Jumat, 02 November 2012

Waktu Senggang bagi Manusia Urban


Waktu Senggang bagi Manusia Urban
AP Edi Atmaja ;  Pegiat Kebudayaan di LPM Gema Keadilan,
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
JARINGNEWS.COM, 30 Oktober 2012


Kita tidak gandrung pada kegiatan intelektual, yang justru bakal melahirkan peradaban dan kebudayaan.

Manusia urban hidup dalam lintasan masa yang tergesa-gesa. Berpacu dengan waktu, mereka memaknai kehidupan hanya semata kemajuan. Manusia urban enggan menoleh ke belakang, karena masa silam identik dengan ketertinggalan.

Urbanitas menggenjot gaya hidup ke level yang paling ekstrem: pemujaan materi. Keberlimpahan materi dianggap sebagai standar keberhasilan. Sehingga, manusia urban terjangkiti virus yang meruntuhkan banyak peradaban di masa silam: loba, tamak, alias serakah.

Terlampau kencang memacu diri, manusia urban akhirnya tenggelam dalam rutinitas yang menjemukan. Jikalau bekerja, mereka tercerabut dari esensi kerja. Jikalau bersekolah, mereka terasing dari hakikat sekolah. Urusan manusia urban adalah bagaimana melaksanakan keseharian dalam tataran yang wajar, lumrah. Perkara esensi, substansi, maknawi, dan hakiki bolehlah ditiriskan di sudut belakang.

Kegagalan menyikapi waktu senggang adalah penyebab mengapa manusia urban mengalami krisis eksistensial semacam itu. Manusia urban tak lagi mempunyai prioritas hidup, nilai, tujuan, dan harapan. Mereka tak berani menelusuri makna terdalam dari setiap peristiwa. Alhasil, mereka kehilangan orientasi, kesempatan buat menilai dan mengevaluasi, serta daya untuk menghimpun kekuatan dan menyusun strategi.

Apakah dengan demikian manusia urban kehilangan waktu senggang? Ternyata tidak. Justru itulah sebenarnya yang mereka kejar, lintang pukang siang-malam. Kesibukan yang dilakoni manusia urban sejatinya demi tujuan merengkuh hari-hari tanpa kesibukan. Saat-saat rileks, santai, yang bebas dari segala tugas dan kewajiban.

Jargon 'kebebasan finansial' yang digadang-gadang kaum usahawan, prototipe manusia urban kontemporer, sebetulnya sarat pemujaan pada yang senggang, yang luang. Waktu sengganglah penyebab dari segala sebab, mengapa manusia bercapai-capai menghela jiwa, lantas menggadaikannya pada yang material.

Setelah memperoleh waktu senggang, apa yang dilakukan manusia urban? Tak lain, kesia-siaan. Ya, waktu senggang dalam pengertian manusia urban telah terkorosi dengan demikian tragis: hanya dipahami sebagai saat-saat penuh kemalasan, keberleha-lehaan. Manusia urban telah karam, terpuruk dalam superfisialitas kemanusiaan.

Dua Lapisan
Padahal, di masa silam, waktu senggang tak ubahnya suatu kedigdayaan.

Ingatan kita membayang ke zaman Yunani Kuno. Di masa itu, peradaban manusia tengah berkembang dengan corak yang unik. Kota-kotanya bersifat urban dan sekuler, tak dikuasai raja atau pembesar agama. Hasil karya dan kekayaan dinikmati masyarakat seluruhnya, bukan sebagai upeti untuk penguasa. Dalam masyarakat yang disebut polis itu, terdapat dua macam lapisan: orang bebas dan para budak (Simon, 2006: 59-60).

Orang bebas berkesempatan luas untuk mengaktualisasikan diri. Mereka berkecimpung dalam kegiatan akademis, seni, filsafat, dan politik. Orang bebas berorganisasi, berdebat, dan berdiskusi secara merdeka, mengolah imajinasi dan kreativitas dalam batas sejauh-jauhnya, yang lantas mampu menciptakan kebudayaan dan pemikir jempolan semacam Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Semua ini dimungkinkan lantaran mereka menggauli dan menghidupi waktu senggang.

Bertolak belakang dengan perihidup orang bebas, para budak terbelenggu oleh kerja. Waktu mereka dihabiskan untuk melaksanakan kerja kasar membangun kota dan benteng, mendirikan rumah, menggarap kebun dan ladang, dan melayani majikan. Kondisi keterbudakan membuat mereka kurang bisa mendayagunakan waktu senggang hingga tataran filosofis. Pemaknaan mereka akan waktu senggang sebatas pada kesempatan buat mengaso dari kerja seharian.

Reposisi Pieper
Kita, manusia urban kontemporer, agaknya lebih suka memosisikan diri laiknya para budak. Pekerjaan tidak jua meluhurkan kita, malah menjadikan kita makhluk yang banal. Waktu senggang kita maknai semata ajang rekreasi, bukan refleksi atau kontemplasi. Dalam berekreasi, kita berpelesir, menghambakan diri pada perangkap-perangkap eksterior seperti mal, tempat wisata, kelab malam, dan negeri-negeri yang jauh. Kita tidak gandrung pada kegiatan intelektual, yang justru bakal melahirkan peradaban dan kebudayaan.

Persis di titik itulah Josef Pieper, dalam Leisure: The Basis of Culture (1963), melancarkan kritiknya terhadap kerja. Buat Pieper, yang dinamakan 'bekerja' itu mempunyai tiga ciri mendasar. Pertama, dalam bekerja ada kepaduan dan ketegangan antara kapasitas dan kapabilitas untuk bertindak. Kedua, ada kesiapan untuk menderita. Ketiga, ada kemampuan untuk menempatkan kerja sebagai media peleburan diri yang total dalam kehidupan dan organisasi sosial demi mencari makna kehidupan.

Waktu senggang, menurut Pieper, perlu direposisi: ia bukan sikap (attitude) atau tindakan (act) yang terjadi karena kekuasaan, pengaruh, atau tekanan dari luar. Waktu senggang adalah sikap 'menerima' yang sarat perenungan. Sikap yang tak hanya membiarkan segala peristiwa berlalu begitu saja, melainkan tumpat keberanian untuk menyelam ke kedalaman seluruh ciptaan.

Dalam berwaktu senggang, kata Pieper, kita bersikap aktif tetapi 'diam', sikap diam yang 'merayakan'. Waktu senggang hanya dimungkinkan kalau seseorang berhasil menyatu dengan dirinya sendiri, tatkala dia 'berdiam diri', ketika manusia menolak rasa malas.

Mampukah kita mengembalikan waktu senggang ke bentuknya yang hakiki? Mampukah kita menciptakan kebudayaan dari waktu senggang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar