Melakukan
Pembiaran?
Sori Siregar ; Cerpenis
|
KOMPAS,
21 Desember 2012
Jika diminta memilih, saya
akan menggunakan kata membiarkan
Saya
sangat kasihan kepada pembaca berita di hampir semua stasiun televisi karena
mereka terpaksa membaca warta yang disampaikan dengan kecepatan peluru yang
dimuntahkan mitraliur. Redaktur mereka yang senang pada kalimat panjang
tampaknya tak peduli bahwa waktu yang tersedia untuk menyampaikan berita itu
terbatas. Dapat dimaklumi mengapa pembaca berita TV itu melepaskan peluru
mitraliur setiap hari karena semua berita yang akan disajikan harus tuntas
dibaca.
Ungkapan
melakukan pembiaran sedang laris manis. Namun, sejak awal saya tidak ingin
menggunakannya. Memang saya pernah sekadar mencobanya, tetapi karena
terdengar lucu, saya langsung tobat. Saya tertawa sendiri ketika mengatakan
kepada istri saya, ”lakukanlah
pembiaran karena jalan itu kan tidak sering dilalui kendaraan”. Kalimat
itu lahir karena cucu kami, Kafka, asyik bermain bersama temannya di tengah
jalan kompleks perumahan tempat kami tinggal. Artinya, kami ”membiarkan” cucu
kami itu bermain sesuka hatinya di tengah jalan yang sepi itu.
Ketika
mendengar frasa melakukan kebohongan publik, saya bertanya dalam hati mengapa
tidak disingkatkan saja menjadi berbohong kepada publik atau lebih pendek
lagi berbohong. Cukup banyak kata yang kita hemat dengan mengatakan
berbohong. Namun, pertanyaan saya dalam hati itu saya jawab sendiri.
Jangan-jangan melakukan kebohongan publik itu bahasa hukum atau bahasa
notaris. Bila demikian halnya, tentu saya tak akan meminta melakukan
pembunuhan karakter menjadi membunuh karakter. Saya harus tahu diri karena
saya bukan pakar bahasa.
Mungkin
saya tetap menyukai ekonomi kata karena dulu saya bekerja sebagai pewarta di
beberapa media cetak. Saban hari saya bergumul dengan kalimat yang singkat,
padat, dan lugas. Namun, karena akhir-akhir ini banyak media cetak dan
elektronik bersahabat ria dengan kalimat panjang, rumit bahkan berbelit, saya
merasa kaidah dasar jurnalistik yang mengutamakan ekonomi kata sudah
ketinggalan zaman. Kalau memang betul begitu, betapa tertinggal saya.
Haruskah saya menyesuaikan diri?
Namun,
satu hal tidak akan saya lupakan dalam hidup saya. Suatu hari, ketika saya
bertugas sebagai pewarta, seorang teman menyerahkan naskahnya kepada redaktur
untuk diperiksa. Begitu membaca naskah itu, sang redaktur langsung mencoret
sejumlah kata. Kemudian ia meneruskan tugasnya. Ketika naskah teman saya itu
dikembalikannya, kami berdua langsung membaca: ingin mengetahui mengapa pada
kalimat pertama saja, coretan sudah ditorehkan. Ternyata ungkapan yang harus
digunakan teman saya itu hanyalah ”bulan lalu”, bukan ”pada bulan yang baru lalu” seperti yang ia tulis. Ketika kami
terus membaca apa lagi yang dicoret, sang redaktur muncul. Dengan tenang ia
berkata, ”Sampah harus dibuang, jangan
biarkan mengotori rumah.”
Sampah.
Kata itu terekam dalam memori saya hingga saat ini. Akhirnya saya memutuskan
tak akan menyesuaikan diri dengan bahasa ”kontemporer” yang banyak
penggunanya ini. Mungkin saya dinilai tertinggal, tetapi saya akan tetap
membuang sampah dari rumah kalimat saya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar