Ujian SBY soal
Perubahan Iklim
Wimar Witoelar ; Konsultan
Komunikasi
|
KOMPAS,
14 November 2012
Badai besar Sandy bukan sekadar musibah
alam, melainkan juga peringatan kepada kita akan pengaruh berbahaya perubahan
iklim dan pemanasan global.
Sandy adalah kondisi cuaca
yang ekstrem tetapi diperbesar dampaknya akibat emisi karbon buatan manusia
yang mengubah iklim dan kondisi pantai. Sekarang, dalam satu dekade, kita
bisa mengalami badai yang dulu terjadi sekali dalam 100 tahun.
Melihat kerusakan hebat di
New York dan New Jersey, AS, banyak seruan publik menyadarkan orang bahwa ini
disebabkan pemanasan global. Pemimpin politik AS harus segera mengambil
tindakan. Ini bukan suatu isu politik walaupun politik dan ilmu sering
berbenturan dalam keputusan mengenai perubahan iklim. Di Indonesia kini,
perubahan iklim mengetuk dunia politik.
November 2009, dunia
terkesan oleh komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menurunkan 41
persen emisi karbon di Indonesia sebelum 2020. Syaratnya, dunia internasional
mendukung Indonesia.
Pada Mei 2011, satu
pemerintahan negara sahabat merespons konkret dengan menyediakan dukungan
dana bertahap 1 miliar dollar AS. Sejumlah program bantuan serupa diprakarsai
oleh donor bilateral, sebagai upaya internasional mengurangi emisi karbon
dari perusakan hutan, dalam program Reducing Emissions from Deforestation and
Forest Degradation (REDD+).
Semua ini adalah awal yang
baik untuk terciptanya Badan REDD+ yang tegar. Konsep telah disiapkan untuk
SBY. Kini sangat penting menjaga ketegaran konsep itu dengan tak
mengizinkannya diperlunak secara signifikan. SBY telah dihargai dunia atas
dasar komitmen menahan perubahan. SBY secara nyata terlibat dalam Sustainable
Development Goals 2013, suatu proses yang dipimpin bersama Perdana Menteri
Inggris David Cameron dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf. Secara
internasional SBY punya peluang meninggalkan legacy yang positif dengan
mendirikan Badan REDD+ yang tegar dan kepemimpinan yang kuat.
Tahun 2013 Indonesia bisa
mendirikan kerangka institusional dan kebijaksanaan di mana pengelolaan hutan
dan tanah gambut akan memulai usaha menuju keberlanjutan. Namun, ini
bergantung pada ketegaran Badan REDD+ yang akan dibentuk. Bola ada di kaki
presiden.
Dibutuhkan ketekunan untuk
bisa menghayati masalah perubahan iklim. Fakta sederhana: jutaan warga
Indonesia kini terancam, baik langsung maupun tak langsung, oleh perluasan
sektor perkebunan. Sektor ini tidak akan menyumbang pada produk domestik
bruto (PDB) Indonesia masa depan karena tidak mendukung pembangunan berkelanjutan.
Paradigma pembangunan alternatif mencakup wilayah adat dan menghendaki
perbaikan nasib jutaan orang Indonesia di seputar hutan.
Suatu pembangunan
yang mengurangi konflik kepemilikan tanah. Paradigma yang menekankan
pentingnya menjaga keragaman hutan dan sistem pengelolaan tanah yang menjaga
keragaman spesies. Tujuan utama adalah keseimbangan ekonomi dan ekologi.
Paradigma konvensional
didasarkan pada pengolahan modal alam menjadi modal finansial, sering satu
arah. Arahnya adalah produksi satu jenis tumbuhan (monokultur) diintegrasikan
ke atas jadi bagian dari rantai suplai global. Paradigma lama menggantungkan
diri pada investasi modal besar dan buruh migran.
Kebijaksanaan tanah yang
dibenarkan pemerintah dalam pengembangan hutan selama ini berujung pada
kerusuhan. Industri hutan monokultur menerima subsidi langsung dari
pemerintah cukup besar serta penyumbang besar PDB melalui ekspor dan
penciptaan lapangan kerja. Namun, ongkos sosial dan ekologi dari agribisnis
skala besar tidak pernah diperhitungkan.
Kini yang kita perlukan
adalah keseimbangan antara pengelolaan tanah dan hutan emisi rendah karbon
oleh petani kecil, berdampingan dengan sektor perkebunan yang lebih
berkelanjutan. Namun, dewasa ini justru ada kampanye politik untuk mendorong
perilaku pemburu rente. Cara ini bergantung pada pertanian beremisi karbon
tinggi dan mengorbankan manajemen hutan berbasis masyarakat.
Kepemimpinan Presiden SBY
dapat mengubah haluan itu, dimulai dengan Badan REDD+ yang kokoh. Opsinya:
mendirikan Badan REDD+ yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden,
sesuai strategi nasional REDD+ yang baru diresmikan.
Badan akan memimpin
desain, pengawasan dan bila perlu implementasi program REDD+ nasional,
termasuk moratorium dua tahun. Juga mengoordinasikan semua inisiatif REDD+,
termasuk semua kontribusi internasional; mendirikan instrumen pendanaan;
menjamin langkah-langkah mengatasi konflik dan tuntutan kompensasi,
institusionalisasi, pelembagaan monitoring, pelaporan, dan verifikasi
pengaman REDD+; serta memperkuat institusi lokal untuk melaksanakan inisiatif
REDD+.
Peraturan presiden ini
akan menggerakkan semua tindakan tersebut di atas dan menjaga agar konsep ini
murni dari gangguan dan perubahan. Sejarah menunjukkan bahwa kepentingan
khusus berpengaruh dalam mengubah arah persepsi baru.
Bagi SBY, ini moment of
truth dalam melaksanakan peran kepemimpinannya melindungi bumi dari perusakan
hutan. Pemanasan global mungkin bisa dihindari dengan kepemimpinan kuat demi
manfaat generasi akan datang di seluruh dunia. Semua akan dimulai dengan
keputusan presiden membentuk Badan REDD+ yang tegar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar