Jumat, 18 Januari 2013

Gelap Dunia jika Hakim Nakal


Gelap Dunia jika Hakim Nakal
M Anwar Djaelani ;  Dosen STAIL (Sekolah Tinggi Agama Islam Lukmanul Hakim) Pesantren Hidayatullah Surabaya
JAWA POS, 18 Januari 2013



"KY MINTA KPK Sadap Hakim Nakal" (Jawa Pos 17/1/2013). Bahwa, pada 16/1/2013 telah ditandatangani Memorandum of Understanding (MoU) antara Komisi Yudisial (KY) dan KPK. Inti MoU adalah memberikan akses kepada KPK untuk menyadap hakim yang terindikasi menyalahgunakan profesinya. 

Atas kabar itu kita patut berharap banyak. Kita berharap bahwa MoU itu bisa menjadi jalan agar KPK dan KY menjadi "pasangan strategis" yang akan membuat para hakim takut menyalahgunakan wewenang dan selalu menjaga kehormatan hakim.

Ikhwal kehormatan hakim -belakangan ini- memang mengenaskan. "Hakim Nakal Naik Lipat Dua" (Jawa Pos 21 Desember 2012). Bahwa berdasar jumlah pemeriksaan KY, praktik pelanggaran kode etik sepanjang 2012 naik hingga 98 persen. Pada 2012 KY memeriksa 160 hakim dari total 1.482 laporan. 

Mari bandingkan dengan masa sebelumnya: "Hakim Nakal Naik 40 Persen" (Jawa Pos 1 Januari 2011). Intinya -berdasar catatan akhir tahun MA- jumlah hakim nakal selama 2010 meningkat 40 persen jika dibandingkan dengan 2009.

Menurut catatan itu, selama 2010, terdapat pelanggaran disiplin oleh 107 hakim. Di antara hakim yang bermasalah itu, bahkan lima orang diberhentikan secara tidak hormat melalui MKH (majelis kehormatan hakim).

Jika cukup banyak hakim yang kinerjanya buruk sebagaimana laporan itu, pantas kita berduka. Kita sedih bahwa di negara yang berpenduduk mayoritas muslim ini, banyak hakim yang bermasalah.

Bagi masyarakat, kenakalan hakim yang paling mudah dirasakan adalah yang terkait dengan penyimpangan prinsip equality before the law, bahwa siapapun -tak pandang bulu- berkedudukan sama di depan hukum. Indikasinya, cukup banyak hakim yang berlaku diskriminatif.

Lihatlah sekeliling! Jika para elite tersandung masalah hukum, beragam cara dilakukan agar mereka bisa lepas. Tapi, jika rakyat kebanyakan yang -misalnya- terpaksa mencuri sekadar untuk bisa bertahan hidup, hukum menindaknya dengan tegas.

Kisah Minah, nenek berusia 65 tahun, adalah sebuah ironi. Pada sekitar November 2009, karena mencuri tiga kakao, Minah diadili. Padahal, pada saat kejadian itu, dia segera meminta maaf setelah seorang mandor memergokinya hendak memungut kakao yang hanya seharga Rp 2.000 itu. Artinya, si nenek -warga Desa Darmakradenan, Banyumas, Jawa Tengah- tidak jadi mengambil buah kakao tersebut. Namun, singkat cerita, Minah pun dihukum satu setengah bulan kurungan.

Sekarang bandingkan dengan situasi yang lain. Tak jarang, mereka yang tergolong kuat posisinya (entah karena kekuasaan politik yang dipegangnya atau uang yang digenggamnya bertumpuk-tumpuk) tampak menikmati perlakuan istimewa. Atas masalah hukum yang membelitnya, kerap mereka diputus tak bersalah atau divonis tak seberapa.

Intinya, inilah ironi itu: "Rakyat besar" sering sulit disentuh hukum, tapi sebaliknya hakim tampak lugas saat mengadili "rakyat kecil". Hal yang demikian menunjukkan bahwa praktik hukum masih diskriminatif. Lihatlah lagi cerita tentang sejumlah koruptor yang divonis bebas atau setidaknya ringan. Sementara, terhadap sejumlah kasus pencurian dengan nilai sangat kecil oleh orang kecil, hakim sigap menghukumnya.

Hukum diskriminatif inilah yang menghancurkan tatanan. Rasulullah SAW pernah menyatakan: kehancuran orang-orang atau bangsa terdahulu karena jika ada "orang besar" (elite) mencuri, mereka dibiarkan saja. Tetapi jika yang mencuri adalah kaum yang lemah (rakyat jelata), mereka dijatuhi hukuman berat.

Hukum itu tak boleh tebang pilih dalam penegakannya. Inilah prinsip keadilan yang harus ditegakkan walau itu menyentuh langsung kepentingan pribadi, keluarga, teman, atau penguasa.

Bersikap adil adalah salah satu inti dari amanah seorang hakim (pengadil). Dan, yang luar biasa, keadilan itu merupakan pokok kehidupan di dunia ini. Kehidupan akan hancur jika hukum tak tegak. Kehidupan akan rusak jika hukum tak bisa mendatangkan keadilan. Singkat kata, tiada kehidupan yang bermartabat dan sejahtera tanpa keadilan yang sejati.

Hakim adalah amanah yang strategis dan -karena itu- harus ditunaikan secara baik. Dengan demikian, keadilan harus ditegakkan kepada siapa pun oleh hakim, sekalipun itu berlawanan dengan kepentingan diri, keluarga, atau kelompoknya. Keadilan harus kita berikan, bahkan termasuk kepada pihak yang kita anggap sebagai musuh. Sungguh, like or dislike tak boleh mewarnai proses penegakan hukum. 

Dengan demikian, profesi hakim menuntut kehati-hatian yang ekstratinggi agar tak tergelincir ke arah perbuatan zalim. Sebab, begitu dia berbuat zalim (diskriminatif, misalnya), dia telah memilih setan sebagai sahabat karibnya.

"Semua mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum" adalah salah satu prinsip utama penegakan hukum. Dengan mengamalkan prinsip itu secara ketat, keadilan sebagai tujuan penegakan hukum bisa (cepat) terwujud. Tapi, jika di sekitar kita banyak hakim nakal, akan mudah kita bayangkan seperti apa wajah dunia kita. Gelap! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar