Virus Jokowi
M Mas’ud Said, Anggota Dewan Pakar DPP Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia (MIPI), Bekerja di kantor Staf Khusus Presiden, Bidang Pembangunan
Daerah dan Otonomi Daerah
SINDO,
03 November 2012
Beberapa pekan
ini masyarakat menyaksikan virus Jokowi sedang bekerja dalam birokrasi
pemerintahan DKI.Masyarakat seakan tidak sabar menunggu program quick wins,
berupa perubahan Jakarta yang lebih manusiawi dan bermartabat yang bisa diamati
dan dirasakan.
Bisakah Jokowi dan wakilnya bekerja untuk memecahkan masalah Jakarta yang multikompleks, kronis, dan rumit dari hilir sampai hulu? Bisakah Jakarta yang diidamkan muncul di bawah kepemimpinan Jokowi? Dengan apakah Jokowi bisa memulai membangun Jakarta? Beberapa hasil survei dan pooling pendapat masyarakat mengindikasikan bahwa Jokowi akan bisa mengubah Jakarta lebih baik.
Namun, penulis yakin bahwa kalau dia bekerja secara teknokratis, berdasarkan kekuatan teknik pembangunan yang biasa (business as usual),dengan cara birokratis dan penganggaran reguler, maka sangat berat menyukseskan program kerja sebagaimana yang disampaikan dalam kampanye.
Kekuatan yang paling menonjol dalam kepemimpinan Jokowi bukan teknokrasinya, melainkan energi positifnya, yaitu nilai keterbukaan, kesederhanaan, dan kekuatannya dalam menginspirasi masyarakat. Jadi dalam teori kepemimpinan, Jokowi bisa dikategorikan sebagai pemimpin dalam istilah Bolman dan Deal, sebagai pemimpin yang mampu memberi inspirasi dan kesadaran berubah (giving gift from the hearts that breath the spirit into the peoples mind).
Terdapat asumsi deduktif bahwa penyelesaian masalahmasalah pemerintahan di kota metropolitan tidak akan mudah diselesaikan karena menyangkut hal yang lebih kompleks, yaitu struktur, kultur, dan aparatur.Melalui studi dan pengalaman di beberapa kota metropolitan dunia, masalah krusial Jakarta akan sulit diselesaikan secara mendasar dengan hitungan tahun berbekal kekuatan birokrasinya.
Di samping itu,dalam waktu yang bersamaan, Jokowi harus mengenali dulu peta masalah riilnya di hampir setiap item pembangunan. Apa yang sekarang dilakukan ialah mendahulukan yang paling mungkin, sambil mengatasi hambatan internal birokrasi yang menyangkut tiga “tur” tadi, yaitu struktur, kultur, dan aparatur pemerintahan daerah. Dalam kesempatan sowan kepada Jusuf Kala, sesaat setelah pengumuman kemenangan Jokowi, mantan wakil presiden itu berujar kepada media masa: “Inikanbukansoalkomitmen Jokowi selaku pribadi”.
Pemerintahan itu, menurut kataMJusufKalla,menyangkut kultur, lembaga dan pemerintahan yang berjalan, itulah struktur pemerintahan. Soal rencana perbaikan rumah susun misalnya, Jokowi terlebih dulu menyihir warga permukiman kumuh yang nanti akan dibenahi.Pertamatama yang dijual Jokowi adalah komunikasi, empati, dan kepercayaan atau trust.
Dengan komunikasi personal yang langsung, kepercayaan publik sedikit demi sedikit dapat terbangun. Apabila telah muncul kesepahaman,lalu pada proses selanjutnya ada proses pelibatan masyarakat, maka program perbaikan bisa dimulai.
Setiap proses reformasi pemerintahan biasanya diikuti dengan delegasi tugas dan kekuasaan. Dalam banyak hal dan luasnya wilayah DKI,tidak mungkin personal approach akan mampu membagi waktu untuk mengunjungi 267 kelurahan di seantero DKI. Masalahnya adalah bahwa institusi dan sistem administrasi Pemprov DKI yang bekerja adalah institusi lama. Bahkan, orang-orang penting di jajaran eselon satu dan eselon dua dalam pemerintahan DKI,juga orangnya Fauzi Bowo.
Secara teoretis ataupun pragmatis, di negeri birokratis seperti Indonesia, tidaklah dimungkinkan untuk menghendaki revolusi yang mengubah struktur, kultur, dan aparatur secara mendasar dalam waktu yang singkat. Perubahan yang mungkin terjadi adalah berjenjang (incremental changes).
Dalam praktik pemerintahan terutama di negara-negara sedang berkembang seperti di Indonesia, belum ada data kuat yang mencontohkan bahwa sebuah rezim termasuk wali kota dan gubernur bisa mengubah tuntas persoalanpersoalan krusial yang membelit secara struktural dan kultural dalam hitungan bulan. Memang perlu dikemukakan bahwa hampir tidak ada penolakan verbal yang datang dari jajaran wali kota atau jajaran pimpinan DKI terhadap program quick wins Jokowi. Akan tetapi, kebanyakan di antara mereka tampaknya akan menunggu-nunggu apa yang bakal terjadi (wait and see).
Philip Mawhood dalam bukunya LocalGovernmentinthe Third World (1983) mengikhtisarkan betapa sulit dan kompleksnya realisasi mendorong perkembangan pemerintahan di daerah secara adil,makmur, dan berpihak ke rakyat. Secara garis besar dapat diperkirakan ada dua macam respons pejabat DKI terhadap gebrakan. Pertama, kelompok biar saja mengalir, atau kelompok whatever will be, will be.
Kelompok ini, karena latar belakang dan pengetahuannya, akan ikuti saja arus yang berkembang di Pemprov DKI tanpa mau risiko. Kelompok kedua adalah kelompok responsif dan positif. Mereka yang menyambut 100 hari pertama, dengan sepenuh hati bekerja mengikuti irama pimpinan baru.Kelompok kedua ini lebih profesional dan mengikuti aturan. Kelompok ini justru sebagian tidak terlalu dekat dengan pemimpin sebelumnya.
Kelompok kedua inilah yang akan menjadi penentu suksesnya program quick wins Jokowi.Untuk hal ini, Sutiyoso berpesan kepada mereka agar melakukan kulo nuwun dulu atau permisi terlebih dahulu kepada pegawai DKI di Balai Kota sebelum mengajak mereka bekerja. Menurut penulis,itu adalah pesan halus dari seorang senior yang telah merasakan bahwa beberapa ide tidak akan landingsukses karena soal birokrasi pemerintahan daerah yang mungkin sakit.
Apakah benar, Jokowi adalah pelayan publik yang baik kepada tuannya, yaitu masyarakat Betawi atau tidak? Begitu pentingnya pembuktian akan janjinya itu, ibunda Jokowi,Ny Sudjiatmi Notomihardjo,membisikkan kepada telinga anaknya:“ Ojolali,janji iku utang”.Jangan lupa ya janji adalah utang, kata ibunda Jokowi sesaat setelah kemenangan dicapai. Banyak orang berkeyakinan bahwa untuk seorang Jokowi, dengan berbekal kesederhanaannya dan track record-nya selama ini, komitmen akan tetap merakyat akan dapat dilalui dengan mulus.
Kekuatan dan keutamaan Jokowi sehingga dia menarik masyarakat ialah gayanya yang terbuka, sederhana, dan merakyat. Dekat dengan rakyat adalah trade mark Jokowi, inilah virus Jokowi itu. Dapat diperkirakan,Jokowi bahkan akan mengubah protap birokratis yang membebani geraknya. Ia diperkirakan melanjutkan pendekatan informalitas dan kesederhanaannya. Itulah virus yang harus ditumbuhkan kepada pejabat Pemprov dan warga DKI. Semoga! ●
Bisakah Jokowi dan wakilnya bekerja untuk memecahkan masalah Jakarta yang multikompleks, kronis, dan rumit dari hilir sampai hulu? Bisakah Jakarta yang diidamkan muncul di bawah kepemimpinan Jokowi? Dengan apakah Jokowi bisa memulai membangun Jakarta? Beberapa hasil survei dan pooling pendapat masyarakat mengindikasikan bahwa Jokowi akan bisa mengubah Jakarta lebih baik.
Namun, penulis yakin bahwa kalau dia bekerja secara teknokratis, berdasarkan kekuatan teknik pembangunan yang biasa (business as usual),dengan cara birokratis dan penganggaran reguler, maka sangat berat menyukseskan program kerja sebagaimana yang disampaikan dalam kampanye.
Kekuatan yang paling menonjol dalam kepemimpinan Jokowi bukan teknokrasinya, melainkan energi positifnya, yaitu nilai keterbukaan, kesederhanaan, dan kekuatannya dalam menginspirasi masyarakat. Jadi dalam teori kepemimpinan, Jokowi bisa dikategorikan sebagai pemimpin dalam istilah Bolman dan Deal, sebagai pemimpin yang mampu memberi inspirasi dan kesadaran berubah (giving gift from the hearts that breath the spirit into the peoples mind).
Terdapat asumsi deduktif bahwa penyelesaian masalahmasalah pemerintahan di kota metropolitan tidak akan mudah diselesaikan karena menyangkut hal yang lebih kompleks, yaitu struktur, kultur, dan aparatur.Melalui studi dan pengalaman di beberapa kota metropolitan dunia, masalah krusial Jakarta akan sulit diselesaikan secara mendasar dengan hitungan tahun berbekal kekuatan birokrasinya.
Di samping itu,dalam waktu yang bersamaan, Jokowi harus mengenali dulu peta masalah riilnya di hampir setiap item pembangunan. Apa yang sekarang dilakukan ialah mendahulukan yang paling mungkin, sambil mengatasi hambatan internal birokrasi yang menyangkut tiga “tur” tadi, yaitu struktur, kultur, dan aparatur pemerintahan daerah. Dalam kesempatan sowan kepada Jusuf Kala, sesaat setelah pengumuman kemenangan Jokowi, mantan wakil presiden itu berujar kepada media masa: “Inikanbukansoalkomitmen Jokowi selaku pribadi”.
Pemerintahan itu, menurut kataMJusufKalla,menyangkut kultur, lembaga dan pemerintahan yang berjalan, itulah struktur pemerintahan. Soal rencana perbaikan rumah susun misalnya, Jokowi terlebih dulu menyihir warga permukiman kumuh yang nanti akan dibenahi.Pertamatama yang dijual Jokowi adalah komunikasi, empati, dan kepercayaan atau trust.
Dengan komunikasi personal yang langsung, kepercayaan publik sedikit demi sedikit dapat terbangun. Apabila telah muncul kesepahaman,lalu pada proses selanjutnya ada proses pelibatan masyarakat, maka program perbaikan bisa dimulai.
Setiap proses reformasi pemerintahan biasanya diikuti dengan delegasi tugas dan kekuasaan. Dalam banyak hal dan luasnya wilayah DKI,tidak mungkin personal approach akan mampu membagi waktu untuk mengunjungi 267 kelurahan di seantero DKI. Masalahnya adalah bahwa institusi dan sistem administrasi Pemprov DKI yang bekerja adalah institusi lama. Bahkan, orang-orang penting di jajaran eselon satu dan eselon dua dalam pemerintahan DKI,juga orangnya Fauzi Bowo.
Secara teoretis ataupun pragmatis, di negeri birokratis seperti Indonesia, tidaklah dimungkinkan untuk menghendaki revolusi yang mengubah struktur, kultur, dan aparatur secara mendasar dalam waktu yang singkat. Perubahan yang mungkin terjadi adalah berjenjang (incremental changes).
Dalam praktik pemerintahan terutama di negara-negara sedang berkembang seperti di Indonesia, belum ada data kuat yang mencontohkan bahwa sebuah rezim termasuk wali kota dan gubernur bisa mengubah tuntas persoalanpersoalan krusial yang membelit secara struktural dan kultural dalam hitungan bulan. Memang perlu dikemukakan bahwa hampir tidak ada penolakan verbal yang datang dari jajaran wali kota atau jajaran pimpinan DKI terhadap program quick wins Jokowi. Akan tetapi, kebanyakan di antara mereka tampaknya akan menunggu-nunggu apa yang bakal terjadi (wait and see).
Philip Mawhood dalam bukunya LocalGovernmentinthe Third World (1983) mengikhtisarkan betapa sulit dan kompleksnya realisasi mendorong perkembangan pemerintahan di daerah secara adil,makmur, dan berpihak ke rakyat. Secara garis besar dapat diperkirakan ada dua macam respons pejabat DKI terhadap gebrakan. Pertama, kelompok biar saja mengalir, atau kelompok whatever will be, will be.
Kelompok ini, karena latar belakang dan pengetahuannya, akan ikuti saja arus yang berkembang di Pemprov DKI tanpa mau risiko. Kelompok kedua adalah kelompok responsif dan positif. Mereka yang menyambut 100 hari pertama, dengan sepenuh hati bekerja mengikuti irama pimpinan baru.Kelompok kedua ini lebih profesional dan mengikuti aturan. Kelompok ini justru sebagian tidak terlalu dekat dengan pemimpin sebelumnya.
Kelompok kedua inilah yang akan menjadi penentu suksesnya program quick wins Jokowi.Untuk hal ini, Sutiyoso berpesan kepada mereka agar melakukan kulo nuwun dulu atau permisi terlebih dahulu kepada pegawai DKI di Balai Kota sebelum mengajak mereka bekerja. Menurut penulis,itu adalah pesan halus dari seorang senior yang telah merasakan bahwa beberapa ide tidak akan landingsukses karena soal birokrasi pemerintahan daerah yang mungkin sakit.
Apakah benar, Jokowi adalah pelayan publik yang baik kepada tuannya, yaitu masyarakat Betawi atau tidak? Begitu pentingnya pembuktian akan janjinya itu, ibunda Jokowi,Ny Sudjiatmi Notomihardjo,membisikkan kepada telinga anaknya:“ Ojolali,janji iku utang”.Jangan lupa ya janji adalah utang, kata ibunda Jokowi sesaat setelah kemenangan dicapai. Banyak orang berkeyakinan bahwa untuk seorang Jokowi, dengan berbekal kesederhanaannya dan track record-nya selama ini, komitmen akan tetap merakyat akan dapat dilalui dengan mulus.
Kekuatan dan keutamaan Jokowi sehingga dia menarik masyarakat ialah gayanya yang terbuka, sederhana, dan merakyat. Dekat dengan rakyat adalah trade mark Jokowi, inilah virus Jokowi itu. Dapat diperkirakan,Jokowi bahkan akan mengubah protap birokratis yang membebani geraknya. Ia diperkirakan melanjutkan pendekatan informalitas dan kesederhanaannya. Itulah virus yang harus ditumbuhkan kepada pejabat Pemprov dan warga DKI. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar