Impeachment
dan Khitah Demokrasi
Abdul Wahid ; Kandidat Doktor Ilmu Hukum Untag
Surabaya
|
MEDIA
INDONESIA, 30 November 2012
PUBLIK terus menuntut
supaya Boediono (sekarang wakil presiden) dimintai pertanggungjawaban atas
kasus Century. Kasus itu berangkat dari otoritas yang dimiliki Boediono
ketika ia menjabat Gubernur Bank Indonesia. Tidak akan sampai terjadi
pengucuran dana besar-besaran pada suatu bank yang hanya beromzet Rp1 miliar
kalau tidak karena adanya `kebijakan khusus'. Kebijakan istimewa itu berelasi
dengan kewenangan Boediono.
Pertanggungjawaban
yang diminta publik antara lain bermodel impeachment.
`Pengadilan politik' itu diajukan sebagai opsi oleh masyarakat guna membuktikan
bahwa Indonesia memang benar-benar negara hukum (rechstaat) atau negara yang berpijak pada prinsip supremasi
konstitusi. Impeachment dijadikan
konstitusi sebagai opsi mempertanggungjawabkan segala perbuatan presiden atau
wakil presiden yang layak digolongkan sebagai modus perbuatan
inkonstitusional.
Mohammad Ali Syafaat
(2011) memandang adanya ketentuan tentang pemberhentian presiden dan/atau
wakil presiden dalam masa jabatannya seperti diregulasi dalam UUD 1945
pascaperubahan memunculkan istilah baru dalam bidang hukum tata negara, yaitu
impeachment dan pemakzulan.
Pemakzulan merupakan
proses pemberhentian seorang pejabat publik dalam masa jabatannya, atau
sebelum masa jabatan tersebut berakhir, atau disebut dengan istilah removal from office. Dalam proses
pemakzulan tersebut terdapat mekanisme impeachment,
yakni pendakwaan atas suatu perbuatan tertentu yang dapat menjadi alasan
pemberhentian.
Dalam ranah
konstitusi, jelas impeachment barulah
sebagai tahap (makna) pendakwaan atau permintaan pertanggungjawaban terhadap
pejabat publik yang dinilai melakukan pelanggaran norma (tatanan). Kriteria
pelanggaran itu sudah diatur dalam konstitusi. Masalahnya kemudian, apakah
peluang yang diberikan konstitusi itu bisa diimplementasikan? Atau, mampukah
konstitusi Indonesia itu menjadi payung cukup kuat terhadap para pencari
keadilan yang mendambakan terlaksananya pertanggungjawaban kepala atau wakil
kepala negara?
Bunyi Pasal 6 ayat (2)
UUD 1945 (sebelum diamendemen) menyatakan, `Presiden dan wakil presiden dipilih
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat', yang kemudian ketika itu, garis
konstitusi tersebut menyimpulkan yang punya hak lisensi konstitusional untuk
memulai impeachment hingga
memakzulkan (menjatuhkan) presiden dan/atau wakil presiden adalah Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR).
Kekuatan Politik
Sebelum amendemen UUD
1945, sebagian sejarawan menyebut MPR telah memakzulkan dua presiden RI,
yakni Ir Soekarno berdasarkan TAP MPRS Nomor XXXIII/ MPRS/1967 dan KH
Abdurrahman Wahid berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/2001. Keduanya bisa di-impeachment dan dimakzulkan MPR karena
posisi mereka secara politik lemah.
Hasibuan Umar (2009),
misalnya, menyebut jatuhnya Soekarno dan Gus Dur di tangan `pengadilan
politik' bukan disebabkan kesalahan atau pelanggaran hukum yang bersifat
fundamental yang bisa dibuktikan melalui proses peradilan yang benar. Mereka
terjungkal akibat arus besar kekuatan politik yang tidak menginginkan
keduanya bertahan menjadi presiden.
Lain halnya sekarang,
setelah amendemen konstitusi, alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan
tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil
presiden (Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945).
Meskipun alasannya
limitatif, proses mempertanggungjawabkan perbuatan presiden atau wakil
presiden tidaklah segampang membalik telapak tangan. Arus besar atau kecil
dari kekuatan politik di Indonesia sangat menentukan, apakah presiden atau
wakil presiden bisa dibawa ke dalam aras impeachment
hingga ke pemakzulan.
Boediono pun demikian.
Keterkaitannya dengan kasus Century tidak serta-merta dapat membuatnya diimpeachment. Beberapa alasan yang
terumus dalam konstitusi memang sudah jelas, yakni pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, dan perbuatan tercela. Namun,
mekanisme impeachment-nya membuat
Boediono tetap sulit tersentuh sehingga hasrat publik untuk melihat
perhelatan politik impeachment hanyalah
harapan kosong.
Kerumitan birokrasi
Istilah `warga negara istimewa' yang digunakan Ketua KPK Abraham Samad saat
menyebut posisi Boediono sebenarnya bukanlah hal berlebihan ketika dikaitkan
dengan mekanisme impeachment yang
rumit atau tampilan birokrasi politik yang menganakemaskan atau tak mudahnya
kekuatan aparat penegak hukum reguler mampu menyentuhnya.
Rumitnya birokrasi impeachment itu tak lepas dari sistem
politik dan ketatanegaraan di negara ini. Harjono (hakim Mahkamah Konstitusi)
menyebut realitas demokrasi dan sistem ketatanegaraan memberikan peranan yang
sangat penting kepada partai politik (parpol). Sebuah negara yang menjamin
kehidupan parpol mempunyai derajat tinggi dalam praktik berdemokrasi.
`Derajat tinggi' yang
disampaikan Harjono itu setidaknya dapat ditafsirkan bahwa posisi wakil
presiden seperti yang ditempati Boediono sekarang ini merupakan posisi yang
tidak gampang diusik. Ia mendapatkan perlindungan istimewa yang tidak didapatkan
setiap warga negara. Ia tidak mudah didekati meski terindikasi melakukan
pelanggaran hukum.
Itu artinya parpol dan
sistem ketatanegaraan di negeri ini secara langsung atau tidak langsung dapat
memengaruhi proses impeachment. Impeachment memang bisa dijalankan,
bukan mutlak tertutup. Namun untuk membuatnya berjalan, ada sistem politik
yang menjadikannya nyaris mustahil terwujud.
Mesin utama proses impeachment itu terletak di tangan
dewan (DPR). Padahal, keberadaan DPR di ranah kekuasaan mereka merupakan
kepanjangan tangan parpol. Meski berkali-kali mencuat kritik keras bahwa
ketika seseorang sudah jadi menteri, wakil presiden, hingga presiden, ia
harus melepaskan diri dari `rezim parpolnya'. Namun faktanya, kritik tersebut
hanya angin lalu. Mereka yang jadi eksekutif tetap saja menduduki jabatan
strategis di parpol.
Ketika mesin kekuatan
politik di Senayan (DPR) itu membangun kolaborasi, keputusan pun akhirnya
menjadi produk kompromi. Kelompok yang berseberangan, yang jumlahnya tidak
memenuhi kuota, hanya tinggal gigit jari. Mereka bisa saja mempunyai bukti
memadai seperti rekaman rapat Boediono dengan Sri Mulyani dan pihak-pihak
lain, tetapi kuota kekuatan politik merupakan hukum tertinggi yang menentukan
perlu-tidaknya penegakan peradilan politik yang berisi `pendakwaan' Boediono.
Kekuatan politik
Partai Demokrat di DPR saja, misalnya, sudah berjumlah 138 orang. Kekuatan
itu menjadi semakin besar jika ditambah dengan anggota koalisi mereka seperti
PKB dan PPP. Dengan persyaratan impeachment
harus didukung 2/3 anggota DPR (373 anggota), mustahil impeachment pada Boediono akan bisa dimenangi kekuatan pengusul,
kecuali anggota DPR Partai Demokrat mendapat restu dari SBY untuk ramai-ramai
mengadili Boediono.
Yang bisa dilakukan
sekarang ini tentu saja selain mengharapkan perlunya dilakukan amendemen
konstitusi secara berkelanjutan yang bersubstansi pematangan impeachment, juga mengingatkan setiap
anggota DPR supaya menegakkan khitah demokrasi atau vox populi, vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Suara
rakyat sudah dipercayakan kepadanya untuk ditegakkan dengan segala risiko,
bukan dengan segala keuntungan yang bisa diperoleh.
Kesejatian pejuang demokrasi bukan ditentukan kemampuan memikirkan `induk semangnya' (parpol), tetapi lewat kinerjanya dalam memberikan yang terbaik kepada rakyat.
Keberadaannya
sekarang dengan segala fasilitas eksklusifnya berasal dari rakyat, bukan dari
parpol. Parpol hanya memberi jalan lewat bagi dirinya untuk menjadi dewan,
sedangkan yang menentukan secara kuantitatif dirinya bisa menjadi dewan
adalah rakyat. Tanpa rakyat, dirinya manusia biasa yang tidak mempunyai
apa-apa. Rakyat mengidealisasikan kejujuran, kepastian, dan keadilan yuridis
melalui proses peradilan yang tidak mengeliminasi egalitarianisme, di samping
untuk membuktikan bahwa di negeri ini tidak ada yang namanya `raja yang salah'. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar