DPR Versus
Mahasiswa
Yasmi Adriansyah ; Kandidat
PhD School of Politics
and International Relation ANU, Canberra
|
REPUBLIKA,
01 Desember 2012
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali meng hangatkan wacana.
Episode kali ini adalah DPR versus mahasiswa di luar negeri.
Pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie bahwa mahasiswa Indonesia di
Jerman seperti maling telah tersebar luas di dunia maya. Pernyataan tersebut
disampaikan sebagai respons atas `laporan' Perhimpunan Pelajar Indonesia
di Berlin yang belum lama ini memantau kunjungan studi banding DPR ke Jerman.
Sekalipun Marzuki sudah meluruskan pernyataannya, tak pelak kontroversi telah
tersemai. Pernyataan Marzuki yang notabene ketua sekaligus juru bicara
(speaker) DPR telah memantik isu ini menjadi polemik atau bahkan perseteruan
terbuka dengan mahasiswa, khususnya yang tengah menuntut ilmu di luar negeri.
Hal ini patut disayangkan mengingat DPR seyogianya berperan sebagai wakil
rakyat dan bukan sebaliknya, `menyerang rakyat'.
Selaku mahasiswa yang tengah menuntut ilmu di luar negeri, saya
kira ada beberapa hal dari pernyataan Marzuki yang perlu diluruskan. Pertama,
Marzuki berpendapat bahwa jika DPR tidak diperkenankan ke luar negeri untuk
melakukan studi banding, seharusnya mahasiswa Indonesia pun tidak perlu
belajar di luar negeri. Terlebih, di dalam negeri sudah banyak sekolah yang
bagus.
Ihwal pertanggungjawaban
Pernyataan ini sejatinya berada di luar konteks. Saya percaya
tidak ada mahasiswa yang melarang anggota DPR pergi ke luar negeri, apalagi
untuk melakukan kajian demi kemaslahatan rakyat. Permasalahannya adalah kerapkali
studi banding DPR terkesan seadanya, kurang persiapan, dan bahkan sekadar `memfasilitasi'
keinginan berwisata ke luar negeri. Jika ditelisik dari berbagai `laporan', kasus
kunjungan ke Jerman ini semakin menegaskan argumentasi tersebut.
Di sisi lain, keinginan belajar adalah hak siapa pun, termasuk
ke luar negeri. Terlepas dari baiknya kualitas pendidikan di dalam negeri,
tetap ada banyak hal yang bisa dipelajari dari luar negeri, khususnya di
negara-negara maju. Selain itu, kepergian pelajar Indonesia ke luar negeri
sebagian besar tidak menggunakan uang rakyat atau seperti diklaim Marzuki,
menghambur- hamburkan devisa.
Mahasiswa yang berkemampuan finansial pas-pasan namun cerdas
biasa- nya mendapatkan beasiswa dari negara penerima. Adapun mahasiswa yang
meng- gunakan biaya sendiri kerap kali berasal dari keluarga yang mampu
sehingga pembiyaan mereka pun bersifat privat.
Di sisi lain, studi banding DPR jelas menggunakan uang rakyat
yang bisa dipastikan jumlahnya sangat besar un tuk ukuran masyarakat
Indonesia.
Karena itu, menjadi sahih ketika rakyat bertanya kepada DPR bagaimana mereka menggunakan uang dimaksud.
Kedua, Marzuki mengatakan bahwa kunjungan DPR sangatlah penting
mengingat hal ini menyangkut undang-undang yang akan berdampak pada kehidupan
publik. Secara umum, tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut.
Namun, perlu menjadi perhatian DPR bahwa publik Indonesia pada masa kini
teramat kritis, khususnya terhadap aspek akuntabilitas, kinerja, atau bahkan
prestasi dari lembaga-lembaga negara. Dalam konteks dimaksud, perlu ada
refleksi dari DPR apakah aspek-aspek akuntabilitas dan kinerja sudah dijalankan
atau bahkan mencapai penilaian baik.
Permasalahannya, publik lebih sering terekspose dengan berita-berita
negatif, seperti skandal korupsi, menonton video porno dalam persidangan,
atau bahkan rendahnya tingkat kehadiran di dalam sidang (yang notabene
merupakan tugas utama DPR). Belum lagi, jika ditelaah mengenai minimnya
prestasi, khususnya diskrepansi antara target dan capaian legislasi yang
bahkan kurang dari 50 persen.
Dalam hal ini, seyogianya DPR dapat lebih aktif menyuarakan
keberhasilan mereka dalam dimensi apa pun. Penulis percaya bahwa masyarakat
Indonesia sudah sangat letih mendengar berita-berita negatif tentang DPR.
Bisa jadi ada anggota DPR yang memiliki kinerja baik atau bahkan berprestasi
di atas rata-rata. Namun, jika hal tersebut tidak di- sebarluaskan dan
justru tenggelam oleh kinerja negatif, berarti memang ada masalah serius di
dalam lembaga terhormat ini. Karena itu, menjadi wajar jika publik selalu
bersikap kritis.
Ketiga, Marzuki mengkritik mahasiswa di Jerman seperti maling.
Tidak lama setelah itu, Marzuki meluruskan pernyataannya bahwa bukan
mahasiswanya yang seperti maling, tapi kegiatan menguntitnya. Terlepas dari
permainan kata-kata khas para politikus, kiranya perlu diingatkan bahwa
anggota DPR atau bahkan sang ketua itu sendiri adalah sosok terhormat yang
sangat perlu menjaga sikap dan kata-kata.
Iktikad Baik
Pernyataan Marzuki tersebut, menurut hemat saya, amat tidak elok
dan justru merendahkan kapasitas yang bersangkutan sebagai ketua dari lembaga
terhormat. Mahasiswa Indonesia, baik di dalam maupun luar negeri, adalah
sebuah segmen masyarakat yang notabene diharapkan terus bersuara kritis
terhadap pengelolaan negara.
Mahasiswa Indonesia seyogianya memiliki kadar intelektualitas
dan aktif mengedepankan pelbagai bentuk aktivisme yang bisa mengoreksi penyimpangan
tata kelola negara. Karena, suatu hari, mereka pun diharapkan dapat meneruskan
tampuk kepemimpinan di negeri ini.
Mengkritik upaya mahasiswa yang sejatinya berusaha mengawasi
jalannya pengelolaan negara seakan membawa negeri ini ke era Orde Baru dengan
segala kebijakan represifnya. Saya percaya Marzuki dan DPR tidak menginginkan
hal itu. Karena, jika era tersebut berulang, Indonesia akan kembali ke dalam
zaman kelam kehidupan bernegara.
Sebagai konklusi, kiranya Marzuki dan DPR tidak terlalu perlu
meradang atas sikap dan pergerakan mahasiswa di luar negeri. Jadikan kritik
mereka sebagai masukan konstruktif. Jadikan mereka sebagai mitra dalam
membangun Indonesia yang lebih baik. Jadikan kritisisme mereka sebagai bentuk
kepedulian atas negeri. Bukankah para anggota DPR yang terhormat dulunya pernah
menjadi mahasiswa atau bahkan pernah menuntut ilmu di luar negeri?
Wallahua'lam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar