|
SUARA
KARYA, 25 Januari 2013
Kinerja Jokowi-Ahok
sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI yang sudah berusia 100 hari pertama
sejak dilantik 15 Oktober 2012 kini benar-benar direview publik. Permasalahan Jakarta sekarang dan di depan mata
adalah persoalan banjir. Kendati dibangun drainase raksasa Banjir Kanal Timur
(BKT) dan Banjir Kanal Barat (BKB), ancaman banjir tetap menjadi momok warga
Jakarta. Kecemasan itu benar-benar terjadi, pada 17 Oktober 2013, tanggul
Latuharhary BKB jebol sehingga air menjadi bencana di pusat Jakarta.
Dalam hal banjir, keunggulan
Pemerintah Singapura cukup diacungi jempol. Singapura mampu melakukan
sinkronisasi perencanaan rumah tinggal bagi penduduknya dan kebutuhan ruang
terbuka hijau (RTH) untuk resapan air. Meski umumnya tinggal di apartemen
yang mahal, namun karena pemerintahnya tegas, akibatnya sungguh luar biasa.
Hampir tidak pernah menemui Singapura kebanjiran, betapapun lamanya hujan
turun.
Penyelesaiannya sebenarnya tidak
sulit, kembalikan kepada hukum alam. Dulu Jakarta tidak pernah banjir karena
muka tanah tidak banyak ditutupi sehingga air hujan yang jatuh, meresap
langsung ke dalam tanah.
Kini, kondisinya berbanding
terbalik, banyak muka tanah dan pori-porinya ditutupi seperti halaman
bangunan rumah, mal dan lain-lain dengan tren meningkat pesat dan rata-rata
dengan cor. Akibatnya, air kehilangan jalan untuk masuk ke dalam tanah,
melainkan berputar-putar ke dalam got dan selokan, akhirnya ke sungai atau ke
laut. Sebenarnya ini sangat disayangkan karena akan menghabiskan cadangan air
tanah, dan air akan berpindah meninggikan muka air laut.
Pemerintah Singapura di bawah
Departemen LTA (Land, Transport Authority) hanya berpikir sederhana saja.
Kalau tanah lebih banyak tidak ditutupi maka air akan kembali ke tanah
sehingga tidak membanjiri penduduk.
Itulah sebabnya bangunan perumahan
penduduk Singapura yang luas pulaunya lebih kecil dari Pulau Samosir itu
semuanya menjulang ke atas. Dalam basement disediakan tempat parkir, di
atasnya mall, di atas lagi apartemen, bahkan tidak jarang semua bangunan yang
rata-rata tinggi itu apartemen semua. Karena banyaknya bangunan tinggi, maka
sangat mudah menemui ruang kosong, tanah kosong sehingga banyak ditanami
bunga dan pohon. Singapura benar-benar kota hijau, banyak vegetasi, burung
jalak, dan yang terpenting ada lahan untuk resapan air hujan dalam jumlah
cukup.
Apa perbedaan Singapura dan
Jakarta? Sungguh berbanding terbalik, di Singapura tinggal di apartemen
karena bukan orang kaya, namun di Indonesia memiliki apartemen adalah orang
kaya. Di negeri kita, tinggal di apartemen memang belum menjadi kultur. Rasa
kepemilikan atas tanah begitu kuat, alasannya karena sebab primordial seperti
akan diwa-riskan ke anak-anaknya. Tanggung jawab orangtua Indonesia memang
sangat luar biasa karena menjadi jaminan seumur hidup bagi kehidupan anaknya.
Rasanya memang bangga menjadi orang Indonesia.
Singapura mengungkapkan rasa
tanggung jawab itu secara berbeda. Anak-anaknya disekolahkan dengan baik agar
kelak jika besar mendapatkan jalan hidup yang dipilih sendiri. Begitupun
sekolah sangat menghargai setiap ciri keunikan anak dan pantas mendapatkan
pengembangan bakatnya sendiri. Di NUS terpampang jelas dalam bannernya, "Everyone is Unique and Deserve to
Succeed", jadi setiap anak adalah unik dan pantas mendapatkan
kesuksesan.
Di Indonesia karena sekolah tidak
menjamin masa depan anak, akhirnya orangtua masih turun tangan mengatur jalan
hidup sang anak. Akhirnya setiap orangtua tidak akan bersedia tinggal dalam
apartemen, karena menganggap rumah yang dimilikinya adalah warisan kepada
anak-anaknya untuk modal hidup di kemudian hari.
Alangkah kumuhnya setiap sisi
sungai di Jakarta, sepertinya jika pemerintah mengakomodasi dengan membuat
apartemen mungkin cukup hanya satu atau dua apartemen saja. Jadi, tanah yang
luas itu dan kini ruwet karena banyak bangunan kumuh akan indah, dan yang
terpenting banyak lahan untuk resepan air hujan.
Hampir seluruh kawasan Jakarta
penuh dengan manik-manik rumah kumuh, bahkan dalam kota sendiri jika masuk
dalam gang-gang akan mendapati rumah berdempetan dan tidak memiliki tanah
kosong. Semuanya menjadi bagian rumah dan semuanya menutup tanah. Sangat
sulit membayangkan bagaimana sanitasi, distribusi listrik, jaringan air
minum, telepon dan kebutuhan dasar hidup lainnya. Meski sekarang bisa
diperoleh namun dengan ekstra usaha luar biasa. Sepertinya sangat sulit dan
susah hidup di Jakarta. Belum lagi, kalau hujan turun satu jam saja, ancaman
banjir selalu membayang.
Beri Insentif
Untuk mendapatkan solusi dari
masalah banjir Jakarta tidak mudah karena kompleksnya problem sosial Jakarta
secara keseluruhan. Perpaduan patriarki, kultur, sosial begitu mixed sehingga tidak mudah mengubah
pola dengan hanya sekali membalik tangan. Diperlukan sosialisasi, edukasi
yang terpadu sejak dari dalam rumah sampai dengan sekolah-sekolah. Penyadaran
itu akan panjang dan penuh dengan pro kontra.
Sebagai inisiator, betapapun
diperlukan campur tangan dan kepedulian pemerintah. Ambillah bagian kota yang
paling buruk dan yang paling sering banjir, bangunlah apartemen sesuai kelas
mereka sebagai pengganti tempat tinggal. Melihat situasi ekonomi mereka yang
sulit, maka pemerintah sepertinya harus meringankan beban mereka atas
kewajiban membeli apartemen itu. Tanah yang semula dikuasai mereka
dikembalikan sebagai fasilitas publik seperti taman, parkir, sekolah, pasar
dan seterusnya.
Berilah investor insentif
pembangunan apartemen itu, dan juga berilah insentif kepada rakyat yang
tinggal di kawasan itu. Jika untuk kebaikan pasti rakyat akan menyambutnya
dengan senang. Sekali-kali insentif kepada rakyat tidak ada salahnya bukan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar