|
Euforia
Persatuan Palestina
Ibnu Burdah ; Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam;
Dosen Fakultas Adab dan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
|
KOMPAS,
09 Januari 2013
|
Suasana peringatan hari
jadi ke-48 Fatah di Jalur Gaza, wilayah kekuasaan Hamas—dan pernyataan para
pemimpin kedua faksi terbesar Palestina itu—membawa harapan baru akan
terwujudnya persatuan Palestina.
Hamas bukan hanya
memberikan kesempatan kepada para pengikut Fatah untuk merayakan hari jadinya
di wilayah Gaza, sebagian pengikut dan pemimpin gerakan itu juga turut serta
dalam perayaan. Suasana hampir serupa terjadi pada perayaan hari jadi ke-25
Hamas di Tepi Barat akhir tahun lalu.
Suasana seperti ini belum
pernah terjadi sejak kedua faksi itu mengalami perselisihan hebat yang
melibatkan aksi bersenjata pada tahun 2007. Presiden Mahmoud Abbas bahkan
merespons suasana baru itu dengan menyatakan perpecahan Palestina telah
berakhir. Realitas baru itu juga memunculkan kembali secercah harapan akan
terwujudnya cita-cita negara Palestina merdeka dan perdamaian final dan
menyeluruh antara ”negara” itu dengan Israel.
Namun, semua itu
sepertinya tidak bisa dipandang secara berlebihan. Harus disadari, kedua
faksi itu mulai menunjukkan keinginan untuk melakukan rekonsiliasi secara
serius setelah jalan perjuangan yang mereka tempuh sama-sama gagal.
Pilihan strategi Fatah
untuk mewujudkan Palestina merdeka melalui meja perundingan bisa dikatakan
tidak berhasil. Berbagai formulasi negosiasi selama 22 tahun terakhir sudah
dicoba, tetapi negara yang dicita-citakan belum juga menjadi kenyataan. Jalan
negosiasi hanya melahirkan ”otonomi” amat terbatas di delapan kota Palestina,
sebagaimana kerangka Oslo II.
Beberapa capaian perundingan
sesudahnya, seperti perundingan Hebron dan W River, hampir tidak memberikan
tambahan yang berarti. Sepertinya para pemimpin Fatah sudah sedemikian
frustrasi atas kegagalan demi kegagalan proses perundingan.
Sementara strategi
”senjata” yang ditempuh Hamas ternyata juga tidak membawa hasil yang berarti.
Alih-alih mewujudkan negara Palestina merdeka, strategi itu justru membawa
konsekuensi jatuhnya banyak korban dan krisis kemanusiaan berkepanjangan di
Gaza setelah Israel mengisolasi wilayah padat penduduk itu.
Pilihan ini memang sedikit
memberikan kebanggaan bagi sebagian rakyat Palestina, tetapi semua itu sama
sekali tidak mendekatkan mereka kepada tujuan. Sebaliknya, sikap ”kukuh”
mereka justru menyebabkan penderitaan rakyat Gaza kian dalam. Setelah ”kegagalan”
bersama inilah, semangat rekonsiliasi yang tampak serius dan meliputi para
pemimpin dan pengikut mereka muncul ke permukaan.
Eksternal
Jika pernyataan para
pemimpin kedua gerakan itu untuk mengakhiri perpecahan sungguh-sungguh dan
tulus, dan mereka bersedia menahan egoisme kelompoknya masing-masing demi
perjuangan bersama yang lebih luas seperti yang dikatakan, harapan segera
terwujudnya rekonsiliasi dan persatuan Palestina sangat besar. Namun,
pengamatan penulis terhadap pidato para pemimpin kedua faksi tersebut selama
ini menunjukkan seringnya ada jurang yang jauh antara yang dikatakan dan yang
dilakukan, terutama menyangkut perselisihan dan upaya rekonsiliasi antara
keduanya.
Penulis cenderung
berpendapat, semangat rekonsiliasi itu menguat berkat terciptanya lingkungan
baru yang memaksa keduanya mengakhiri perpecahan dan mewujudkan persatuan.
Lingkungan baru itu terdiri atas dua hal.
Pertama, gejala menguatnya
tuntutan para pemuda terdidik Palestina terhadap kedua faksi itu untuk segera
menyatukan barisan. Meski belum pernah menjadi gerakan massa dalam skala
besar seperti di negara-negara ”Musim Semi Arab”, tuntutan para pemuda
Palestina melalui media sosial dan informasi tidak bisa lagi diremehkan.
Meski sebagian organisasi pemuda dan mahasiswa Palestina telah terafiliasi
kepada salah satu dari kedua faksi itu, kemunculan kelompok-kelompok gerakan
independen di kalangan terdidik mereka tidak bisa diabaikan.
Jika kedua faksi itu tetap
kukuh dengan egoismenya masing-masing, seperti selama ini, tidak mustahil
mereka kelak akan menjadi musuh bersama rakyat Palestina. Karena itu, pada
dua tahun terakhir retorika penghentian perpecahan dan mewujudkan Palestina
bersatu menguat secara signifikan di kalangan para pemimpinnya.
Kedua, dukungan
aktor-aktor regional kini mulai bergeser kepada Hamas. Yang sangat mencolok
adalah perubahan sikap Mesir, Turki, dan Qatar. Ketiganya merupakan aktor
regional yang sangat aktif, bahkan agresif, saat ini. Mereka semula sangat
dekat dengan Israel, dan terutama yang pertama dan kedua begitu memanjakan
Fatah dan mengabaikan Hamas.
Perkembangan baru
menunjukkan, dukungan ketiganya terhadap Hamas makin kuat hingga membuat
khawatir tokoh-tokoh Fatah. Pada konteks ini, daya tawar Fatah dan Hamas
tidak lagi timpang sebagaimana dahulu. Fatah memang masih didukung Barat dan
banyak negara Arab, tetapi mereka jelas kehilangan dukungan dari aktor-aktor
regional secara signifikan. Sementara secara de facto, Hamas lebih kuat dan
lebih tahan banting. Juga memperoleh dukungan baru dari banyak negara meski
beberapa waktu ini mereka menjauh dari Iran dan Suriah.
Fatah rupanya menyadari
benar bahwa mereka tidak bisa lagi berjalan sendiri dan mengabaikan Hamas
sebagaimana pada masa-masa sebelumnya. Hamas juga menyadari berbagai
keterbatasan mereka jika terus menutup diri. Euforia persatuan Palestina,
bagaimanapun, tidak boleh dilepaskan dari konteks ini.
Memang tidak ada pilihan
yang tersisa bagi Hamas dan Fatah saat ini jika ingin tetap eksis sebagai
lokomotif utama perjuangan rakyat Palestina dan upaya mereka mewujudkan
Palestina merdeka bisa efektif. Satu-satunya pilihan itu adalah mengakhiri
perpecahan dan mewujudkan persatuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar