Kamis, 01 November 2012

Peran Mediator Otoritatif


Peran Mediator Otoritatif
Prasetijo Ichtiarto ;  PNS di Salatiga, Partisipan Pelatihan Mediator
SUARA MERDEKA, 31 Oktober 2012
  

TENSI perseteruan antara Polri dan KPK kembali menghangat setelah Korps Lalu Lintas (Korlantas) mengugat secara perdata komisi antikorupsi itu sehubungan penyitaan sejumlah dokumen (SM, 27/10/12). Kepala Korlantas Irjen Puji Hartanto berdalih tak semua dokumen yang disita itu berkait dengan kasus simulator SIM. Ia khawatir pelayanan di institusinya terganggu bila KPK tak segera mengembalikan dokumen itu.

Penulis tak akan mengkaji materi kasus itu tetapi lebih membedah peran SBY sebagai mediator. Pasalnya, langkah SBY memiliki pengaruh lebih luas, bukan hanya menyangkut Polri dan KPK melainkan juga lembaga legislatif, yakni supaya DPR mencabut rencana revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dari Prolegnas 2012. 

Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT) menyatakan bahwa peran SBY dalam persoalan itu lebih pada tipe mediator otoritatif  (authoritative mediator), yang kadang disebut mediator berwibawa. Artinya, mediator itu datang dari kalangan yang sangat berpengaruh, berkedudukan amat kuat, dan punya kapasitas besar untuk mengarahkan para pihak yang berseteru (Polri dan KPK) menuju ke hasil perundingan melalui pengambilan keputusan bersama.
Konflik antara Polri dan KPK memancing perhatian publik. Beberapa pihak berpendapat langkah SBY kurang cepat menengahi konflik itu. 

Tapi sebagai mediator otoritatif, SBY memang perlu kehati-hatian, kecermatan, dan banyak pertimbangan. Terlebih persoalan itu menyentuh tiga konflik kepentingan dasar manusia/ institusi. 
Pertama; konflik sebagai persepsi. Artinya persoalan (legalitas lembaga yang berhak mengusut kasus simulator SIM) itu diyakini dan dipahami oleh kebutuhan, kepentingan, keinginan atau nilai-nilai dari seseorang/ korps yang berbeda, atau tidak sama dengan pihak lain, dalam konteks ini adalah KPK.

Kedua; konflik sebagai perasaan. Artinya, konflik itu membuahkan reaksi emosional terhadap situasi atau interaksi yang memperlihatkan ketidakcocokan. Reaksi ini diwujudkan dalam rasa takut, pahit, dan sikap tidak suka (antipati).

Ketiga; konflik sebagai tindakan, yakni ekspresi perasaan, yang mengungkapkan persepsi ke dalam sebuah tindakan guna mendapatkan suatu kebutuhan (kebutuhan dasar, kepentingan dan kebutuhan akan identitas) yang berisiko memasuki wilayah kebutuhan lembaga/ orang lain. 
Konflik bisa menyangkut siapa saja, baik unsur pemerintah, swasta, maupun individu. Yang disebut para pihak pun bisa terdiri atas lebih dari dua.

 Pemicu konflik akan muncul bila satu pihak atau lebih merasa ada perbedaan penafsiran, kesalahpahaman, ketidakjelasan pengaturan, ketidakpuasan, ketersinggungan, kecurigaan dan lain-lain. 
Apakah ’’harus mutlak’’ SBY, sebagai mediator otoritatif, yang bisa menyelesaikan konflik Polri-KPK? Tidakkah Polri dan KPK cukup hanya melihat butir-butir regulasi dan legalitas hukum? Seberapa besar dan penting egoisme sektoral hingga menihilkan peran peraturan dan perundang-undangan?

Sebenarnya proses mediasi konflik itu tidak mutlak harus dilakukan SBY sebagai mediator otoritatif mengingat masih ada dua tipe mediator yang sama-sama bisa membantu. 
Pertama; mediator jaringan sosial (social network mediator). Para pihak yang berseteru bisa memilih mediator tipe ini, yang sudah mereka kenal. Mediator ini bisa datang dari lingkungan atau tokoh yang dipercaya oleh para pihak, semisal pemuka agama, atau tokoh masyarakat dan organisasi. 

Kedua; mediator mandiri (independent mediator). Kadang para pihak yang bersengketa  ingin menunjukkan ketransparanan dan mereka memilih penengah profesional. Mediator tipe ini benar-benar tak memiliki hubungan apa pun dengan para pihak yang bersengketa, semisal jasa mediator di dalam dan luar Pengadilan Negeri.

Akar Konflik

Para pihak yang berkonflik bisa menyepakati untuk memilih mediator, bergantung pada substansi persoalan. Ada beberapa alasan yang membuat para pihak yang berkonflik belum optimal memanfaatkan peran mediator, di luar alasan gengsi atau egoisme sektoral/ individu. 
Pertama; pihak yang terlibat konflik belum memahami peran penting mediator yang bisa membantu menyelesaikan persoalan.   

Kedua, para pihak yang berseteru belum memercayai eksistensi mediator untuk menyimpan kerahasiaan yang menjadi sumber konflik. Ketiga; para pihak masih punya anggapan bahwa konflik bisa terselesaikan dengan sendirinya, tanpa bantuan pihak luar. 

Keempat; kekurangpedulian para pihak itu terhadap konflik sehingga titik api persoalannya tidak benar-benar padam. Ketidaktuntasan itu membuat konflik ibarat bom waktu yang sewaktu-waktu bisa kembali berkobar, bahkan dalam eskalasi lebih besar. 

Kompleksitas konflik/sengketa yang terjadi terkait dengan dinamika kehidupan masyarakat bisa cepat diidentifikasi akar persoalannya kalau para pihak tersebut jeli melihat tipologi penanganan konflik, baik terkait upaya pencegahan, pengelolaan, maupun penyelesaiannya.

Hal itu mengingat bahwa konflik bisa memunculkan kepentingan yang berbeda, dari aspek substantif, prosedur, hingga aspek psikologis. Kondisi itulah yang mendorong perlunya mediator untuk mengidentifikasi pokok masalah sebagai problem bersama, membantu mengubah pandangan dari negatif ke positif, sekaligus mengalihkan dari masa lalu ke masa sekarang, serta masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar