Tanggung Jawab
Sejarah Kita
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Desember 2012
TENTU saja, bila seseorang memiliki kebiasaan,
katakanlah menanam pohon tomat di halaman depan, atau berjalan kaki menuju
halte bisa di depan kompleksnya, tidaklah ia bisa disebut sebagai tradisi,
apalagi sebuah budaya.
Kebiasaan yang bersifat individual atau personal, mungkin kadang disebut juga tradisi, yang tentu saja tidak merujuk ke sebuah tradisi besar, atau setidaknya bersifat komunal.
Jadi kalau ada kebiasaan, kegemaran, atau
kecenderungan beberapa pribadi di kalangan tertentu, misalnya di
pemerintahan, di militer, atau parlemen, senang melakukan tindak tertentu
yang menyimpang, seperti memeras, menyuap, selingkuh, kolutif, atau
manipulatif, tidak bisa serta-merta ia dikategorikan sebagai sebuah perilaku
atau pola-tindak yang kolektif, komunal, apalagi nasional. Apalagi sebagai
sebuah budaya.
Apakah sebuah tindakan atau perilaku yang negatif
atau menyimpang, destruktif pada praksis atau pelaksanaannya, dapat dikatakan
sebagai sebuah budaya? Perlu pemahaman sederhana dulu tentang kebudayaan itu
sendiri.
Tanpa harus menyitir, mengutip, atau mengacu kepada tokoh atau ilmuwan
tertentu, kebudayaan secara sederhana sebenarnya adalah `niat baik'.
Niat baik itu berasal dari kebutuhan yang
paling natural atau asli dari manusia, yakni bagaiman caranya manusia,
subspesies dari mamalia itu, dapat survive
atau mempertahankan hidupnya. Jadi, kebudayaan, dalam fitrah atau pemahaman
paling purba atau primordialnya, adalah usaha sederhana untuk mempertahankan
hidup diri atau sub-spesiesnya itu. Hampir sama dengan binatang dan tumbuhan,
tetapi untuk kebudayaan ini manusia mengubah benda alam dan menciptakannya
kembali sebagai alat untuk usaha yang sangat natural itu.
Nafsu Meraup
Keuntungan
Setelah itu, kebudayaan berkembang dalam
pemaknaan dasarnya. Dengan kemampuan--terutama akal--yang dimilikinya,
manusia meninggalkan binatang, tumbuhan, dan entitas/makhluk lainnya, untuk
tidak hanya survive, tapi juga
`memuliakan dirinya' lebih daripada makhluk/entitas lainnya di atas bumi ini.
Inilah awal mula manusia merasa memiliki hak (kapasitas pada waktu
sebelumnya) untuk mendominasi bahkan menguasai dunia di luarnya. Lebih jauh
lagi mengeksploitasinya, tanpa peduli apa yang terjadi atau dirasakan oleh
dunia yang dieksploitasinya.
Ilmu, teknologi, kekuasaan, hingga agama
kemudian muncul untuk memberi legitimasi pada upaya atau lebih tepat nafsu
manusia yang menganggap dirinya khalifah itu. Dari uraian agak panjang inilah
kemudian muncul manusia-manusia berbudaya yang berkejaran/berkompetisi untuk
meraup lebih banyak keuntungan dari alam/dunia sekitarnya, tidak hanya untuk
keberlangsungan hidupnya saja, tapi juga keluarga. Tak hanya keluarga, tapi
ponakan, mertua, sahabat, tetangga, dan lain-lain. Bukan hanya sepanjang
hidup, melainkan juga untuk generasi ketiga atau ketujuh bila mungkin.
Dalam perjalanan kebudayaan semacam itulah,
muncullah pula bias, deviasi, atau penyimpangan dari `niat baik' kebudayaan.
Sebuah produk `sampingan' kebudayaan yang tak terelakkan karena manusia
akhirnya sadar, ternyata tidak hanya sisi baik ada dalam dirinya, tapi juga
sisi sebaliknya, yang menegasi dan mengoposisi niat baik itu. Di titik inilah
kemudian muncul pelacuran, judi, minuman keras, pemerasan, suap, hingga
kejahatan-kejahatan yang merusak bahkan membunuh.
Jadi, bila ada seorang anggota parlemen
melakukan pemerasan atau meminta suap dari kalangan pebisnis atau pengambil
kebijakan (eksekutif), itu sebenarnya muncul dari impuls psikologis anggota
bersangkutan yang serakah. Keserakahan adalah sisi lain yang juga fitrahi
dari manusia. Semua bisa menjadi budaya, tepatnya budaya negatif, atau saya
sering menyebutnya kekeliruan kebudayaan atau limbah dari kebudayaan.
Belum Terbentuk
Sebuah kebudayaan yang baik dan positif
sebenarnya harus mengetahui keberadaan adanya kekeliruan atau limbah
kebudayaan itu. Lalu mengantisipasi, mengoreksi, atau membenahinya dengan
perangkat-perangkat kultural yang ada atau yang perlu diciptakan untuk itu.
Untuk itu, perlu diperiksa, apakah kebudayaan yang ada (existing) sekarang ini memiliki perangkat-perangkat itu di negeri
kita? Bagaimana perangkat itu menanggapi atau bekerja? Adakah ia sudah
bekerja (kalau ada), atau sekurangnya kita bersama mengetahuinya?
Di sinilah letak masalah kita, rakyat
Indonesia, sebenarnya? Kita tahu, berbagai tindak negatif, yang sudah menjadi
kebiasaan pribadi, atau bahkan menjadi semacam gejala (fenomena) di kalangan
tertentu itu, jelas terlihat, berlaku, dan dijalankan di tengah-tengah kita.
Berbagai penangkapan, persangkaan, pengadilan, dan hukuman, misalnya,
memenuhi surat kabar juga menimpa hampir seluruh lembaga-lembaga pemerintahan
dan negara kita, di pusat dan daerah.
Namun, ternyata, seperti saya menegaskannya
berkali-kali, kita sebagai bangsa belum memiliki kebudayaan `positif ' tadi
untuk menangkal atau mengatasi situasi yang cenderung menjadi gejala itu.
Dengan berat hati, juga permohonan maaf seda lamnya, kebudayaan nasional
bangsa ndonesia saat ini belumlah ter bentuk, apa lagi secara adekuat untuk
membaca dan mencari solusi bagi limbah juga sampah kebudayaan itu. Yang ada
ialah kebudayaan-kebudayaan lokal atau etnik, yang masing-masing sangat kuat,
berbeda atau beragam, dan berusia minimal 500 tahun hingga lima milenia.
Pengkhianatan Kultur
Limbah yang tersebut itu sesungguhnya, bila
Anda mau tidak sekadar meyakini, tapi juga mencer mati, bukanlah limbah dari
kebudayaan etnik atau lokal itu. Namun, ia menjadi ekses atau hasil sampingan
negatif dari pertemuan antara kultur lokal dan kultur global tepatnya kultur
oksidental--yang dipenetrasikan dan didistribusi kan dengan cara yang luar
biasa kuat, efektif, dan masifnya oleh globalisme dengan arsenal sains serta
teknologisnya.
Manusia-manusia yang tidak bisa mengontrol
keserakahan, nafsu hedonis, dan menggunakan acuanacuan kehormatan serta
prestige yang artifisial itu, tentu saja tidak menggunakan basis kultural
lokal/etniknya. Namun, berdasar ambisi, nafsu, kejamnya kompetisi, dan
keliaran-keliaran (pasca)modern yang menjadi produk utama dari globalisme
tersebut. Bisa dikatakan, kecenderungan kita yang hiperpragmatik,
hiperpraktis, dan hiperhedonis serta hiperkonsumtif itu adalah kecenderungan
baru yang masuk dan kita internalisasi lewat proses yang represif. Proses
yang membuat kita, sadar atau tidak, meninggalkan atau mengkhianati
dasar-dasar kultur tradisional/primordial dari etnisitas atau lokalitas yang
melekat dalam diri kita masing-masing.
Maka, sebelum kebudayaan nasional--dengan
semua dasar dan acuan nilai, moral, norma di dalamnya--terbentuk, kita perlu
menyepakati pegangan atau acuan lain yang bisa kita gunakan bersama untuk
mencegah dan mencari solusi tindakan-tindakan negatif tersebut. Apakah acuan
itu ada di perpustakaan, di pikiran-pikiran para ahli yang berguru besar di
Leiden, Ohio, London, atau Paris, atau mungkin pada kitab-kitab serta tradisi
China Kuno, India Kuno, atau Arab Kuno, dalam agama-agama bumi dan langit?
Saya kira semua pilihan itu memiliki risiko,
ketika ia harus berhadapan atau bekerja sama dengan acuan yang sejajar yang
ada dalam kita, yang terintegrasi ke dalam tubuh, pikiran, dan batin kita
sebagai sesuatu yang sangat primer atau primordial. Kita mengerti, akhirnya
pihak yang terakhir akan keok karena ia tidak memiliki arsenal yang canggih,
tidak global, tidak memiliki juga modus pembudayaan yang serupa. Risiko itu
sudah kita rasakan dan alami sekarang.
Bila tidak kemudian kita mengkhianati tradisi
dan berpihak dan berpihak total pada pascamodernisme, kita pun menjadi
manusia yang split atau berkepribadian ganda. Di permukaan, dalam hidup
keseharian, kita menunjukkan diri sebagai manusia yang modern, rasional,
individualis, progresif, dan berkecepatan tinggi, tetapi dalam hidup
internal, kita masih juga mempraktikkan hidup yang kontemplatif, komunal,
intens dengan waktu, irasional, mistis, dan sebagainya.
Untuk sementara, saya menganggap situasi
kultural setiap manusia Indonesia itu tidaklah baik atau menguntungkan. Apa
yang diuntungkan dari manusia yang secara psikologis cenderung neurotik atau
psikopatik karena split-nya kepribadian itu? Saya mengajukan proposal
sementara, kita kembali pada jati diri kita sebagai makhluk yang dikonstitusi
atau ditegakkan eksistensinya oleh kultur etnik/lokal kita masing-masing.
Dengan sebuah pertimbangan--yang sangat bisa dipertanggungjawabkan-semua
kultur etnik memiliki cara dan modus kultural sendiri untuk menghadapi, mencari
solusi berbagai hambatan, hingga memenangi tantangan-tantangan masa kini dan
masa depan.
Di tingkat nasional, kita hanya menerima
konsekuensi politis dan yuridis, selebihnya biar kita dijaga dan menjaga
kekayaan dan kekuatan tradisi yang sudah dipelihara, berkembang, dan terbukti
survive selama ratusan bahkan ribuan tahun. Jadi, seorang anggota parlemen
yang memeras pejabat usaha/ publik lainnya, misal saja, biarlah ia terkena
sanksi yuridis, tapi sebelum atau sesudahnya, secara adat pun ia harus `diselesaikan'.
Inilah hukuman sesungguhnya, yang akan dirasakan yang bersangkutan, tidak
hanya seumur hidup, tapi juga sampai akhirat (kalau ia sampai di sana).
Dari prosesus inilah, perlahan kita menyusun
aturan atau norma dan nilai baru-baru bagi bangsa kita. Bagi kebudayaan
nasional kita. Dengan strategi dan taktik yang baik, yang tidak juga
dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penanggung jawabnya (saya khawatir,
paham pun mereka tidak), sehingga kita bisa mempertanggungjawabkan apa yang
kita lakukan saat ini, secara konstitusional, historis, kultural, hingga pada
anak cucu kita nanti. Bahwa generasi saat ini tidak hanya hidup hanya untuk
duduk-duduk malas, menikmati atau berbagi rezeki dari remah-remah kekayaan
bumi kita yang ditinggalkan kapitalis asing. Semoga ya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar