Selasa, 04 Desember 2012

Tanggung Jawab Sejarah Kita


Tanggung Jawab Sejarah Kita
Radhar Panca Dahana ;  Budayawan
MEDIA INDONESIA, 03 Desember 2012


TENTU saja, bila seseorang memiliki kebiasaan, katakanlah menanam pohon tomat di halaman depan, atau berjalan kaki menuju halte bisa di depan kompleksnya, tidaklah ia bisa disebut sebagai tradisi, apalagi sebuah budaya.
Kebiasaan yang bersifat individual atau personal, mungkin kadang disebut juga tradisi, yang tentu saja tidak merujuk ke sebuah tradisi besar, atau setidaknya bersifat komunal.

Jadi kalau ada kebiasaan, kegemaran, atau kecenderungan beberapa pribadi di kalangan tertentu, misalnya di pemerintahan, di militer, atau parlemen, senang melakukan tindak tertentu yang menyimpang, seperti memeras, menyuap, selingkuh, kolutif, atau manipulatif, tidak bisa serta-merta ia dikategorikan sebagai sebuah perilaku atau pola-tindak yang kolektif, komunal, apalagi nasional. Apalagi sebagai sebuah budaya.

Apakah sebuah tindakan atau perilaku yang negatif atau menyimpang, destruktif pada praksis atau pelaksanaannya, dapat dikatakan sebagai sebuah budaya? Perlu pemahaman sederhana dulu tentang kebudayaan itu sendiri.

Tanpa harus menyitir, mengutip, atau mengacu kepada tokoh atau ilmuwan tertentu, kebudayaan secara sederhana sebenarnya adalah `niat baik'.
Niat baik itu berasal dari kebutuhan yang paling natural atau asli dari manusia, yakni bagaiman caranya manusia, subspesies dari mamalia itu, dapat survive atau mempertahankan hidupnya. Jadi, kebudayaan, dalam fitrah atau pemahaman paling purba atau primordialnya, adalah usaha sederhana untuk mempertahankan hidup diri atau sub-spesiesnya itu. Hampir sama dengan binatang dan tumbuhan, tetapi untuk kebudayaan ini manusia mengubah benda alam dan menciptakannya kembali sebagai alat untuk usaha yang sangat natural itu.

Nafsu Meraup Keuntungan

Setelah itu, kebudayaan berkembang dalam pemaknaan dasarnya. Dengan kemampuan--terutama akal--yang dimilikinya, manusia meninggalkan binatang, tumbuhan, dan entitas/makhluk lainnya, untuk tidak hanya survive, tapi juga `memuliakan dirinya' lebih daripada makhluk/entitas lainnya di atas bumi ini. Inilah awal mula manusia merasa memiliki hak (kapasitas pada waktu sebelumnya) untuk mendominasi bahkan menguasai dunia di luarnya. Lebih jauh lagi mengeksploitasinya, tanpa peduli apa yang terjadi atau dirasakan oleh dunia yang dieksploitasinya.

Ilmu, teknologi, kekuasaan, hingga agama kemudian muncul untuk memberi legitimasi pada upaya atau lebih tepat nafsu manusia yang menganggap dirinya khalifah itu. Dari uraian agak panjang inilah kemudian muncul manusia-manusia berbudaya yang berkejaran/berkompetisi untuk meraup lebih banyak keuntungan dari alam/dunia sekitarnya, tidak hanya untuk keberlangsungan hidupnya saja, tapi juga keluarga. Tak hanya keluarga, tapi ponakan, mertua, sahabat, tetangga, dan lain-lain. Bukan hanya sepanjang hidup, melainkan juga untuk generasi ketiga atau ketujuh bila mungkin.

Dalam perjalanan kebudayaan semacam itulah, muncullah pula bias, deviasi, atau penyimpangan dari `niat baik' kebudayaan. Sebuah produk `sampingan' kebudayaan yang tak terelakkan karena manusia akhirnya sadar, ternyata tidak hanya sisi baik ada dalam dirinya, tapi juga sisi sebaliknya, yang menegasi dan mengoposisi niat baik itu. Di titik inilah kemudian muncul pelacuran, judi, minuman keras, pemerasan, suap, hingga kejahatan-kejahatan yang merusak   bahkan membunuh.

Jadi, bila ada seorang anggota parlemen melakukan pemerasan atau meminta suap dari kalangan pebisnis atau pengambil kebijakan (eksekutif), itu sebenarnya muncul dari impuls psikologis anggota bersangkutan yang serakah. Keserakahan adalah sisi lain yang juga fitrahi dari manusia. Semua bisa menjadi budaya, tepatnya budaya negatif, atau saya sering menyebutnya kekeliruan kebudayaan atau limbah dari kebudayaan.

Belum Terbentuk

Sebuah kebudayaan yang baik dan positif sebenarnya harus mengetahui keberadaan adanya kekeliruan atau limbah kebudayaan itu. Lalu mengantisipasi, mengoreksi, atau membenahinya dengan perangkat-perangkat kultural yang ada atau yang perlu diciptakan untuk itu. Untuk itu, perlu diperiksa, apakah kebudayaan yang ada (existing) sekarang ini memiliki perangkat-perangkat itu di negeri kita? Bagaimana perangkat itu menanggapi atau bekerja? Adakah ia sudah bekerja (kalau ada), atau sekurangnya kita bersama mengetahuinya?

Di sinilah letak masalah kita, rakyat Indonesia, sebenarnya? Kita tahu, berbagai tindak negatif, yang sudah menjadi kebiasaan pribadi, atau bahkan menjadi semacam gejala (fenomena) di kalangan tertentu itu, jelas terlihat, berlaku, dan dijalankan di tengah-tengah kita. Berbagai penangkapan, persangkaan, pengadilan, dan hukuman, misalnya, memenuhi surat kabar juga menimpa hampir seluruh lembaga-lembaga pemerintahan dan negara kita, di pusat dan daerah.

Namun, ternyata, seperti saya menegaskannya berkali-kali, kita sebagai bangsa belum memiliki kebudayaan `positif ' tadi untuk menangkal atau mengatasi situasi yang cenderung menjadi gejala itu. Dengan berat hati, juga permohonan maaf seda lamnya, kebudayaan nasional bangsa ndonesia saat ini belumlah ter bentuk, apa lagi secara adekuat untuk membaca dan mencari solusi bagi limbah juga sampah kebudayaan itu. Yang ada ialah kebudayaan-kebudayaan lokal atau etnik, yang masing-masing sangat kuat, berbeda atau beragam, dan berusia minimal 500 tahun hingga lima milenia.

Pengkhianatan Kultur

Limbah yang tersebut itu sesungguhnya, bila Anda mau tidak sekadar meyakini, tapi juga mencer mati, bukanlah limbah dari kebudayaan etnik atau lokal itu. Namun, ia menjadi ekses atau hasil sampingan negatif dari pertemuan antara kultur lokal dan kultur global tepatnya kultur oksidental--yang dipenetrasikan dan didistribusi kan dengan cara yang luar biasa kuat, efektif, dan masifnya oleh globalisme dengan arsenal sains serta teknologisnya.

Manusia-manusia yang tidak bisa mengontrol keserakahan, nafsu hedonis, dan menggunakan acuanacuan kehormatan serta prestige yang artifisial itu, tentu saja tidak menggunakan basis kultural lokal/etniknya. Namun, berdasar ambisi, nafsu, kejamnya kompetisi, dan keliaran-keliaran (pasca)modern yang menjadi produk utama dari globalisme tersebut. Bisa dikatakan, kecenderungan kita yang hiperpragmatik, hiperpraktis, dan hiperhedonis serta hiperkonsumtif itu adalah kecenderungan baru yang masuk dan kita internalisasi lewat proses yang represif. Proses yang membuat kita, sadar atau tidak, meninggalkan atau mengkhianati dasar-dasar kultur tradisional/primordial dari etnisitas atau lokalitas yang melekat dalam diri kita masing-masing.

Maka, sebelum kebudayaan nasional--dengan semua dasar dan acuan nilai, moral, norma di dalamnya--terbentuk, kita perlu menyepakati pegangan atau acuan lain yang bisa kita gunakan bersama untuk mencegah dan mencari solusi tindakan-tindakan negatif tersebut. Apakah acuan itu ada di perpustakaan, di pikiran-pikiran para ahli yang berguru besar di Leiden, Ohio, London, atau Paris, atau mungkin pada kitab-kitab serta tradisi China Kuno, India Kuno, atau Arab Kuno, dalam agama-agama bumi dan langit?

Saya kira semua pilihan itu memiliki risiko, ketika ia harus berhadapan atau bekerja sama dengan acuan yang sejajar yang ada dalam kita, yang terintegrasi ke dalam tubuh, pikiran, dan batin kita sebagai sesuatu yang sangat primer atau primordial. Kita mengerti, akhirnya pihak yang terakhir akan keok karena ia tidak memiliki arsenal yang canggih, tidak global, tidak memiliki juga modus pembudayaan yang serupa. Risiko itu sudah kita rasakan dan alami sekarang. 

Bila tidak kemudian kita mengkhianati tradisi dan berpihak dan berpihak total pada pascamodernisme, kita pun menjadi manusia yang split atau berkepribadian ganda. Di permukaan, dalam hidup keseharian, kita menunjukkan diri sebagai manusia yang modern, rasional, individualis, progresif, dan berkecepatan tinggi, tetapi dalam hidup internal, kita masih juga mempraktikkan hidup yang kontemplatif, komunal, intens dengan waktu, irasional, mistis, dan sebagainya.

Untuk sementara, saya menganggap situasi kultural setiap manusia Indonesia itu tidaklah baik atau menguntungkan. Apa yang diuntungkan dari manusia yang secara psikologis cenderung neurotik atau psikopatik karena split-nya kepribadian itu? Saya mengajukan proposal sementara, kita kembali pada jati diri kita sebagai makhluk yang dikonstitusi atau ditegakkan eksistensinya oleh kultur etnik/lokal kita masing-masing. Dengan sebuah pertimbangan--yang sangat bisa dipertanggungjawabkan-semua kultur etnik memiliki cara dan modus kultural sendiri untuk menghadapi, mencari solusi berbagai hambatan, hingga memenangi tantangan-tantangan masa kini dan masa depan.

Di tingkat nasional, kita hanya menerima konsekuensi politis dan yuridis, selebihnya biar kita dijaga dan menjaga kekayaan dan kekuatan tradisi yang sudah dipelihara, berkembang, dan terbukti survive selama ratusan bahkan ribuan tahun. Jadi, seorang anggota parlemen yang memeras pejabat usaha/ publik lainnya, misal saja, biarlah ia terkena sanksi yuridis, tapi sebelum atau sesudahnya, secara adat pun ia harus `diselesaikan'. Inilah hukuman sesungguhnya, yang akan dirasakan yang bersangkutan, tidak hanya seumur hidup, tapi juga sampai akhirat (kalau ia sampai di sana).

Dari prosesus inilah, perlahan kita menyusun aturan atau norma dan nilai baru-baru bagi bangsa kita. Bagi kebudayaan nasional kita. Dengan strategi dan taktik yang baik, yang tidak juga dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penanggung jawabnya (saya khawatir, paham pun mereka tidak), sehingga kita bisa mempertanggungjawabkan apa yang kita lakukan saat ini, secara konstitusional, historis, kultural, hingga pada anak cucu kita nanti. Bahwa generasi saat ini tidak hanya hidup hanya untuk duduk-duduk malas, menikmati atau berbagi rezeki dari remah-remah kekayaan bumi kita yang ditinggalkan kapitalis asing. Semoga ya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar