Senin, 19 November 2012

Tajdid Gelombang Kedua


Tajdid Gelombang Kedua
Benni Setiawan ;   Wakil Sekretaris Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, dosen Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
SUARA MERDEKA, 19 November 2012


TANGGAL 18 November 2012 persyarikatan Muhammadiyah genap berusia satu abad. Perhitungan ini didasarkan kalender miladiyah. Walaupun tidak diperingati secara mewah, spirit pembaruan ala Muhammadiyah tetap menjadi roh gerakan ini.
Menapaki jejak abad kedua, Muhammadiyah masih menyimpan segudang persoalan. Meminjam istilah Haedar Nashir (2011), Muhammadiyah pada abad kedua perjalanannya menghadapi zaman baru kehidupan pascamodern (post-modernism). Kehidupan modern tahap lanjut tersebut sarat dengan perkembangan dan perubahan yang spektakuler dalam berbagai bidang.

Muhammadiyah sebagai bagian dari bangsa berada pada pusaran dinamika globalisasi yang membawa ideologi kapitalisme dan neoliberalisme global. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana Muhammadiyah memberikan kontribusi nyata di tengah perubahan zaman yang makin cepat?

Muhammadiyah dengan cita-cita mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dan mendirikan Islam sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi semua), yang memerlukan transformasi baru dalam aktualisasi gerakannya di berbagai bidang kehidupan. Di sinilah pentingnya aktualisasi ideologi modernisme reformisme Islam dalam gerakan dakwah dan tajdid gelombang kedua yang secara niscaya diperlukan oleh Muhammadiyah dalam memasuki abad baru yang penuh tantangan tersebut.

Muhammadiyah memiliki potensi dan modal dasar yang kuat untuk memasuki abad kedua melalui gerakan pencerahan. Muhammadiyah diharapkan terus berkiprah untuk pencerahan dan kemajuan bangsa, serta mampu menjadikan gerakan Islam kosmopolitan yang membawa Islam sebagai rahmat bagi semesta kehidupan.
Dengan pandangan Islam yang berkemajuan, sumber daya manusia yang berkualitas, kepercayaan masyarakat yang cukup tinggi, pengalaman sosial yang panjang, dan modal sosial yang luar biasa Muhammadiyah akan mampu menjadi kekuatan pencerahan di negeri ini.

Kini dalam memasuki perjalanan abad kedua, tuntutannya adalah bagaimana segenap anggota, terutama kader pimpinan Muhammadiyah, memanfaatkan dan memobilisasi seluruh potensi dan sistem gerakannya untuk tampil menjadi gerakan Islam modern yang unggul dalam segala lapangan kehidupan.

Melalui gerakan pencerahan yang membawa misi dakwah dan tajdid yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan di tengah dinamikan abad modern tahap lanjut yang sarat tantangan, Muhammadiyah dituntut melakukan transformasi pemikiran dan gerakan praksisnya di segala bidang yang selama ini diperankan plus bidang-bidang baru yang dikembangkannya.

Pembaruan Kedua

Terkait dengan transformasi di bidang pemikiran, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan usaha-usaha lain yang bersifat unggul dan terobosan, Muhammadiyah dituntut untuk terus berkiprah dengan inovatif. Pembaruan gelombang kedua menjadi keniscayaan bagi Muhammadiyah dalam memasuki fase itu. Di sinilah pentingnya transformasi dakwah dan tajdid, yakni melakukan perubahan-perubahan pandangan dan strategi dakwah dan tajdid yang lebih mendasar dan memiliki kekayaan pemikiran dan model-model praksis (aksi berbasis refleksi) yang bersifat alternatif (Haedar Nashir, 2011).

Salah satunya melalui gerakan pengkajian makna Alquran atau pengembangkan tafsir ayat. Selama ini, Muhammadiyah, meminjam istilah Dawam Rahardjo (2010) mandek dalam proses pengembangan kajian Alquran (teologi). Muhammadiyah belum beranjak dari 23 tafsir ayat ala Kiai Ahmad Dahlan.

Jika ingin tetap berada di garda terdepan gerakan pembaruan, menurut Dawam, Muhammadiyah perlu melahirkan satu karya tafsir Alquran yang komprehensif. Dawam menyebut misalnya, Ahmadiyah, Mirza Gulam Ahmad mengarang kitab tafsir yang tebal. Sementara Khalifah Kedua Ahmadiyah Basyiruddin Mahmud Ahmad, mengarang kitab tafsir yang monumental setebal lima jilid beserta ringkasannya. Dari gerakan Ahmadiyah Lahore juga lahir tafsir The Holy Qur'an  karya Muhammad Ali.

Maka dari itu, guna makin meneguhkan gerakan pencerahan (tajdid) Muhammadiyah perlu memikirkan kritikan Dawam Rahardjo. Dengan pemaknaan atas dasar tafsir teks Alquran, Muhammadiyah akan makin kokoh dalam mengembangkan sayap dakwah. Muhammadiyah akan terjauh dari stigma Wahabi yang selama ini seakan melekat dengan gerakan yang didirikan di Yogyakarta ini. Muhammadiyah pun tidak mudah disusupi gerakan-gerakan Islam transnasional yang merangsek dalam tubuh persyarikatan.

Pada akhirnya, Muhammadiyah dengan segala potensi yang melimpah perlu kembali mengokohkan diri sebagai gerakan pembaruan. Gerakan pembaruan merupakan spirit atau roh utama persyarikatan. Tanpa visi pembaruan Muhammadiyah akan berat menghadapi perubahan zaman yang makin cepat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar