|
Laporan Akhir
Tahun Bidang Politik dan Hukum
Buruk Muka
Cermin Dibelah
|
KOMPAS,
17 Desember 2012
|
Partai politik ibarat
cacing kepanasan. Parpol yang tersingkir saat verifikasi administrasi
menjelang hari-hari penentuan peserta Pemilu 2014 memprotes sistem verifikasi
yang dianggap menguntungkan partai besar. ”Buruk muka cermin dibelah”.
Tentu saja cerita
perjalanan menjadi kontestan pesta demokrasi takkan begini jadinya apabila parpol
baru dan lama, terutama yang sudah mempunyai kursi di parlemen, selalu
introspeksi dan menyiapkan diri menjadi parpol bermutu. Kenyataannya, banyak
parpol yang justru memperbanyak kader korup dan membuat rakyat makin tidak
percaya pada parpol.
Ketika tak lolos,
pesan-pesan penuh amarah dikirimkan kepada anggota Komisi Pemilihan Umum
(KPU). Dengan mengatasnamakan seluruh warga Indonesia, pengurus parpol
menuding KPU menzalimi dan berdosa terhadap rakyat Indonesia.
Padahal, ketika masyarakat
akar rumput ditanyai tentang parpol, jawabannya selalu serupa. Politisi hanya
peduli pada kepentingannya sendiri. Datang berbondong-bondong menjelang
pemilu dan berupaya meraup uang sebanyak-banyaknya setelah menduduki posisi
di legislatif ataupun eksekutif. Aspirasi dan kepentingan masyarakat nyaris
tidak lagi menjadi pertimbangan dalam keputusan politik. Lebih parah lagi,
banyak kader partai yang korup. Masyarakat sadar betul akan hal itu.
Hanya Wasit
KPU hanyalah wasit
meskipun keberadaannya tak bisa lepas dari kepentingan parpol tertentu.
Namun, tidak bisa pula buruknya wajah dan persiapan parpol ditimpakan pada
kerja wasit. Dalam penyelenggaraan pemilu, ada KPU dan Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu). Selain itu, peran Sekretariat Jenderal (Setjen) KPU sebagai pendukung
penyelenggaraan pemilu juga tidak bisa dipinggirkan. Tanpa Setjen yang
berkinerja baik, KPU tidak akan mampu mengelola pemilu.
Namun, keruwetan bertambah
dengan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang semestinya
hanya mengawasi kode etik KPU dan Bawaslu mulai dari tingkat pusat sampai
kabupaten/kota. DKPP tidak hanya menilai sekjen, wakil sekjen, ataupun
kepala/wakil kepala biro hukum KPU yang melanggar kode etik. DKPP juga
memerintahkan 18 parpol yang gagal verifikasi administrasi disertakan dalam
verifikasi faktual. Kendati putusan dinilai melampaui kewenangan dan memasuki
otoritas KPU, sebagian parpol yang semula berteriak meminta diverifikasi kini
malah meminta semua parpol bisa langsung menjadi peserta pemilu melalui
Mahkamah Konstitusi (MK).
Kalau gugatan sekelompok
kecil parpol dikabulkan, peserta Pemilu 2014 bisa mencapai 34 parpol. Aturan
yang dibuat untuk menyeleksi parpol yang benar- benar menyiapkan diri dan
bekerja untuk rakyat menjadi tak berguna.
Sepak terjang DKPP yang
menerbitkan putusan di luar kewenangannya menimbulkan kekhawatiran baru. DKPP
bisa saja memutuskan semua parpol diikutkan sebagai peserta pemilu atau
membatalkan hasil pemilu. Saat ini sudah dua putusan DKPP yang dinilai
melampaui kewenangan. Pertama, DKPP meminta agar Daftar Pemilih Tetap Pemilu
Kepada Daerah DKI Jakarta ditinjau dan diperbaiki. Kedua, DKPP memerintahkan
KPU agar memverifikasi faktual 18 parpol yang tidak lolos verifikasi
administrasi.
Pilihan Politisi
Para politisi yang
menentukan sebagian anggota DKPP boleh merasa malu dengan kualitas pilihan
mereka. Sama halnya ketika meneriakkan protes atas kinerja KPU atau Bawaslu.
KPU dan Bawaslu pun ditetapkan oleh politisi di DPR. Rekomendasi nama-nama
sesuai keahlian yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemilu dari tim seleksi
tak digubris. Nama-nama berkualitas itu terbuang karena tidak memiliki
dukungan politik.
Sebelumnya, politisi di
DPR sudah menepuk air di dulang dengan aturan verifikasi parpol yang
superketat. Harapan menyingkirkan pesaing parpol-parpol kecil dengan syarat
sangat berat berubah menjadi senjata makan tuan. Sebab, MK memutuskan aturan
ini harus berlaku untuk semua parpol yang akan menjadi peserta pemilu, tidak
terkecuali parpol yang memiliki wakil di parlemen.
Meskipun Pemilu 2014 diawali
dengan riak-riak, Ketua MK Mahfud MD menegaskan, apabila KPU menjaga
integritas, netralitas, dan transparan, persoalan pemilu takkan berulang.
Kekisruhan pemilu tidak boleh terjadi karena pesta demokrasi ini sudah
berlangsung setiap lima tahun.
”Wajah Pemilu 2014
diharapkan lebih pasti, mulai dari pembagian wewenang antara KPU dan Bawaslu
serta DKPP. Jangan sampai semua pihak saling mengganggu jadwal. Dewan etik,
dalam hal ini DKPP, semestinya tidak boleh sampai pada ranah operasional
dengan memerintahkan proses pemilu kepada KPU,” ujar Mahfud.
Ke depan, KPU pun tidak
bisa lagi ragu dan tidak transparan. Verifikasi dan pelaksanaan tahapan sudah
semestinya dilakukan secara sangat terbuka. Bawaslu juga harus lebih siap
dengan mekanisme pengawasan dan kinerja optimal.
Pemerintah pun perlu
memfasilitasi penyelenggara pemilu dengan birokrasi yang berkapasitas dan
mampu bekerja sama dengan KPU. Tanpa dukungan dari birokrasi bersih,
melayani, dan berkinerja optimal, mustahil pula Pemilu 2014 berlangsung. (Stefanus
Osa/Nina Susilo) ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar