Meningkatnya
Reliabilitas Bandara Soekarno-Hatta
Handi Sapta Mukti ; Praktisi Manajemen;
Mahasiswa
Magister Manajemen PPM-Jakarta
|
SINDO,
22 Desember 2012
Sistem radar bandara Internasional Soekarno- Hatta mengalami
gangguan dan black-out selama 15 menit pada 16 Desember 2012 yang lalu
(SINDO, 17/12). Ini sungguh kejadian yang luar biasa dan sangat
memprihatinkan serta sulit bisa dipercaya dapat terjadi di bandara
internasional yang menjadi pintu gerbang utama negeri ini.
Khalayak tentu akan bertanya,lalu bagaimana kondisi bandarbandar udara lain yang lebih kecil di seluruh wilayah Indonesia? Tidak berfungsinya sistem radar di bandar udara bukan hal sepele.Sistem radar adalah satu-satunya alat penuntun dan pemandu yang bisa digunakan oleh petugas air traffic controller (ATC) dalam memandu pesawat untuk mendarat dan tinggal landas. Tidak hanya itu, di bandara sekelas Soekarno-Hatta yang merupakan bandara terpadat di Indonesia, sistem radar juga menjadi alat yang sangat vital dalam mengatur antrean pesawat di udara untuk bersiap dan diizinkan mendarat. Dapat kita bayangkan bagaimana puluhan pesawat terbang di udara bergerak tanpa panduan dari darat (ATC). Ibaratnya ATC menjadi orang buta yang menuntun orang bisu. Perlu diketahui, berdasarkan data tahun 2011 dari PT Angkasa Pura II, jumlah kedatangan (arrival) dan keberangkatan (departure) per hari domestik maupun internasional adalah lebih kurang 465 kedatangan dan 468 keberangkatan. Jika Bandara Soekarno-Hatta beroperasi 24 jam,berarti terdapat sekitar 20 pesawat yang akan tinggal landas dan mendarat setiap jamnya. Artinya jika kemarin sistem radar bandara mengalami black out selama 15 menit, maka ada sekitar 5 pesawat yang bersiap mendarat dan ada 5 pesawat yang bersiap untuk tinggal landas. Jika rata-rata 1 pesawat berisi 150 penumpang berarti ada sekitar 1.500 penumpang yang dipertaruhkan keselamatannya akibat kelalaian tersebut! Jangan lupa juga pada saat akan mengantre landing, kecepatan pesawat masih pada kisaran 500 km/jam. Bahkan jika kita lihat waktu kejadiannya di sore hari, maka jumlah pesawat yang terganggu lebih dari itu. Disaster Recovery Planning Otoritas bandara seharusnya sangat paham dengan kondisi ini. Mereka juga tentu sangat paham arti pentingnya sistem radar bagi sebuah bandara. Apalagi mereka juga tentu sudah paham bahwa pasokan listrik di wilayah tersebut kadang mengalami gangguan. Hal ini seharusnya sudah harus diperhitungkan dan menjadi bagian dari disaster recovery planning (DRP) yang telah disiapkan oleh otoritas bandara. Pertanyaan besarnya, kenapa insiden ini bisa terjadi, bahkan sudah beberapa kali? DRP adalah bagian dari suatu metode sistem back-up (sistem pengganti/cadangan) untuk mempertahankan agar suatu sistem dapat tetap berjalan jika terjadi gangguan dari luar. Gangguan tersebut bisa berupa pasokan listrik, sistem komunikasi, atau ekstremnya bencana alam. Terdapat 3 level sistem back-up, yaitu hot back-up, warm back-up dan cold back-up. Dari ketiga level tersebut hot back-up adalah tingkat paling tinggi, di mana perpindahan dari sistem utama ke sistem back-up tidak boleh ada jeda waktu sama sekali. Artinya begitu sistem utama mengalami gangguan sistem back-up harus langsung bekerja. Dalam fasilitas kebandaraan, tiga sistem yang harus selalu berjalan adalah sistem kelistrikan, sistem radio & komunikasi, dan air navigation system (radar). Ketiga sistem utama tersebut harus mempunyai reliabilitas 100% setiap harinya. Artinya sistem tersebut sama sekali tidak boleh mengalami kegagalan. Karena itu, back-up terhadap system backup (double back-up) juga harus dilakukan. Hal ini untuk menjaga apabila system back-up pertama juga mengalami gangguan maka system back-up yang kedua akan menggantikan fungsi system back-up pertama. Dalam insiden Bandara Soekarno-Hatta hari Ahad lalu yang terjadi adalah gangguan pada back-up system pertama, yaitu terbakarnya uninteruptable power supply (UPS) setelah terjadinya gangguan pasokan listrik di bandara. Nahasnya, ternyata pihak bandara tidak memiliki back-up system lapis kedua yang bisa langsung bekerja, sehingga terjadilah black out sistem radar selama 15 menit itu. Menurut pengakuan otoritas bandara, terbakarnya sistem UPS tersebut disebabkan karena sudah tuanya peralatan yang terpasang. Pengakuan ini menunjukkan satu lagi kelemahan yang ada dalam pengelolaan bandara internasional kita tersebut, yaitu tidak adanya preventive maintenance system, yaitu sistem pemeliharaan peralatan yang sifatnya mencegah kerusakan, bukan sekadar memperbaiki kerusakan. Untuk itu ke depannya,menurut hemat saya, pihak Bandara Soekarno-Hatta ataupun bandar-bandar udara lain di Indonesia, melalui Dirjen Perhubungan Udara Departemen Perhubungan, harus melakukan hal-hal sebagai berikut. Pertama, mengkaji dan mendesain ulang sistem DRP atau back-up yang ada, termasuk membuat double backup facility. Kedua, membuat standard operating procedure (SOP) yang jelas untuk setiap kejadian disaster. Ketiga, membuat preventive maintenance system untuk semua fasilitas vital bandara, khususnya yang menyangkut kelistrikan, radio & komunikasi, dan air navigation system (radar). Keempat, mempersiapkan gugus tugas DRP yang berisi orang-orang yang kompeten dan mengerti apa yang harus dilakukan jika suatu kejadian (disaster) terjadi; 5) memanfaatkan teknologi informasi untuk mengelola dan memelihara semua ground equipment yang ada di bandara mulai dari air navigation system, radio & communication, safety & control, vehicle maintenance, tools & equipment, ground services maupun facility management. Kita semua tentu berharap semoga kejadian yang seperti ini tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar