Habitus Natal
Benny Susetyo ; Sekjen KWI
|
JAWA
POS, 25 Desember 2012
Natal mengajak kita bersama
untuk memulihkan nama-Nya dalam kasih yang diwujudkan dalam tindakan untuk
mencintai kehidupan. Hal ini tidak terwujud dalam tata kelola mengolah sumber
daya alam dan lingkungan hidup. Kita melihat realitas pembangunan yang
dilakukan dengan mengabaikan pertimbangan keselamatan lingkungan dan generasi
mendatang, dan ini hanya akan menghasilkan pembangunan yang merusak.
Pembangunan yang dilakukan hanya untuk meraih pertumbuhan ekonomi semata-mata akan lebih banyak menghasilkan keserakahan yang membawa bencana daripada manfaat untuk umat manusia. Ini merupakan kesalahan yang tidak pernah diperhitungkan oleh para pelaku ekonomi yang rakus. Padahal, jelas bahwa peningkatan kesejahteraan dalam paradigma pertumbuhan ekonomi akan melahirkan sesuatu yang pasti: kerusakan lingkungan. Keberhasilan paradigma pertumbuhan ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan kerap harus dicapai melalui pengorbanan berupa deteriorasi ekologis, baik yang berwujud soil depletion, penyusutan non renewable resources, maupun desertifikasi. Ternyata upaya mewujudkan pembangunan ekonomi bukannya tanpa pengorbanan yang membahayakan. Berbagai kasus terakhir menunjukkan begitu sering masyarakat kecil di sekitar kawasan pegunungan (dataran rendah) menjadi amukan badai banjir lumpur akibat resapan yang sudah tidak lagi memadai. Sikap Gereja Atas dasar itu, perhatian terhadap keselamatan lingkungan dan menanamkan sejak dini kesadaran lingkungan sangat perlu dilakukan. Hal itu yang dilakukan dalam sidang para uskup dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan menegaskan kembali komitmen Gereja Katolik untuk terlibat dan bertanggung jawab dalam penyelamatan lingkungan hidup. KWI menyatakan keprihatinan atas kerusakan lingkungan hidup yang makin parah dewasa ini. Pesan pastoral tentang lingkungan tersebut ditandatangani Ketua Presidium KWI yang baru Mgr Ignatius Suharyo dan Mgr Johannes Pujasumarta (sekretaris jenderal). Pesan pastoral KWI 2012 kali ini menyoroti masalah lingkungan sebagai sebuah penegasan kembali peran Gereja Katolik dalam upaya melestarikan lingkungan. KWI melihat tata kelola keadaban lingkungan merupakan persoalan besar bangsa ini. Setiap hari kita menyaksikan hutan, bumi, serta alam semesta dirusak dan dieksploitasi. Hutan dan sumber daya alam lainnya di Kalimantan, Sumatera, dan Papua menjadi saksi sebuah tata kelola lingkungan yang tidak menyentuh harkat dan martabat manusia. Gereja menyadari rusaknya keadaban lingkungan ini sebagai sebuah cermin nilai kemanusiaan yang makin merosot. Berbagai bencana alam terjadi karena seringnya kesalahan cara pandang manusia terhadap alam. Dalam melihat dan memperlakukan alam, kita sering menggunakan cara pandang antroposentris. Pandangan ini menempatkan manusia sebagai pusat alam, bahkan dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa pun. Sejauh ini gereja sudah lama menaruh keprihatinan atas masalah lingkungan yang berakibat buruk pada manusia. Paus Paulus VI dalam Ensiklik Populorum Progressio 1967, No 12) sudah mengingatkan semua pihak bahwa masyarakat setempat harus dilindungi dari kerakusan pendatang. Begitu pula Paus Yohanes II dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987, No 34) yang menekankan alam ciptaan sebagai kosmos tidak boleh digunakan semaunya dan pengelolaannya harus tunduk pada tuntutan moral. Dampak pengelolaan yang tidak bermoral tidak hanya dirasakan manusia saat ini, tapi juga generasi mendatang. Lalu selanjutnya Paus Benediktus XVI dalam Ensiklik Caritas in Veritate (2009, No 48) juga menyadarkan bahwa alam adalah anugerah Allah untuk semua orang. Karena itu, alam harus dikelola secara bertanggung jawab bagi seluruh umat manusia. Dalam pesan pastoral tahun ini, kepada kalangan pebisnis, KWI berpesan agar tidak hanya mengejar keuntungan ekonomis, tetapi juga keuntungan sosial. Manfaat sosial itu berupa terpenuhinya hak hidup masyarakat setempat dan adanya jaminan bahwa sumber daya alam akan tetap cukup tersedia untuk generasi yang akan datang. Gereja berharap agar gerakan ekopastoral ini menjadi bagian penting untuk memperbaiki sikap manusia terhadap alam. Gereja Katolik Indonesia menaruh perhatian besar pada masalah lingkungan. Gereja melakukan banyak usaha, seperti edukasi, advokasi, dan negosiasi dalam mengatasi perusakan lingkungan yang masih berlangsung. Batas Keseimbangan Alam Alam memiliki batas-batasnya sendiri. Ketidakseimbangan alam yang ditandai dengan bencana di berbagai tempat menjadi refleksi serius gereja tahun ini. Gereja menyadari kehancuran lingkungan hidup merupakan buah dari sistem ekonomi yang dijalankan dalam semangat penuh keserakahan. Tuhan menciptakan alam semesta untuk diolah demi terciptanya kesejahteraan bersama. Alam perlu diolah dan dimanfaatkan dalam batas-batas kewajarannya. Namun, kenyataannya watak rakus penguasa dan pengusaha justru sering mengabaikan keseimbangannya. Mereka menghabiskan kekayaan alam hanya untuk memperkaya diri sendiri. Dampaknya, manusia bukan hanya mudah terkena bencana, melainkan juga sedikit demi sedikit mulai terasing dari alam semesta. Kini manusia mulai kehilangan dayanya untuk mengembalikan alam sesuai dengan keseimbangannya. Alam telah dirusak oleh watak manusia yang hanya mementingkan diri sendiri serta generasinya sendiri tanpa memikirkan yang akan datang. Di negeri ini, begitu jelas batas kewajaran alam sering dirusak pula melalui upaya sistematis kebijakan publik yang hanya berpikir jangka pendek. Negara tak lagi memikirkan untuk apa semua dilakukan kecuali hanya untuk kepentingan politik jangka pendek. Hutan Indonesia yang menjadi tumpuan dunia untuk bisa bertahan lebih lama semakin hari semakin keropos. Kenyataan ini didukung oleh lemahnya penegakan hukum atas setiap penyelewengan yang terjadi. Alam tidak lagi bersahabat dengan manusia saat keseimbangannya diluluhlantakkan atas nama pertumbuhan ekonomi. Banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi setiap saat, tidak pernah menjadi pengingat yang baik bahwa hal tersebut terjadi karena satu-satunya alasan yang valid, yakni ketika alam tidak lagi dihargai keseimbangannya. Saat alam diperas kekayaannya hanya untuk kepentingan politik ekonomi kaum tertentu. Saat ini kita sudah berkali-kali merasakan akibat atas murkanya alam ini. Tapi, kita tidak pernah memahaminya dengan sungguh-sungguh. Beberapa tahun yang akan datang, dampak yang lebih hebat atas kemurkaan alam ini jelas akan datang bila tidak ada langkah konkret, reflektif, dan menyadari sepenuh hati dalam bentuk kebijakan yang berwawasan lingkungan serta hancurnya keadaban lingkungan yang membuat wajah masa depan kehilangan kemuliaan-Nya. Karena itu, kasih menjadi nyata ketika manusia menjadi manusiawi dalam mewujudkan kehidupan sehari-hari. Karena terang Natal harus diwujudkan dalam kasih kepada dunia ini. Karena terang Natal bukan hanya seperti diwujudkan warna-warni lampu hias, tetapi bagaimana secara sadar membawa kehidupan baru yang lebih adil dan damai. Manusia membutuhkan momentum untuk merefleksikan diri. Makna terdalam kedatangan Sang Juru Selamat untuk zaman ini adalah menegaskan kembali semangat-Nya untuk melawan ketidakadilan dan penindasan. Ketidakadilan sudah membudaya dan menggerus kebijaksanaan dalam kehidupan. Ketidakadilan banyak dicerminkan dari kehidupan yang timpang, antara yang kaya dan miskin, bodoh dan pintar, banyak dan sedikit, atau elite dan jelata. Mereka yang miskin dan bodoh selalu menjadi objek, yang dikorbankan oleh yang kaya dan pintar. Harmoni kehidupan pun menjadi tidak imbang. Harapan untuk bisa saling memberi dan menerima antara yang berkelebihan dan berkekurangan nyaris pupus. Sebab, mereka yang berkelebihan sering memperolehnya secara paksa atau dengan "menipu" mereka yang berkekurangan. Orang kaya pun sering kehilangan kesadaran bahwa kekayaan mereka sebagian besar merupakan "sumbangan" dari sebagian besar orang yang disebut miskin. Sebab, tak ada orang kaya bila tak ada yang miskin. Mengabaikan Keseimbangan Kehidupan ini kian merosot saat moralitas keseimbangan diabaikan. Ketidakadilan dalam berbagai jenisnya dikembangbiakkan dan sering diwarnai seolah-olah itu fakta alam. Bahkan, ketidakadilan dalam berbagai cara, oleh penguasa dan orang kaya, diajarkan sebagai suatu keadilan. Kita kehilangan kebijaksanaan dalam hidup. Pragmatisme kehidupan menguasai dan tecermin dalam budaya komersialisasi yang begitu keras. Pencemaran nilai-nilai agama oleh budaya komersialisme itu bahkan sudah pada tahap mencemaskan. Tak terkecuali Natal. Kita memahami mengapa Paus Benediktus mengkritik tajam Natal yang bercorak komersial sehingga kerap menggerus makna hakikinya. Tanpa disadari, ketercerabutan nilai-nilai agama, baik oleh kekuasaan maupun uang, sudah nyaris melumpuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Penghayatan nilai kemanusiaan luntur oleh situasi yang membolehkan manusia bersikap serakah dan mencaplok hak orang lain. Kesenjangan adalah wujud ketidakadilan paling nyata. Namun, bukan kesenjangan itu yang dipersoalkan, tetapi mengapa kesenjangan terjadi dan bagaimana mengatasinya. Itulah yang menjadi masalah. Kesenjangan terjadi akibat solidaritas yang lemah. Dan, upaya mengangkat kesejahteraan diri sering dilakukan dengan menikam yang lebih lemah. Setelah itu, kesenjangan sedikit demi sedikit dilupakan sebagai masalah sehingga solidaritas seolah tidak diperlukan lagi. Ini terjadi saat semua orang berpikir "cari selamat sendiri-sendiri". ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar