publik yang dinamakan pemerintahan yang mempunyai kewenangan melakukan pengelolaan lingkungan menurut UU Pemda, UU Lingkungan, UU Penanggulangan Bencana, UU Penataan Ruang, dll. 

Terhadap peristiwa tersebut secara politik seyogianya ada evaluasi kinerja oleh DPRD DKI Jakarta guna meminta pertanggungjawaban ekologis-yuridis gubernur meski Gubernur Joko Widodo akan menjawabnya bahwa dia sendiri adalah korban dari kebijakan sebelumnya. Banjir yang melumpuhkan Jakarta itu jelas hanya sekadar akibat dari rusaknya tatanan Kota Jakarta. Untuk itu, perlu pembenahan komprehensif oleh Pemda DKI. 

Publik dapat meminta kepada jajaran kepolisian di seluruh wilayah Jakarta untuk segera melakukan penyidikan komprehensif terhadap para perusak kawasan,baik yang liar maupun yang legal. Reklamasi pantai tanpa kendali dan tanpa diikuti dengan tahapan konservasi adalah tindakan kejahatan lingkungan. 

Pemda Jakarta memikul tanggung jawab hukum lingkungan atas terjadinya peristiwa banjir. Apa yang mereka kerjakan untuk perlindungan lingkungan Jakarta? Gubernur DKI Jakarta harus meninjau ulang prestasi kerja SKPD-SKPD-nya dalam melindungi kepentingan ekologis Jakarta. 

Sehubungan dengan hancurnya lingkungan di Jakarta tersebut secara yuridis, organisasi lingkungan hidup (OLH) dapat segera mengajukan "legal standing", yaitu mengajukan gugatan lingkungan dengan tuntutan memulihkan kualitas lingkungan yang rusak karena mismanajemen selama ini. OLH mempunyai hak menggugat untuk meminta pemulihan kualitas lingkungan. OLH dapat memainkan peran hukum yang signifikan bersama-sama dengan korban bencana ekosistem untuk melakukan "class action" dengan menggugat negara, dalam hal ini Pemda DKI. 

Kalaulah banjir di kemudian hari tetap terjadi, selayaknyalah secara akademik saya mengingat ucap prima Dante Alighieri: all 'alta fantasia qui manco possa - ketika sampai pada momen teragung ini, aku tak mampu lagi berkata apa-apa. Salam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar