Teror dan
Politik Terorisme
Muhammadun ; Analis Studi Politik pada Program
Pascasarjana UIN Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 06 November 2012
Teror terus datang dan bergentayangan di negeri ini. Belum usai
kasus teror di satu tempat, di tempat lain sudah muncul. Teror bukan lagi
sekadar “peristiwa”, melainkan sebuah skenario politik yang dimainkan secara
profesional, terencana dan sistematis.
Karena sebuah skenario, teror bukan saja
dimainkan para martir yang siap meledakkan bom dan siap bunuh diri, melainkan
sebuah gerakan politik yang didesain dengan sedemikian rupa untuk mencapai
target dan tujuan tertentu.
Jangan kaget ketika 11 September 2001
gedung WTC hancur, tiba-tiba Amerika Serikat hadir sebagai pahlawan yang
selalu menyuarakan akan melawan teror sampai akar-akarnya. Tetapi, di sisi
lain, Amerika akhirnya menjadi pelaku teror yang menghancurkan Afganistan dan
Irak.
Demikian juga di Indonesia. Ketika terjadi
teror di mana-mana, tiba-tiba saja berbagai kasus korupsi yang mendera elite
negeri ini lenyap dalam pemberitaan di media. Polisi yang kerap diberitakan
korupsi tiba-tiba menjadi pahlawan yang menangkap para teroris.
Teror dan terorisme sudah menjadi
“peristiwa politik” yang tidak bisa hanya dipahami sebagai tragedi kekerasan.
Ada kepentingan politik di balik berbagai tragedi teror yang masih datang
tanpa henti.
Mutiara Andalas dalam Terrorist Politic
(2010) melihat bahwa jaringan terorisme yang memperlihatkan diri di panggung
politik sebagai pembawa luka yang tak kenal kasihan untuk menumpahkan darah
dan menghadirkan tragedi kematian.
Mereka menciptakan teror antikemanusiaannya
dan berharap ketakutan yang diciptakan menjadi epifeni yang terus menggempur
ruang ketakutan publik. Politik yang dilakukan adalah menghilangkan
kedamaian, kenyamanan, ketenteraman, dan kesejukan.
Semua itu, bagi mereka, harus dihapuskan,
karena akan melanggengkan ketakutan dan memudahkan melakukan gerakan terorisme.
Ketakutan publik akan memudahkan
melancarkan politik teror; dan target korban akan gampang dipolitisasi
sehingga mampu menjinakkan media publik ke arah yang berbelokan. Politik
teror menghadirkan dunia penuh simpang siur karena di situlah terorisme berkembang
subur.
Di samping itu, terjadi ketakaburan politik
yang dijalankan dunia global saat ini. Kaum teroris takabur dalam berpolitik
dengan melakukan hegemoni ketakutan tanpa menginginkan dunia untuk damai dan
lestari. Hegemoni ketakutan inilah yang menjadi takabur politik sehingga
terorisme datang dengan penumpasan dan kegilaan pembunuhan.
Tragisnya lagi, takabur politik ternyata
juga disambut dengan takabur politik serupa, sehingga yang hadir dalam dunia
global saat ini adalah “perang kepentingan” yang dilancarkan bersamaan. AS
menjadi negara pengadang kaum teroris dengan cara yang hegemonik pula,
sehingga terjadilah perang besar yang mengorbankan kaum sipil yang tak mafhum
sedikit pun.
Berebut Ruang Publik
Arundhati Roy dalam Power Politics (2001:
131) menjelaskan bahwa isu terorisme bukanlah tentang kebaikan melawan
keburukan, atau Islam melawan Kristen, melainkan tentang perang memperebutkan
ruang publik. Isunya mengenai mengakomodasi keberagaman, mengenai pemenuhan
hasrat hegemoni, baik ekonomi, militer, bahasa, agama, maupun budaya.
Ekologis manapun akan memberi tahu kita
mengenai berbahaya dan rapuh sebuah kultur tunggal. Dunia hegemonik itu
laksana pemerintah tanpa oposisi sehat. Ia menjadi sejenis rezim diktator.
Ibaratnya menaruh dunia tanpa kantong plastik sehingga memutus pernapasan.
Suatu ketika, kantong plastik itu akan pecah.
Kultur tunggal yang hegemonik yang dipegang
kaum teroris merupakan akibat “ulah nakal” yang diagungkan dunia modern.
Globalisasi selain menyeberangkan cita-cita (migration of dream), globalisasi
juga menyeberangkan tragedi (migration of nightmare).
Walaupun awalnya terorisme menggema di AS
dan Afganistan, tetapi karena kultur global yang tunggal, akhirnya terorisme
juga hadir bukan saja ruang geografis yang terbatas, melainkan melampaui
struktur geografis yang dihuni penduduk bumi.
Efek domino politik menjadikan mereka
mendapatkan akses politis yang luar biasa di berbagai belahan dunia. Karena
mendapatkan serangan yang juga hegemonik dari AS, kaum teroris akhirnya juga
menjadi isu global yang mengancam seluruh penduduk dunia.
Teroris memang sedang menempuh jalan tragis
dalam hidupnya. Selalu saja ada klaim kebenaran yang dilancarkan untuk
melegitimasi kebiadaban kaum teroris. Sebagai pelaku, dalih agama selalu
dilekatkan dalam gerakan mereka.
Sementara itu, kalau dilihat dari sisi
korban, terorisme sama sekali bukanlah berdalih agama, karena merupakan jihad
yang membabi-buta. Ini justru melanggar doktrin agama. Bagi korban, terorisme
jelas merupakan tragedi kemanusiaan yang harus dijauhi dan diberantas oleh
negara bersama dengan masyarakat.
Negara dan masyarakat sudah saatnya
memberikan suguhan pembelaan rasa atas berbagai korban biadab yang bernama
terorisme. Suguhan pembelaan rasa akan menjadi keteduhan yang menenteramkan jiwa
para korban, sehingga bisa bangkit kembali mengangkat harkat dan martabat
hidup yang akan diperjuangkan.
Tugas selanjutnya bagi para komunitas
kebangsaan dan keagamaan adalah melakukan pembacaan kritis hermeneutis atas
teks agama dan kemudian disebarluaskan, sehingga teks agama tidak dijadikan
kedok jaringan terorisme yang sering kali menyelubungi aksi
antikemanusiaannya dengan baju teks kitab suci; kemudian mengangkat wacana
terorisme dan kemanusiaan sebagai tema kebangsaan untuk dialog antaragama.
Dialog lintas agama sangat penting untuk
menciptakan persepsi baru ihwal keindonesiaan, sehingga tercipta kerukunan
beragama tanpa harus mencurigai.
Jalan hidup tragis yang dilalui teroris
menjadi fakta yang harus segera dijawab dengan agenda tersebut. Sekarang
tinggal komitmen dan kekompakan para pemuka masyarakat dan agama untuk
bergandeng tangan dalam membangun arah masa depan peradaban dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar