Minus
Emansipasi Kampanye Anti-AIDS
Naufil Istikhari Kr ; Psikolog Sosial, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 01 Desember 2012
SETIAP 1 Desember selalu
diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia. Maksud peringatan itu tak lain untuk
menumbuhkan tingkat kesadaran masyarakat akan bahaya laten HIV/AIDS yang
dalam penyembuhannya masih berupa teka-teki.
Di tengah ingar-bingar
kampanye anti-HIV/AIDS yang bertebaran di mana-mana, ada realitas pahit yang
dibiarkan berlalu tanpa perhatian yang memadai. Banyak yang lupa bahwa relasi
gender dalam penanggulangan HIV/AIDS masih terkesan berat sebelah. Kita pun
abai bahwa sejatinya peran dan relasi gender secara langsung maupun tidak
langsung memengaruhi tingkat risiko individu dan kerentanan infeksi HIV.
Perbedaan gender
memunculkan ketidaksetaraan seksualitas laki-laki dan perempuan. Perempuan
dituntut pasif, penurut, setia, dan tidak memahami seks. Sementara laki-laki
adalah pihak dominan, agresif, paham, dan berpengalaman. Akibat konstruksi
itu, perempuan tidak dapat menolak hubungan seks atau menuntut seks aman
meskipun tahu pasangannya berisiko menularkan penyakit. Ketidaksetaraan ini
juga menganggap wajar bila laki-laki mempunyai lebih dari satu pasangan
(UNAIDS, 2000).
Berdasarkan temuan
paling umum, seks bebas menempati rangking pertama sebagai penyebab vital
HIV/AIDS. Fenomena ini bukan hadir tanpa implikasi serius. Seksualitas memang
menjadi tema sentral sejak ribuan tahun lamanya.
Di era mutakhir, sejarah seksualitas selalu dihubung-hubungkan dengan relasi gender yang begitu pelik, dan menuntut hadirnya nalar kritis sebagai senjata.
Dalam kasus HIV/AIDS,
perilaku seks laki-laki yang berganti pasangan cenderung merugikan karena
memper cepat epidemi. Term `berganti pasangan' yang jelas telah mendudukkan
perempuan sebagai objek seksual yang tak lagi diuntungkan. Padahal, pola
semacam inilah yang paling dominan dalam penularan HIV/AIDS. Laki-laki dengan
gagah menelanjangi kodrat seksual perempuan ke dalam relasi pasif-aktif, dan
sama sekali tidak setara.
Laporan dan studi
memperlihatkan fakta ketidaksetaraan gender yang berdampak buruk bagi epidemi
HIV/AIDS (Depkes, 2009). Studi lain melaporkan bahwa sebagian besar PSK
akhirnya mengalah tidak menggunakan kondom karena klien menolaknya (UNICEF
& WHO, 2007). Atau beberapa program harus berpikir ulang untuk
menggunakan female condom dalam melindungi PSK hanya karena keengganan
laki-laki menggunakan kondom.
Survei besar di
masyarakat memperlihatkan bahwa sebagian besar perempuan pada berbagai
tingkatan sosial ekonomi selalu mempunyai persentase pengetahuan pencegahan
HIV yang lebih rendah daripada pasangannya (USAID, 2008). Survei terakhir ini
menguatkan tentang ketidaksetaraan gender yang menganggap bahwa perempuan
tidak perlu banyak tahu HIV jika dibandingkan dengan laki-laki. Fakta itu
setidaknya mengisyaratkan betapa proyek emansipasi masih menjadi mitos-mitos
yang terstrukturasi.
Eksistensi Perempuan
Sebagai penyakit yang
mematikan, HIV/AIDS tidak saja menjadi pekerjaan rumah orang-orang medis,
tetapi telah beranjak jauh ke dalam relasi gender yang justru bersentuhan
langsung dengan akar-akar agama dan kebudayaan. Selain itu, problem tersebut
telah menyeret kita ke dalam lingkaran teori feminisme yang tidak sederhana.
Simone de Beauvoir
dalam The Second Sex (1989)
menganalisis eksistensi perempuan sebagai diri `yang lain' (the others). Pada tataran
eksistensial, perempuan lahir sebagai bentukan budaya, bukan karena dirinya.
Situasi tersebut yang didefinisikan oleh budaya dan masyarakat (dan bukan
oleh dirinya sebagai subjek), membuat relasi laki-laki terhadap perempuan
sebagai yang `di luar' dirinya, sebagai seks semata (bukan manusia).
Sebab, perempuan
didefinisikan dengan referensi kepada laki-laki dan bukan referensi kepada
dirinya sendiri. Dengan demikian perempuan adalah insidental semata, tidak
esensial, laki-laki adalah subjek dan ia seolah-olah absolut, sedangkan
perempuan adalah `the others'.
Sehingga perempuan, dalam relasi seksual saja, sudah jauh dari realitas yang
sebenarnya.
Dari Bias ke Setara
Kembali ke konteks
semula, perempuan sebagai objek mengimplikasikan posisinya sebagai orang yang
dominan dalam proses penularan HIV/ AIDS. Walaupun dalam skala global epidemi
tersebut sudah menjadi masalah bersama, pada praktiknya perempuan tersungkur
ke jurang subordinat yang bias.
Data hasil Penelitian
Kesehatan UI Januari 2010 lalu menunjukkan adanya pemotongan ekuilibrium
relasi gender dalam praktik penanganan kasus HIV/AIDS. Biasanya, orang yang
positif terjangkit penyakit HIV/AIDS disebut ODHA. Di Indonesia, upaya
pelayanan terhadap ODHA sudah berlaku, yaitu dalam bentuk VCT (voluntary,
counseling, and testing).
Lebih lanjut, dalam
penelitian tersebut dikatakan bahwa pelayanan VCT belum memasukkan gender
secara terintegrasi dalam setiap kegiatan. Di samping itu, umumnya konselor
belum pernah mengikuti pelatihan gender secara khusus. Maka wajar bila tidak
ada kesamaan pemahaman gender di antara konselor.
Pada wilayah praktis,
perempuan terinfeksi karena laki-laki pasangan tidak mengetahui status HIV,
sudah tahu status HIV tetapi tidak membukanya kepada istri, dan sudah tahu
status HIV tetapi tidak disiplin menggunakan kondom.
Khusus tentang kondom,
perempuan dan laki-laki tidak cukup hanya diberi informasi, masing-masing
perlu diberi penguatan berbeda, dan digali kesulitan menggunakan kondom. Agar
konseling lebih jelas dan terbuka, pelayanan perlu didukung ruangan yang
privasi dan alat peraga kondom.
Ketidakadilan gender
semakin memojokkan perempuan dalam relasi seksualnya. Diperkirakan lebih dari
90% perempuan ODHA terinfeksi dari suami atau pasangan seksual yang telah
lama berhubungan (Silverman et. al., 2008). Kebanyakan perempuan menjadi ODHA
karena tertular perilaku berisiko suami dalam hubungan perkawinan, seperti
seks komersial dan narkoba suntik.
Dengan terbitnya UU
kesehatan No 36 Tahun 2009, konselor mendapat dukungan agar lebih mudah
mewajibkan klien membuka status, terutama laki-laki pasangan kepada perempuan
pasangan.
Untuk itu, perlu
evaluasi besar-besaran yang harus segera dilakukan agar penanganan kasus
HIV/AIDS tidak terlihat setengah hati. Perempuan harus dikembalikan kepada
kodrat seksualnya yang alami. Relasi gender harus didudukkan pada pola yang
simultan. Ragam penyimpangan seksual hanya bisa dikontrol dengan mengubah
mindset kebudayaan kita terhadap eksistensi perempuan yang inheren, bukan
sebagai the others lagi.
Menekan angka
ODHA hanya bisa dilakukan maksimal jika relasi gender yang bias diluruskan ke
garis yang sejajar. Di sinilah pentingnya wawasan gender bagi masyarakat.
Sehingga, tidak akan ada lagi `imperialisme'
seksual dalam konteks HIV/AIDS terhadap kelas bernama perempuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar