Sabtu, 17 November 2012

Tarik Ulur BP Migas


Tarik Ulur BP Migas
Nugroho SBM ;  Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis,
Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (MIESP) Undip Semarang
SUARA MERDEKA, 17 November 2012


MAHKAMAH Konstitusi (MK) menyatakan keberadaan BP Migas, yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, bertentangan dengan UUD 1945, karena itu harus dibubarkan. Hakim konstitusi juga menilai BP Migas yang hanya mengatur industri hulu migas terpisah dari hilir (terjadi proses unbundling) justru lebih memperbesar peluang pihak asing menguasai industri migas Indonesia.

Keputusan MK kontan memicu pro dan kontra. Pihak yang kontra, terutama BP Migas,  menyatakan keputusan itu tidak tepat. Pertama; bila hendak membubarkan BP Migas seharusnya lebih dulu merevisi atau membatalkan UU Nomor 22 Tahun 2001 karena keberadaan BP Migas diatur dan merupakan amanat regulasi tersebut.

Kedua; pembubaran itu berisiko merugikan negara karena ada 302 kontrak karya atau kontrak kerja sama perminyakan yang menunggu persetujuan BP Migas. Nilai kontrak kerja sama  itu 70 miliar dolar AS atau setara Rp 630 triliun. Di samping kontrak yang menunggu penandatanganan, ada penundaan pemprosesan peralatan perusahaan minyak (rig) milik Niko Resources di Bea dan Cukai, yang berisiko merugikan perusahaan itu Rp 300.000 per hari.

Ketiga; pembubaran tersebut membuat nasib karyawan BP Migas tidak menentu. Keempat; menjadi preseden pembubaran badan/ lembaga yang lain, yang bisa menciptakan pandangan ada ketidakpastian iklim investasi di Indonesia.

Bila mengkaji secara kritis, ada beberapa hal yang benar sebagaimana disuarakan pihak yang kontra, yakni menyangkut revisi UU Nomor 22 Tahun 2001. Tetapi hal lain, seperti kerugian negara akibat kontrak yang akan datang yang harus ditandatangani BP Migas dan kerugian perusahaan migas karena ada peralatan tertahan di Bea dan Cukai, kurang bisa diterima.

Bila nanti pemerintah segera mengambil alih wewenang, dua hal itu pasti segera dapat ditanggulangi. Kontrak yang sudah ada pun tak akan dibatalkan karena ada adagium tentang kesucian kontrak.

Dikuasai Asing    

Penulis lebih setuju dengan apa yang disampaikan pihak yang propembubaran BP Migas. Pertama; pemisahan industri hulu yang ditangani BP Migas dan hilir oleh Pertamina memang membuat industri migas terpecah (unbundling). Keterpecahan ini membuat pihak asing mudah melakukan rekayasa untuk menguasai industri migas Indonesia.

Dengan membubarkan BP Migas dan menarik urusan hulu ke pemerintah maka pemerintah menguasai kembali industri migas sebagai satu kesatuan sehingga penguasaan asing atas industri migas Indonesia bisa dicegah.

Kedua; keberadaan BP Migas yang merupakan semacam badan swasta, mewakili pemerintah dalam penandatangan kontrak karya perminyakan, telah menurunkan derajat pemerintah. Penurunan derajat ini berarti menurunkan kedaulatan negara atas penguasaan negara terhadap sumber-sumber daya migas sehingga bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Ketiga;  biaya pengelolaan migas di bawah BP Migas ternyata dari waktu ke waktu mengalami kenaikan sehingga mencerminkan inefisensi. Inefisiensi tersebut masih ditambah dengan gaji tinggi para pegawai BP Migas. Beberapa kesaksian menyatakan gaya hidup beberapa direksi sangat mewah.  

Sebenarnya ada harapan lebih besar setelah pembubaran BP Migas yang salah satu tujuannya mengembalikan kedaulatan negara atas pengelolaan migas. Pembubaran BP Migas mungkin baru langkah awal. Langkah berikutnya yang lebih progresif adalah merenegosiasi kontrak dan menasionalisasi pengelolaan migas.

Mengenai nasionalisasi, Indonesia bisa belajar dari Venezuela dan Argentina. Tahun 2007, Venezuela di bawah Presiden Hugo Chavez menasionalisasi beberapa perusahaan asing di berbagai sektor, seperti perbankan, semen, dan migas.

Contoh terbaru adalah Argentina di bawah Presiden Christina Fernandez. Pada 16 April 2012,  Kirchner mengumumkan nasionalisasi  saham Repsol (Spanyol) di perusahaan minyak Argentina, Yacimientos Petroliferos Fiscales (YPF).

YPF adalah BUMN Argentina yang diprivatisasi tahun 1999 dan 57% saham (ketika itu)  dibeli Repsol. Dengan nasionalisasi, pemerintah Argentina mengambil alih 51% saham Repsol sehingga kepemilikan Repsol di YPF tinggal 6%. Dari 51% saham yang diambil alih tersebut , 49% dibagikan ke tiap-tiap provinsi melalui Organisasi Federal Produsen Minyak Negara.

Seperti diduga, langkah Kirchner mendapat kecaman dari lembaga-lembaga internasional seperti Uni Eropa, Bank Dunia, IMF, dan sejumlah negara Barat. Uni Eropa mengatakan langkah Kirchner telah mengirimkan sinyal buruk kepada investor asing. Hal yang sama dikemukakan juru bicara Kemenlu AS dan Presiden Bank Dunia.

Bahkan pemerintah Spanyol menyatakan akan menggugat Argentina ke Pengadilan atau Lembaga Arbitrase Internasional dan meminta ganti rugi 10,5 miliar dolar AS. Namun Kirchner bersikukuh dan percaya diri dengan kebijakannya. Ia merasa melakukan langkah benar dan didukung rakyat dan parlemen karena kebijakan tersebut didukung undang-undang yang disahkan oleh parlemen.

Menurut Kirchner, selama ini Argentina sebagai pemilik cadangan migas besar justru dirugikan oleh kontrak kerja sama pengelolaan migas. Bagi hasil atau royalti yang diterima sangat kecil sehingga tak mampu membayar utang luar negeri Argentina yang sangat besar dan mengentaskan jumlah penduduk miskin yang juga berjumlah sangat besar. Demikian pula Argentina  justru saat ini malah mengimpor minyak, padahal dulu pengekspor.

Langkah nasionalisasi ini bukanlah hal mustahil bagi Indonesia karena sudah punya pengalaman pada zaman Orla semasa pemerintahan Soekarno. Waktu itu Soekarno menasionalisasi perusahaan perminyakan milik Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat. Kemudian lahir UU Nomor 44 Tahun 1960 yang menyatakan bahwa eksploitasi migas hanya diselenggarakan oleh negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar