Demokrasi
Minus Toleransi
Jeffrie Geovanie ; Pendiri The Indonesian Institute
|
KORAN
TEMPO, 21 Desember 2012
Banyak
kalangan menilai, Indonesia saat ini merupakan negara paling demokratis di
dunia. Bahkan Amerika, yang kita kenal sebagai gurunya demokrasi, dalam
batas-batas tertentu sudah kalah oleh Indonesia. Dalam memilih calon
presiden, misalnya, cara yang digunakan di Indonesia lebih demokratis
dibanding cara Amerika.
Indikator lain
yang menunjukkan Indonesia lebih demokratis adalah dalam hal kebebasan pers
dan kebebasan menyatakan pendapat. Di luar adanya kasus-kasus ancaman
terhadap wartawan, pers memiliki kebebasan yang maksimal. Begitu pun cara
rakyat mengemukakan pendapat. Saking bebasnya pers, siapa pun bisa menjadi
bulan-bulanan pers kita, termasuk presiden.
Karena
demokrasi diyakini sebagai sumber kekuatan rakyat, atas nama rakyat, siapa
pun bisa mengkritik atau bahkan mengecam pihak-pihak yang tak disukainya,
terutama mereka yang dianggap memiliki kekuasaan. Maka, tak perlu heran, di
negeri ini bahkan presiden pun bisa dikecam dan di-bully kapan saja, terutama
di jaringan media sosial.
Di negeri ini,
intoleransi benar-benar berkembang dengan mengatasnamakan demokrasi. Yang
paling sering kita dapatkan, intoleransi itu diekspresikan oleh "para pemilik suara mayoritas"
untuk mengecam atau bahkan menistakan "suara
minoritas". Sepanjang tahun 2012, atas nama demokrasi, intoleransi
umat beragama berkembang. Banyak kita saksikan para penganut agama dan mazhab
mayoritas mengucilkan dan mengusir yang minoritas. Di daerah-daerah tertentu,
pengikut mazhab minoritas bahkan bisa dibunuh dan dibakar tanpa ada
pembelaan, bahkan dari negara sekalipun.
Demokrasi
minus toleransi, jika dibiarkan berkembang, secara perlahan namun pasti akan
membunuh demokrasi itu sendiri. Sebab, pada saat otoritas pemerintah tak lagi
dihiraukan, dan hak-hak orang lain diabaikan, pada saat itulah demokrasi akan
mati. Itulah sebabnya, toleransi, menurut Robert Putnam, menjadi modal sosial
yang teramat penting bagi demokrasi.
Di Eropa dan
Amerika, toleransi sudah menjadi fondasi bagi bangunan negara, yang ditemukan
dan dipelihara sejak awal sebagai instrumen nilai untuk menata keadaban
publik dan demokrasi. Sejak abad ke-17, prinsip dasar toleransi sudah
ditekankan John Locke dalam A Letter
Concerning Toleration (1689). Dari kota pengungsian di Amsterdam, Locke menulis
surat terbuka tentang pentingnya toleransi untuk negerinya tercinta, Inggris,
yang saat itu sedang diselimuti suasana intoleransi dan tahun-tahun konflik
berdarah.
Para
dissenters--sebutan untuk mereka yang berbeda pendapat dan menolak pemaksaan
doktrin Gereja Anglikan yang didukung pemerintah--menjadi korban penyiksaan
secara politik dan keagamaan. Peristiwa itu mendorong Locke untuk
mengingatkan bahwa tugas pemerintah sipil bukanlah mendukung Gereja Anglikan,
melainkan menjaga prinsip netralitas dalam masalah keyakinan agama dan iman.
Setiap usaha intervensi iman oleh kekuatan eksternal, baik pemerintah sipil
maupun institusi keagamaan, mengandung kekeliruan pada dirinya sendiri.
Sebab, iman yang benar, kata Locke, bukan ditentukan oleh kekuatan eksternal,
melainkan oleh hati nurani individu. Bahkan kekuatan mayoritas yang
mengatasnamakan demokrasi pun tak boleh menindas yang minoritas.
Argumen itulah
yang diadopsi Bapak Konstitusi Amerika, James Madison, untuk merumuskan
konstitusinya. Sadar akan posisi agama dan iman sebagai anugerah Tuhan, bukan
manusia, maka Madison mendesain toleransi dan kebebasan beragama sebagai
spirit utama Konstitusi Amerika. Kebebasan beragama ditafsirkan sebagai
kebebasan dari agama apa pun. Karena itu, ateis pun dijamin Konstitusi. Juga,
sekte dan aliran agama apa pun, dan ada berapa pun pengikutnya, dibiarkan
hidup dan berkembang.
Indonesia,
seperti halnya Amerika, sebenarnya didesain Bapak Pendiri Bangsa di atas
fondasi serupa. "Bhinneka Tunggal
Ika" (Berbeda-beda tetapi tetap satu juga) melambangkan moto yang
serupa dengan Amerika, "E Pluribus
Unum", "Satu dari
Banyak". Setiap warga diikat oleh kesatuan komitmen dan tekad suci
akan pluralitas. Hidup di bangsa pluralis di dunia, seperti Amerika dan
Indonesia, mensyaratkan toleransi yang tinggi. Ini adalah anak tangga ke arah
terwujudnya high-trust society.
Amerika mencerminkan warganya yang punya tingkat kepercayaan tinggi satu
kepada lainnya karena toleransi yang tinggi.
Indonesia
justru sebaliknya, low-trust society,
ditandai oleh rendahnya tingkat kepercayaan satu warga kepada warga lainnya.
Kehidupan kita, hampir di semua lini, ditandai rasa curiga dan sarat rumor,
dengan kadar toleransi yang rendah pula. Padahal toleransi yang rendah,
dengan sendirinya, mudah retak dan membawa kita ke jurang perpecahan.
Demokrasi tak bisa ditegakkan
tanpa fondasi toleransi yang kokoh! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar