Hakikat
Persaingan Partai
|
KOMPAS,
23 Januari 2013
Political
parties are like poets,
Henry Ford
Sistem
pemilu proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak, mempertegas hakikat
persaingan tidak semata antarpartai, tetapi antarelite. Bahkan, inilah kali
pertama eksperimen perebutan pemilih ”one
person, one vote, one value” (OPOVOV) di pasar politik yang terbuka.
Nomor
calon anggota legislatif (caleg) tidak lagi sesignifikan pemilu bersistem
proporsional tertutup. Kecuali aspek psikologis, caleg nomor urut satu tidak
otomatis terpilih. Semua harus berpeluh dalam kompetisi yang meniscayakan
kanibalisme politik.
Maka,
persaingan tidak hanya bersifat eksternal atau antarpartai, tetapi persaingan
di dalam tak kalah seru. Kegaduhan politik 2013 hingga Pemilu 2014 akan
didominasi persaingan yang cenderung pragmatis-transaksional. Multipartai
berebut pemilih terbatas dan beradu strategi di dua pemilu, legislatif, dan
pemilihan presiden (pilpres).
Namun,
tingginya partisipasi membuat para elite politik tidak terlalu resah dengan
fenomena ”golongan putih” (golput) atau nonvoters.
Di tingkat lokal, memang banyak pemilihan kepala daerah (pilkada) yang
dimenangkan golput. Hanya saja, gejala demikian belum akan terjadi pada
pemilu nasional. Artinya, pasar politik nasional masih terbuka atau
prospektif.
Banyak
penelitian dan analisis mengenai karakter pemilih, tetapi aspek kultural yang
masih sangat melekat di bangsa Timur mengenai fenomena patron sosial kurang
dibahas. Para elite sosial akan menjadi penentu ke mana arah dukungan
politik. Mereka adalah kelompok referensi penentu sehingga menjadi sasaran
para elite politik yang tengah bersaing. Elite-elite sosial itu, setidaknya
dalam rekam jejak era reformasi ini, cenderung mengabaikan aspek ideologis.
Penyebabnya,
pertama, kaburnya ideologi politik di Indonesia pasca-Orde Baru. Partai yang
satu dengan yang lainnya hampir tidak berbeda, kecuali simbolnya. Partai
seolah hanya sebatas
Spektrum
ideologi politik kita juga semakin sederhana. Sepuluh peserta Pemilu 2014
secara umum dapat dibelah jadi dua, yakni nasionalis dan Islam. Sebagai
perbandingan, sepuluh peserta Pemilu 1971 lebih variatif ketika partai
Kristen dan Katolik eksis. Pada Pemilu 2014, konstituen akan dihadapkan pada
pilihan non-ideologis.
Kedua,
gencarnya pendekatan pragmatis-transaksional membuat pergerakan politik lebih
banyak disetir oleh struktur insentif ketimbang ideologi. Artinya, aksi
politik Laswellian ”who gets what”
yang mengemuka. Dalam konteks ini, mobilisasi politik akan menggejala dengan
penggeraknya adalah kapital. Maka, ongkos politik semakin mahal pasca-Reformasi.
Karena
penanda ideologis kabur, yang mengemuka adalah tokoh. Partai adalah alat
pelontar tokoh-tokoh. Pemilu-pemilu era Reformasi, khususnya setelah pilpres
langsung, sesungguhnya merupakan kontes elite atau tokoh. Maka, kepopuleran
tokoh menentukan. Piranti media menjadi sangat penting.
Idolisasi
politik mengemuka. Ketika KPU memperbolehkan kampanye terbatas partai peserta
pemilu (11 Januari 2013 hingga 5 April 2014), itu hanya formalitas saja.
Kampanye yang sesungguhnya telah berlangsung lama. Masyarakat hanya menjadi
obyek penetrasi pengaruh elite partai. Dari sisi inilah, eksistensi dan peran
kelompok kritis dalam masyarakat sangat dibutuhkan.
Kelompok
kritis berisiko menjadi kue bika, dari atas diimpit partai-partai dan dari
bawah oleh masyarakat yang permisif. Sayang, menjelang Pemilu 2014 elemen
independen pro-demokrasi tidak sesemarak era transisi (1998-1999 dan
1999-2004). Institut demokrasi banyak yang tidak lagi terdengar kiprahnya.
Dengan
langkanya kelompok kritis yang independen, dalam demokrasi kontestatif ini
kita hanya bisa berharap pada bekerjanya checks and balances. Artinya, para
elite yang berlaga itu yang saling mengontrol, baik dalam internal partai
maupun antarpartai. Tetapi, yang perlu diingat adalah sisi gelap yang bisa
terjadi lebih sering, yakni kerja sama transaksional-pragmatis.
Di
tengah realitas demikian, etika dan rasionalitas politik harus tetap
mengemuka. Di seberang wilayah etika, penegakan hukum harus kuat.
Perangkat-perangkat formal yang berfungsi dalam pengawasan pemilu dituntut
bekerja ekstra keras. Penegak hukum harus berwibawa, konsisten, dan
independen.
Masalah
dari pemilu ke pemilu sepanjang Reformasi ini sebenarnya hampir sama, yaitu
sebagai momen vivere pericoloso yang mempertaruhkan kualitas demokrasi. Pemilu
mestinya tidak boleh sekadar disikapi secara teknis, melainkan harus
diwaspadai sebagai sebuah permainan politik.
Pemilu
dengan gaya demokrasi elektoral yang demikian bebas ini harus dipikirkan
untuk tidak melabrak bangunan integrasi bangsa. Legitimasi demokrasi penting
dalam suatu bangsa yang berdaulat. Karenanya, ia harus dijaga untuk tak
berhenti sebatas permainan. Demokrasi teknis harus dengan cepat
bertransformasi ke demokrasi makna.
Bila
demikian, persaingan politik bukan dipandang semata persaingan demokrasi
teknis, melainkan persaingan yang bermakna. Inilah tantangan para elite
partai! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar