Ketika Radar
Bandara Mati
Ruby Nugraha ; Supervisor ATC Radar Bandara Juanda
Surabaya
|
JAWA
POS, 24 Desember 2012
RADAR atau radio
detection and ranging adalah alat bantu yang sangat vital
dalam sistem pengaturan lalu lintas udara dewasa ini. Dengan terus
meningkatnya pergerakan lalu lintas udara khususnya di Indonesia, menjadikan
tingkat kepadatan lalu lintas udara Indonesia termasuk yang tertinggi di
dunia. Berdasar data 2010, rute penerbangan Jakarta-Surabaya merupakan rute
terpadat kelima di dunia setelah rute Congonhas-Sao Paulo (Brasil),
Melbourne-Sidney (Australia), Jeju-Seoul (Korea Selatan), dan Mumbai-New
Delhi (India). Data ini sekaligus menunjukkan bahwa rute Jakarta-Surabaya
adalah rute terpadat keempat di Asia Pasifik dan terpadat di ASEAN.
Pentingnya peran radar bagi air traffic controller (ATC) karena sangat membantu untuk melihat pesawat dari jarak yang sangat jauh, sehingga bisa langsung terpantau di layar monitor. Setiap pergerakan pesawat udara, baik itu ketinggian jelajah, arah, kecepatan, maupun sudut pergerakan bisa diketahui dengan pasti. Dengan demikian, apabila terjadi kesalahan, bisa segera diketahui dan dikoreksi. Keuntungan lain penggunaan radar adalah jarak aman antarpesawat pada arah dan ketinggian yang sama, secara horizontal maupun longitudinal cukup 10 NM (nautical mile) atau 18 km saja. Selain itu, pesawat udara bisa terbang langsung dari suatu titik keberangkatan ke titik tujuan. Ini berbeda dari pelayanan lalu lintas udara yang menggunakan alat bantu navigasi konvensional. Yakni, untuk menuju bandara tujuan, pesawat udara harus menggunakan rute penerbangan yang telah ditetapkan, yang tentu lebih panjang dan waktu tempuh lebih lama. Jarak antarpesawat pada arah dan ketinggian yang sama pun, paling sedikit harus 10 menit atau sekitar 60 NM = 108 km. Secara sederhana bisa kita ilustrasikan bahwa untuk satu rute penerbangan dalam ruang udara sepanjang 60 NM atau 108 km, dengan bantuan radar bisa diterbangi tujuh pesawat dengan arah dan ketinggian yang sama. Dengan demikian, daya tampung pesawat yang bisa dilayani untuk sekian banyak rute penerbangan tentu sangatlah besar. Kalau tanpa bantuan radar, jarak sejauh itu maksimal hanya boleh diterbangi dua pesawat. Jelas sistem ini sangat boros ruang, boros biaya, dan boros waktu. Masyarakat pun pasti terkena efek negatif berupa keterlambatan pelayanan jasa udara. Menjaga Performa ATC Tidak berfungsinya radar ATC di Bandara Soekarno-Hatta pada 16 Desember 2012 menyisakan derita bagi pengguna jasa penerbangan maupun pelaku industri penerbangan itu sendiri, khususnya para petugas ATC. Yang jelas, akan terjadi penumpukan pesawat, baik di darat maupun di udara. Tidak berfungsinya radar ATC secara tiba-tiba memang telah diantisipasi dalam standard operation procedures (SOP) di setiap bandara yang dilengkapi peralatan radar. Yaitu, mengubah prosedur dari radar control ke prosedur non-radar control. Kalimat sederhana ini sejatinya tidak sesederhana dalam hal penerapannya. Faktanya, sekian banyak titik target yang awalnya terlihat di layar monitor dengan sekian nomor penerbangan, dari dan menuju sekian rute penerbangan, dengan berbagai ketinggian jelajah yang saling bersilangan tanpa pesawat bisa berhenti di udara, dan bermacam manuver sudut azimuth serta kecepatan yang sangat tinggi juga jarak yang dekat, tiba-tiba menghilang dari pantauan. Para ATC akan dihadapkan pada situasi pressure yang sangat tinggi untuk menyelamatkan puluhan pesawat beserta muatan orang dan barang di dalamnya. Titik-titik target yang semula ada di hadapannya, seketika harus mampu diproyeksikan dalam pikirannya dan harus tepat. Semua instruksi dan perintah harus akurat. Sedikit saja melakukan kesalahan, akan fatal akibatnya. Kecepatan berpikir, motivasi, dan konsentrasi tinggi serta perhitungan yang presisi mutlak diperlukan. Sampai saat ini performa dan motivasi tinggi para ATC masih bisa mengatasi keadaan-keadaan tersebut. Sangat dibutuhkan untuk mendorong agar motivasi kerja ATC tetap tinggi. Turunnya motivasi kerja akan sangat berpengaruh dan membahayakan jalannya operasi penerbangan. Padahal, seorang ATC dituntut tidak boleh salah dalam bekerja. Selain masalah peralatan, kendala yang dihadapi ATC Indonesia adalah minimnya SDM ATC, antisipasi yang lamban dalam mengatasi tingkat pertumbuhan kepadatan pesawat, ancaman pidana bagi ATC yang berbuat kesalahan meski tidak disengaja. Juga, yang paling mendasar, kesejahteraan mereka sangat minim. Gaji di Bawah UMR Khusus mengenai kesejahteraan, tidak banyak masyarakat yang mengetahui bahwa banyak ATC Indonesia yang digaji di bawah UMR. Sangat ironis, Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat perkembangan industri penerbangan tertinggi di dunia, menggaji salah satu ujung tombak keselamatan dan keamanan udara bangsanya dengan gaji di bawah UMR. Data dari Organisasi Profesi ATC (IATCA) menyebutkan, gaji terendah ATC Indonesia Rp 1,6 juta dan tertinggi Rp 8 juta. Ini artinya hanya 5-25 persen dari gaji ATC Thailand yang tingkat ekonominya relatif sama, tetapi beban kerja dan risiko yang jauh di bawah ATC Indonesia Padahal, sesuai konvensi Organisasi Perburuhan PBB (ILO), dalam ISCO-*88 (International Standard Classification of Occupations), menyatakan: Remunerasi ATC harus disesuaikan dengan keunikan profesi ATC, sesuai dengan tanggung jawabnya serta harus mencerminkan status pekerjaan mereka, dan memiliki kategori yang sama dengan pilot dan awak kapal (nakhoda beserta jajarannya). ATC Indonesia dituntut mempertahankan performa dan motivasi tetap tinggi untuk menjamin keselamatan penerbangan nasional. Sementara beban kerja, risiko, dan ancaman pidana semakin hari semakin bertambah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar