Soliditas
(Semu) Demokrat
Iding R Hasan ; Deputi Direktur Bidang Politik The Political
Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta
|
SINDO,
21 Desember 2012
Barangkali
Partai Demokrat merupakan satu-satunya partai di Indonesia sekarang ini yang
paling banyak didera masalah. Partai berlambang bintang Mercy ini seperti
“tak putus dirundung malang,” meminjam judul sebuah novel karya pujangga
kenamaan Indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana.
Setelah kasus tersangkanya Andi Alifian Mallarangeng dalam proyek Hambalang,muncul masalah pencopotan Ruhut Sitompul dari jabatannya di DPP sebagai ketua Divisi Komunikasi dan Informasi.Keputusan tersebut diambil oleh Pengurus Harian DPP yang dihadiri Ketua Umum Partai Demokrat,Anas Urbaningrum. Tentu saja keputusan tersebut membuat Ruhut Sitompul, yang terbiasa bicara tanpa tedeng aling-aling itu meradang. Dia tidak menerima keputusan itu dan menganggap bahwa yang berhak memecatnya dari kepengurusan di DPP hanyalah Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono.Sampai saat ini pun Ruhut masih terus melawan tindakan pencopotannya dan terus menyuarakan kritik pedas, terutama pada Anas,di berbagai forum.Namun, DPP Demokrat tampaknya tetap bergeming dengan keputusannya. Soliditas Partai Satu hal yang mudah diduga dari keputusan DPP mencopot Ruhut adalah soliditas partai. Dari sisi etika keorganisasian, Ruhut banyak menghadirkan masalah bagi Demokrat karena sering memperlihatkan ketidakkompakan dengan jajaran pengurus lain.Tidak jarang dia melontarkan ke publik masalah-masalah internal partai yang seyogianya tidak etis diungkapkan. Selain itu, ia paling getol menyerukan agar Anas mundur dari jabatannya sebagai ketua umum partai. Meski demikian,keputusan DPP untuk mencopot Ruhut juga mengandung risiko yang tidak kecil. Ruhut yang tidak menerima keputusan terus melawan dengan caranya sendiri. Ruhut mengetahui betul berbagai “rahasia dapur” Anas, sehingga bukan tidak mungkin dia akan membukanya ke publik. Namun, sebenarnya yang paling dikhawatirkan bukanlah Ruhut secara personal,melainkan elite-elite Demokrat yang berseberangan dengan Anas, termasuk SBY. Mereka sebenarnya juga tidak setuju dengan tindakan pencopotan tersebut,karenanya ketika Ruhut melakukan perlawanan terhadap Anas, seolah-olah kepentingan mereka terakomodasi dan diam-diam memberikan dukungan. SBY, meski tidak memperlihatkan pembelaannya secara tegas pada Ruhut, sudah bukan Rahasia lagi jika dia tidak menyukai Anas sejak awal. Peran Simbolik SBY Pada awalnya mungkin publik tidak mengira bahwa Anas akan berani membuat keputusan mendepak Ruhut dari DPP yang kerap mendapatkan perlindungan dari SBY. Tetapi tampaknya yang terjadi tidaklah demikian.Anas justru berani membuat keputusan tersebut tanpa meminta pertimbangan terlebih dulu pada SBY.Karena itu,keputusan tersebut dianggap tamparan keras bagi SBY. Dari sini,agaknya Anas sudah siap berhadapan head to head dengan SBY. Apakah ini berarti bahwa Anas merasa berada di atas angin atas SBY sehingga tidak terlalu menganggap keberadaannya di Demokrat? Boleh jadi kecenderungannya demikian. Anas adalah tipikal politisi tulen yang sudah terbiasa bergerak dan bergerilya di kalangan kader- kadernya sehingga paham betul peta politik yang dihadapinya. Dia tidak akan membuat keputusan politik yang berani jika memang situasinya tidak benar-benar mendukungnya. Dalam hal keputusan mendepak Ruhut,Anas tampaknya sudah berhitung matang. Dia yakin bahwa sebagian besar kader Demokrat berada di belakangnya sehingga jika pun harus dibenturkan dengan SBY dia tidak harus merasa takut. Sekalipun ada kubu lain di Demokrat, yakni Marzuki Alie dan Andi yang identik dengan Cikeas, yang tentu saja mempunyai loyalis-loyalisnya di bawah, namun diyakini mereka tidak akan berani melakukan “perlawanan” secara terbuka. Apa yang terjadi di Demokrat tersebut bisa dilihat dari perspektif teori spiral keheningan (spiral of silence) yang dikemukakan ilmuwan politik Jerman, Elisabeth Noelle- Neumann (1974).Teori ini mengasumsikan bahwa jika opini mayoritas terbentuk, biasanya ada dua pilihan yang dilakukan minoritas: diam atau mengikuti suara mayoritas. Hemat penulis, kader-kader Demokrat yang berseberangan dengan kubu Anas akan lebih memperlihatkan pilihan yang pertama, yakni diam entah karena takut atau sungkan. Elite-elite partai seperti di jajaran Dewan Pembina saja seperti tidak berdaya untuk “berhadapan” dengan Anas, bahkan merasa kapok melakukannya sebagaimana dialami Hayono Isman. Kekuatan Anas semakin terlihat kokoh ketika ia menempatkan loyalis-loyalisnya di pos-pos strategis dan menggeser kader-kader lain yang berseberangan. Andi Nurpati, yang notabene loyalis SBY, digeser dari jabatannya sebagai ketua Divisi Komunikasi Publik yang sangat strategis menjadi Ketua Divisi Hubungan Eksternal dan LSM.Posisinya kemudian digantikan oleh I Gede Pasek Suardika yang notabene merupakan kubu Anas. Dengan demikian, SBY kian kehilangan kader loyalisnya di DPP. Anas berani berhadapan dengan SBY, sebaliknya SBY seperti mati kutu. SBY bagaikan orang yang sudah kehilangan wibawa di hadapan kaderkadernya sendiri.Boleh jadi,ke depan SBY akan lebih banyak memainkan peran simbolik saja di Demokrat.Di pihak lain, Anas kian leluasa menancapkan kuku-kukunya di seluruh tubuh Demokrat. Dengan kata lain,secara tidak langsung Anas sebenarnya telah “meminggirkan” SBY secara perlahanperlahan dari “rumah” yang telah susah payah dia rintis. Namun,Anas sebagai ketua umum partai tentu juga harus tetap menjalin komunikasi yang baik dengan SBY, karena bagaimanapun SBY masih tetap menjadi figur sentral dan ikon Demokrat yang tak terbantahkan. Apalagi selain ketua Dewan Pembina, SBY juga menjabat ketua Majelis Tinggi Partai yang bertanggung jawab atas pemenangan Pemilu 2014. Padahal waktu yang tersisa waktu kurang lebih satu setengah tahunan lagi. Karena itu, keduanya perlu bergandengan tangan sehingga soliditas partai dapat terjaga dengan baik. Keberhasilan Demokrat untuk membangun soliditas partai guna menyongsong Pemilu 2014 akan sangat bergantung pada kepiawaian Anas dalam melakukan komunikasi dan akomodasi kepentingan dengan berbagai pihak internal partai yang berseberangan dengan dirinya, terutama SBY. Kalau tidak, bukan tidak mungkin jika soliditas tersebut hanya bersifat semu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar