Putusan MK dan
Kepemilikan Televisi
Amir Effendi Siregar ; Ketua
Dewan Pimpinan Serikat Perusahaan Pers Pusat
|
KORAN
TEMPO, 28 November 2012
Yang menarik lagi, dari
sembilan hakim konstitusi, dua hakim mempunyai pendapat berbeda. Yang pertama
adalah hakim konstitusi Achmad Sodiki, yang menyatakan bahwa seharusnya
permohonan dikabulkan karena para pemohon menuntut agar kebijakan tentang
penyiaran yang mengarah pada pemusatan kepemilikan dan penguasaan monopoli
ini dihentikan, atau setidak-tidaknya dimaknai lebih jelas dan adil.
Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) tertanggal 3 Oktober 2012 terhadap permohonan Koalisi
Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) tentang tafsir konstitusional
atas pemusatan kepemilikan televisi dan jual-beli izin penyelenggaraan
penyiaran (IPP) menarik dan unik. MK menolak permohonan KIDP. Namun, ketika
membaca pertimbangan hukumnya, secara implisit mereka "menerima".
MK menolak memberi tafsir, tapi sebenarnya memberi tafsir.
KIDP berpendapat, kini
telah terjadi konsentrasi kepemilikan lembaga penyiaran swasta (LPS) televisi
yang tidak sehat. MNC memiliki dan menguasai RCTI, Global TV, dan MNC TV/TPI
dengan jaringan di daerah. Demikian juga Emtek, yang menguasai SCTV dan
Indosiar. Trans Corp menguasai Trans TV dan Trans 7. Visi Media Asia (Viva)
menguasai ANTV dan TV One. Metro TV, meskipun berdiri sendiri, sangat dekat
dengan MNC karena kesamaan pandangan politik pemiliknya. Sekitar 218 LPS yang
jumlahnya sekitar 300 dikuasai oleh lima kelompok usaha tersebut.
Inilah yang terjadi,
sebuah pergeseran dari suatu sistem otoriter Orde Baru yang dikontrol oleh
negara ke dalam sistem baru yang dikontrol oleh kapital, atau disebut
otoritarianisme kapital. Keanekaragaman kepemilikan dan isi terancam.
Kebebasan sekadar menjadi lip service untuk membangun konsentrasi. Kolaborasi
kekuasaan dan kapital terjadi untuk keuntungan ekonomi dan politik para
elite. Demokrasi bisa jadi hanya mimpi.
Menurut KIDP, hal itu
dilakukan karena, antara lain, adanya multitafsir, manipulasi tafsir, dan
salah tafsir oleh LPS terhadap undang-undang, sehingga bertentangan dengan
UUD 1945. Seharusnya, menurut KIDP, seseorang atau sebuah badan hukum dalam
bentuk apa pun boleh memiliki banyak LPS di berbagai wilayah, tapi hanya
boleh memiliki satu LPS di satu cakupan wilayah siaran. Selanjutnya izin
tidak boleh dipindahtangankan lewat jual-beli saham dominan karena juga akan
menyebabkan pemusatan kepemilikan.
Itulah sebabnya, KIDP,
yang diwakili oleh AJI Indonesia, AJI Jakarta, Media Link, Yayasan 28, serta
Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), mengajukan permohonan agar
MK memberi tafsir konstitusional atas UU Penyiaran Pasal 18 ayat 1: Pemusatan
kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu
badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran,
dibatasi. Pasal 34 ayat 4: Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang
dipindahtangankan kepada pihak lain. IPP yang diberikan kepada badan hukum
tertentu dijual atau dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan
lain.
MK menolak permohonan KIDP
karena, menurut MK, dalam pertimbangan hukumnya tidak terdapat multitafsir.
Penafsirannya telah jelas dijelaskan oleh PP Nomor 50/2005 tentang LPS yang,
antara lain, mengutip Pasal 32 ayat 1: Pemusatan kepemilikan dan penguasaan
Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi oleh 1 (satu) orang atau 1
(satu) badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah
siaran, di seluruh wilayah Indonesia dibatasi sebagai berikut: a. 1 (satu)
badan hukum paling banyak memiliki 2 (dua) izin penyelenggaraan penyiaran
jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di 2 (dua) provinsi yang berbeda; b.
Paling banyak memiliki saham sebesar 100% (seratus perseratus) pada badan
hukum ke-1 (kesatu); c. Paling banyak memiliki saham sebesar 49% (empat puluh
sembilan perseratus) pada badan hukum ke-2 (kedua); dan seterusnya.
Menurut MK, dengan
pembatasan tersebut, berarti tidak seorang pun atau tidak satu pun badan
hukum yang dapat memiliki LPS melebihi batas kepemilikan dengan penguasaan
langsung atau tidak langsung. Pemerintah harus mampu menelusuri kepemilikan
saham, baik langsung maupun tidak langsung. Bila dalam tataran praktek
terjadi penyimpangan, itu adalah persoalan implementasi norma yang bukan
masalah konstitusionalitas.
Demikian juga UU Penyiaran
Pasal 34 ayat 4, tidak terdapat multitafsir. Mengingatkan bahwa, dalam
implementasi norma undang-undang terkait dengan pemindahtanganan IPP,
pemerintah bersama KPI harus secara konsisten menegakkan segala syarat serta
ketentuan dalam undang-undang. Hal ini juga merupakan masalah implementasi
norma.
Yang menarik lagi, dari
sembilan hakim konstitusi, dua hakim mempunyai pendapat berbeda. Yang pertama
adalah hakim konstitusi Achmad Sodiki, yang menyatakan bahwa seharusnya
permohonan dikabulkan, karena para pemohon menuntut agar kebijakan tentang
penyiaran yang mengarah pada pemusatan kepemilikan dan penguasaan monopoli
ini dihentikan, atau setidak-tidaknya dimaknai lebih jelas dan adil. Pers
dalam demokrasi harus menjunjung tiga nilai pokok, yaitu nilai kebebasan,
nilai kesetaraan, dan nilai keadilan.
Selanjutnya hakim Sodiki
mengatakan, penyiaran menjadi kancah perebutan sumber daya ekonomi di ruang
publik. Menjadi komoditas yang menggiurkan. Jika unsur di atas tidak bisa
diwujudkan, akan dapat menggeser proses demokratisasi yang substantif.
Artinya, informasi ditentukan oleh besaran kapital yang dimiliki oleh
seseorang atau badan hukum tertentu. Karena itu, Pasal 18 ayat 1 UU Penyiaran
yang dapat dimaknai sebagai proses atau hasil monopoli seharusnya dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945. Hakim Sodiki juga menyatakan bahwa
pemindahtanganan tidak boleh merupakan pemusatan kepemilikan LPS oleh satu
badan hukum, baik terbuka maupun terselubung.
Berikutnya hakim
konstitusi Harjono berpendapat, MK menyatakan bahwa Pasal 18 ayat 1 UU
32/2002 tentang penyiaran adalah konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai
bahwa kepemilikan perorangan, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap
saham LPS harus dibatasi.
Sementara itu, terdapat
pihak yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh MK melewati batas
kewenangannya karena mengutip PP sebagai tafsir sekaligus memberi tafsir
terhadap PP. Hal itu seharusnya menjadi wewenang MA. Tadinya saya pun menduga
bahwa MK akan berani memberikan terobosan dengan melakukan tafsir sendiri
berdasarkan kewenangannya, sekaligus memberikan waktu untuk LPS menyesuaikan
diri.
Namun kini, setelah sidang
berjalan setahun, MK telah mengeluarkan putusan yang harus dihargai dan tidak
bisa diganggu gugat. Pemerintah harus secara cepat menangkap pesan yang
disampaikan oleh MK untuk menata dunia penyiaran agar sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Atau siapa pun, bila
merasa dirugikan, dapat mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap institusi
negara ataupun swasta yang dianggap melakukan pembiaran dan pelanggaran
hukum. Untuk itu, perlu sumber daya manusia dan biaya serta waktu yang lama.
Bisakah berharap pada pengadilan?
Jalan berikutnya adalah seluruh kelompok
masyarakat sipil mengawal RUU Penyiaran inisiatif DPR yang sudah disahkan
pada 23 Oktober 2012. RUU ini relatif bagus dan demokratis meskipun masih
terdapat hal yang perlu diperbaiki. RUU memberikan waktu penyesuaian selama 3
tahun untuk televisi. Namun, bila terdapat gejala, bahwa UU Penyiaran yang
baru nanti akan lebih buruk dan melanggengkan konsentrasi, sebaiknya dari
sekarang gugatan dan tekanan perlu dilakukan, termasuk terhadap pemerintah.
Jalan terbaik memang harus dicari untuk kepentingan bangsa dan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar