Saling Ancam
Buruh-Pengusaha
Rahmat Pramulya ; Dosen dan
Peneliti di Universitas Teuku Umar,
Meulaboh, Aceh Barat
|
SUARA
KARYA, 13 November 2012
Tebar
ancaman terjadi antara buruh dan pengusaha. Buruh terus memperjuangkan segala
kepentingannya mulai dari standar hidup layak, upah besar, kepastian kerja,
hingga kesejahteraan yang lebih baik. Demonstrasi sering menjadi jalan pintas
untuk menuntut pengusaha dan pemerintah. Mogok kerja juga bergulir sebagai
langkah lain yang menunjukkan aksi protes. Lembaga tripartit (pengusaha,
buruh, pemerintah) tak lagi bisa diharapkan.
Pengusaha
pun akhirnya balas mengancam. Mogok industri! Jika ini terjadi maka segala
kegiatan produksi akan terhenti, tak ada barang produksi, buruh menganggur,
tak ada pendapatan/upah. Maka goncangan ekonomi akan melanda negeri ini.
Mengapa
soal upah, buruh sering bergejolak? Begitu pelikkah soal upah? Dimana
sejatinya posisi buruh diletakkan dalam konteks pembangunan dan
industrialisasi?
Dalam
pertemuan Industrial Relation Research Association di Boston, Amerika Serikat
(2000), Joseph Stiglitz menyampaikan kritik atas cara pandang para ekonom
liberal yang melihat buruh sebagai alat produksi semata. Stiglitz menyarankan
cara pandang baru yang lebih memuliakan buruh, baik melihat buruh sebagai
pemangku kepentingan maupun jasa buruh menciptakan masyarakat madani dan
standarisasi pekerja. Kritik tersebut dilontarkan Stiglitz lantaran besarnya
tekanan terhadap buruh dalam relasi dengan negara dan pasar yang selama ini
terjadi.
Menjadi
buruh (karyawan rendahan) tentu bukan impian. Tingginya jumlah buruh tidak
berarti profesi ini disukai oleh banyak orang. Ini lantaran pekerjaan sebagai
buruh tidak menyediakan kehidupan yang layak. Upah rendah, kondisi kerja
buruk, jam kerja kelewat panjang, jaminan sosial tidak memadai, jaminan hukum
tidak pasti, jaminan kesehatan dan mutu keselamatan kerja yang jauh dari
kondisi ideal masih menjadi masalah. Peraturan perundangan yang ada justru
kian mempersempit ruang gerak perjuangan nasib buruh dan kian berorientasi
pada stabilitas produksi yang menguntungkan pemerintah dan pengusaha.
Selama
ini buruh tidak ditempatkan sebagai salah satu elemen penting dalam proses
produksi yang harus diperhatikan hak-haknya, akan tetapi ditempatkan sebagai
sekedar skrup dari mesin produksi. Tuntutan kenaikan upah buruh sering
berbenturan dengan kepentingan "upah rendah sebagai keuntungan
komparatif".
Upah
rendah justru dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan dalam rangka
maksimalisasi rente atau keuntungan. Oleh karena itu posisi buruh menjadi
lemah. "Pahlawan industri" ini pun terus tergoyang kesejahteraannya
lantaran berbagai perubahan baik dalam konteks relasinya dengan perusahaan
maupun adanya perubahan regulasi.
Soal
yang seringkali menjadi perdebatan adalah menjadi tanggung jawab siapa
kesejahteraan buruh. Perusahaankah atau pemerintah?
Buruh
adalah tenaga kerja yang bekerja pada pihak perusahaan. Kewajiban buruh adalah
bekerja melaksanakan tugasnya sesuai dengan deskripsi tugas kerja yang telah
ia sepakati bersama pihak perusahaan dan ia berhak mendapatkan upah yang
besarnya sesuai dengan kesepakatan. Di luar upah yang telah disepakati dalam
transaksi kontrak kerja, mestinya buruh tidak berhak untuk menuntut
perkara-perkara lain yang berkaitan dengan kesejahteraan hidupnya dan
keluarganya.
Idealnya
pengusaha hanya dituntut tanggung jawab sebatas membayar upah yang telah
dijanjikan atau disepakatinya. Akan menjadi sulit jika pengusaha dituntut
untuk memikul beban jaminan sosial para karyawannya. Sebab jaminan sosial
terkait dengan masalah kesejahteraan.
Jika
telah berbicara masalah kesejahteraan, maka negaralah pihak yang harus
bertanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan hidup bagi warga negaranya
(termasuk dalam hal ini buruh). Dengan tidak dibebani urusan jaminan sosial
ini, diharapkan perusahaan dapat bekerja lebih tenang dan lancar sehingga
aktivitas ekonomi akan mengalami pertumbuhan yang lebih baik.
Dua
masalah yang menjadi beban hidup para buruh selain sandang, pangan, papan
adalah pendanaan pendidikan dan kesehatan. Tuntutan kebutuhan sosial yang
berbentuk biaya anak sekolah mahal, biaya dokter dan rumah sakit serta obat
mahal, dan lain sebagainya itu mau tidak mau sering mendesak mereka
berdemonstrasi menuntut kenaikan gaji.
Padahal
sejatinya dua hal tersebut merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang harus
dipenuhi negara. Sebab kedua sektor vital itu termasuk dalam kategori
pemeliharaan "kemashlahatan" umum. Negaralah yang harus menjamin
seluruh fasilitas kesehatan dan pendidikan yang memadai sehingga dapat
dinikmati oleh seluruh warga negara (termasuk dalam hal ini para buruh).
Demikian
pula pendidikan, negara mestinya yang harus bertanggung jawab mengadakan dan
menanganinya agar pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh rakyat tanpa mereka
dibebani dengan momok berupa mahalnya biaya pendidikan seperti yang saat ini
kita rasakan.
Namun
pada kenyataannya, selama ini pemerintah tidak menjadikan urusan jaminan kesejahteraan
masyarakat sebagai tanggung jawab negara, melainkan juga sebagai tanggung
jawab lembaga-lembaga non-pemerintah seperti yayasan-yayasan, juga
perusahaan-perusahaan. Merekalah yang men-support keterbatasan pemerintah
dalam urusan tersebut.
Hak atas pendidikan
yang layak, kesehatan, kesejahteraan hidup, dan lain-lain dibebankan oleh
negara kepada perusahaan. Setidaknya perusahaan harus bertanggung jawab
terhadap kesejahteraan buruhnya, seperti hak memperoleh pendidikan dan
kesehatan, hak cuti, bahkan setelah keluar pun (baik akibat PHK atau
mengundurkan diri) para buruh menuntut uang penghargaan, ganti rugi dan
lain-lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar