Rabu, 21 November 2012

Solusi Permanen Migas


Solusi Permanen Migas
Kurtubi ;  Alumnus Colorado School of Mines, Denver, dan Ecole Nationale Superieure du Petrole et des Moteurs, Paris
KOMPAS, 20 November 2012

Berawal dari krisis moneter yang dialami Indonesia tahun 1998, Indonesia ”terpaksa” mencari pinjaman dari Dana Moneter Internasional dengan segala konsekuensinya. Dalam letter of intent (LOI), IMF meminta Indonesia mengganti peraturan perundang-undangan di bidang energi/ migas yang berlaku saat itu, yakni UU No 8/1971, agar pintu liberalisasi dibuka. Diajukanlah RUU Migas kepada DPR pada 1999 oleh Kuntoro Mangkusubroto, Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) pada era Presiden BJ Habibie. Namun, RUU itu ditolak DPR. Terjadi pergantian kepemimpinan nasional. Habibie lengser dan diganti Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Presiden boleh berganti, tetapi LOI-IMF harus dilaksanakan. RUU Migas yang sudah terkubur karena ditolak DPR bangkit kembali, semacam ”zombie” dalam wujud ”RUU Migas Jilid II” yang diajukan kepada DPR lewat Sekretariat Negara oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Mentamben pada era Gus Dur. Namun, RUU Migas belum sempat dibahas di DPR, Gus Dur mengganti SBY dengan Purnomo Yusgiantoro sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Setelah melewati pembahasan alot di DPR, khususnya di Komisi Energi yang diketuai Irwan Prayitno (kini Gubernur Sumatera Barat), akhirnya Purnomo berhasil meloloskan RUU Migas Jilid II dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR AM Fatwa pada era Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2001. Sejak disahkan menjadi UU Migas No 22/2001, UU ini telah diimplementasikan oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro selama sekitar 8 tahun, dilanjutkan Menteri ESDM Darwin Zahedi Saleh dan kini oleh Menteri ESDM Jero Wacik di bawah Presiden SBY.

Substansi Isi UU Migas No 22/2001

Substansi pokok UU Migas No 22/2001 adalah dihilangkannya penguasaan/ kedaulatan dan kepemilikan negara atas aset/kekayaan sumber daya alam migas serta diserahkannya pemenuhan kebutuhan bahan bakar minyak dan gas dalam negeri berikut harga jualnya sepenuhnya pada mekanisme pasar. Pemerintah diarahkan untuk berperan sebagai regulator dan pengawas yang baik dan fair.

Untuk menghilangkan penguasaan/kedaulatan dan kepemilikan negara atas sumber daya migas, kuasa pertambangan (KP) yang menurut UU No 8/1971 diamanatkan/diserahkan kepada BUMN (Pertamina), dengan UU Migas No 22/2001 Pasal 4 Ayat 2 dicabut dari Pertamina dan dikembalikan ke pemerintah (cq menteri teknis). Pemerintah sebagai pemegang KP, lalu membentuk BP Migas (Pasal 4 Ayat 3) yang ditugasi mewakili pemerintah menandatangani kontrak dengan perusahaan asing/swasta. Namun, anehnya KP tak diberikan kepada BP Migas. Dengan trik/ tipuan hukum, KP yang sudah dipegang menteri justru oleh menteri diserahkan kepada perusahaan asing/swasta lewat Pasal 12 Ayat 3 dan Pasal 1 Ayat 5.

Rakyat Indonesia sepatutnya berterima kasih kepada Serikat Pekerja Pertamina yang mengajukan uji materi atas UU Migas ke Mahkamah Konstitusi tahun 2004 sehingga MK memutuskan mencabut Pasal 12 Ayat 3 tentang KP ke asing itu.
Namun, kendati Pasal 12 Ayat 3 sudah dicabut, risiko hilangnya kedaulatan dan kepemilikan negara atas aset/kekayaan migas nasional tetap menganga. Sebab, BP Migas mewakili pemerintah dalam menandatangani kontrak dengan perusahaan asing/swasta. Sementara BP Migas merupakan lembaga/bagian dari pemerintah yang tak mempunyai aset (yang sebanding) dengan partner kontraknya. BP Migas bukan entitas bisnis milik negara, melainkan berbentuk badan hukum milik negara yang sengaja didesain dengan tidak memiliki Dewan Komisaris/Majelis Wali Amanat. BP Migas dibiayai oleh uang negara yang dianggarkan Menteri Keuangan. Dengan demikian, hubungan BP Migas dengan partner kontraknya bukanlah hubungan perdata karena yang menjadi obyek kontraknya adalah aset/harta milik publik/negara.

Karena itu, dengan UU Migas, pola hubungan dengan perusahaan asing/swasta menjadi pola business to government (B to G). Pola ini menghilangkan kedaulatan negara dan aset pemerintah di luar negeri berisiko terekspos dan dapat disita partner kontrak BP Migas jika, misalnya, pengadilan/arbitrase internasional memutuskan BP Migas kalah dalam suatu perkara.

Meski dalam negeri kita sangat membutuhkan gas dan gas yang dikembangkan atas dasar UU Migas dari Papua dijual dengan harga sangat murah ke luar negeri, pemerintah/BP Migas tak berdaya dan tak berani (karena kedaulatan telah hilang) untuk mengalihkan pengapalan LNG dari Papua ke China menjadi ke dalam negeri. Sebagai gambaran, potensi kerugian akibat penjualan gas secara murah ke China sekitar Rp 30 triliun per tahun, sementara kerugian karena tak dialokasikannya gas dari train 1 dan 2 LNG Tangguh ke dalam negeri—yang antara lain menyebabkan PLN harus beralih ke BBM—mencapai sekitar Rp 37 triliun dalam dua tahun.

Jika benar seandainya pemerintah tetap berdaulat atas aset/kekayaan migas nasional seperti yang diklaim dalam iklan UU Migas di berbagai media, seharusnya pengapalan LNG ke China bisa dialihkan untuk memenuhi keperluan dalam negeri. Dengan begitu, PLN tak perlu pindah ke BBM dan gas milik negara tak harus diekspor dengan harga sangat murah. Yang terjadi hingga saat ini, tidak satu pun pengapalan LNG dari Papua ke China yang dialihkan untuk keperluan dalam negeri.

Selain kedaulatan telah hilang, sejak berlakunya UU Migas, kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan di blok baru mengalami anjlok secara drastis sehingga lifting atau produksi minyak terus anjlok karena penemuan sangat langka, padahal potensi sumber daya migas di perut bumi masih sangat besar. Ini terjadi karena kehadiran BP Migas telah menyebabkan sistem perminyakan nasional menjadi sangat ribet dan birokratik.

Kehadiran BP Migas juga telah menciptakan inefisiensi yang sistemik karena organisasi BP Migas didesain tanpa adanya Dewan Komisaris/Majelis Wali Amanat. Ini diperburuk oleh sistem yang tak akuntabel dan tak transparan. Padahal, BP Migas mengontrol cost recovery yang dibayar negara ke perusahaan asing yang nilainya kini sekitar 18 miliar dollar AS (Rp 170 triliun) per tahun serta aset berupa alat-alat/benda modal yang dibeli dari dana cost recovery yang nilainya menurut KPK sekitar Rp 115 triliun. Semua itu keberadaannya juga tidak jelas.

Keputusan Pembubaran

Keputusan MK No 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November yang membubarkan BP Migas merupakan langkah yang sangat tepat karena kehadiran BP Migas telah menghilangkan kedaulatan negara dan merugikan negara secara finansial. MK juga memutuskan bahwa semua pasal-pasal UU Migas yang mengandung frasa ”Badan Pelaksana”, seperti Pasal 11 Ayat 1, Pasal 20 Ayat 3, Pasal 21 Ayat 1, dan Pasal 49, dinyatakan tak berlaku. MK juga memutuskan, Pasal 1 Angka 23, Pasal 4 Ayat 3, Pasal 41 Ayat 2, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 Ayat 1, Pasal 59 Huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 dari UU Migas No 22/2001 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam merespons pembubaran BP Migas, Presiden SBY bertindak cepat dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No 95/ 2012 tentang Pengalihan Tugas dan Fungsi Usaha Hulu Migas dari BP Migas ke Satuan Kerja Sementara Usaha Hulu Migas (SKSUHM) yang langsung di bawah koordinasi Menteri ESDM. Segala kontrak yang dibuat BP Migas tetap berlaku.

Perpres ini harus dilihat sebagai solusi yang sangat sementara karena SKSUHM yang menggantikan BP Migas berbentuk dan berstatus mirip BP Migas yang merupakan lembaga pemerintah, bukan merupakan entitas bisnis. Dengan demikian, kelemahan yang ada pada BP Migas masih melekat pada diri SKSUHM.

Menuju Solusi Permanen

Ke depan, perlu dicari solusi permanen. Di sektor tambang, model kontrak karya berdasarkan UU No 11/1967 di mana pemerintah berkontrak langsung dengan perusahaan asing/swasta jelas bukan merupakan model yang baik. Pemerintah kehilangan kekuasaan untuk sekadar menaikkan royalti. Demikian juga rezim izin usaha pertambangan (IUP) berdasarkan UU Minerba No 4/2009 di mana pemerintah/bupati berhubungan/bernegosiasi langsung dengan perusahaan asing/swasta dalam memberikan izin usaha pertambangan/konsesi. Kasus Churchil yang menuntut pemerintah Rp 18 triliun adalah bukti bahwa rezim IUP merugikan negara karena masih termasuk berpola ”B to G” meski hubungannya vertikal. Rezim IUP serupa dengan rezim ”konsesi” yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda kepada perusahaan tambang berdasarkan Indische Mijnwet tahun 1899.

Untuk itu, kiranya akan lebih bijaksana apabila Perpres No 95/2012 disempurnakan dengan perpres baru atau dengan peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu) yang seyogianya merupakan cikal bakal dari solusi final yang nantinya akan diatur oleh UU yang baru tentang migas yang akan dibuat oleh DPR dan pemerintah. Terlebih, selain MK memutuskan pembubaran BP Migas, MK juga telah mencabut beberapa pasal yang lain, termasuk Pasal 61 dan 63 yang mengatur peralihan dari Pertamina ke BP Migas pada saat UU Migas mulai berlaku.

Solusi untuk mengalihkan tugas dan fungsi BP Migas ke Pertamina jauh lebih efisien, rasional, konstitusional, dan bisa membuka peluang pemanfaatan aset/kekayaan migas untuk melunasi utang negara (Rp 1.900 triliun) dan sebagai sumber pembiayaan infrastruktur secara masif dengan jalan memonetisasi aset berupa cadangan terbukti (proved reserves) migas yang ada di perut bumi. 

Kebijakan ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan sifat dari cadangan terbukti migas (dan bahan tambang mineral dan batubara) yang dapat menjadi agunan lewat sistem perbankan (bankable), dan sifat dari aset cadangan terbukti yang dapat diperdagangkan (tradeable) melalui sistem pasar modal/pasar komoditas meski keberadaan komoditasnya masih di perut bumi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar