Kamis, 01 November 2012

Nalar Reduksi Bibliolateri


Nalar Reduksi Bibliolateri
Asep Salahudin ;  Dekan di IAILM Tasikmalaya
MEDIA INDONESIA, 31 Oktober 2012



DALAM kehidupan sehari-hari, baik se bagai individu atau pun bagian dari masyarakat dan bangsa, kita acap kali dihinggapi berbagai masalah. Dalam penyelesaiannya, tidak sedikit yang dilakukan ialah jalan reduksi: bukan pikiran kita yang diperluas untuk melihat hal ihwal dari berbagai sudut pandang, melainkan masalah itu dipaksakan agar masuk ke pikiran kita baik dengan cara penafsiran parsial (sepotong-sepotong) ataupun karena diacukan ke haluan kepentingan kita. Hal seperti itulah yang disebut dengan bibliolateri.

Ada sebuah cerita, seperti ditulis Jusuf Sutanto yang menggambarkan bibliolateri (2004), tentang seorang pasien di rumah sakit jiwa menemui dokter jaga. Sang pasien berkata, “Dokter, kan saya sudah mati.“ Dokter berusaha meyakinkan bahwa si pasien itu masih hidup, tapi ia tetap menyangkal. Sang dokter berkata, “Baiklah, orang mati tidak mengeluarkan darah karena beku.“ Lalu dengan sigap ia menusukkan jarum ke tangannya dan ketika melihat darah segar menetes, ia berkata, “Oh, kalau begitu saya keliru, orang mati ternyata darahnya mengalir.“

Tentu lewat bibliolateri, alih-alih akan terpecahkan secara komprehensif, masalah itu justru semakin kusut masai. Karena pemecahan tidak ditata dengan cara yang benar dan holistis, dicarikan akar persoalannya dengan tuntas dan jernih, akhirnya masalah semakin membesar. Biasanya kalau sudah besar, masalah itu sulit dibenahi.

Orang arif sering memberikan petuah, sebelum menjadi besar dihentikan sejak awal. Dalam makna positif diteguhkan bahwa memperbaiki yang besar tidak mungkin kalau yang kecil diabaikan. Kecil kemungkinan terwujud negara yang sejahtera kalau miniatur dari negara itu (keluarga) justru `perang' setiap saat. Bagaimana dapat memiliki DPR yang jujur dan amanah seandainya partainya sendiri menjadi sarang penyamun?

Persis yang dahulu dinasihatkan Konfusius, “Orang zaman dahulu yang hendak memperbaiki dunia, ia lebih dahulu mengatur negerinya. Untuk mengatur negerinya, ia lebih dahulu membereskan rumah tangganya. Untuk membereskan rumah tangganya, ia lebih dahulu membina dirinya. Untuk membina dirinya, ia lebih dahulu meluruskan hatinya. Untuk meluruskan hatinya, ia lebih dahulu memantapkan tekadnya. Untuk memantapkan tekadnya, ia lebih dahulu mencukupkan pengetahuannya dan untuk mencukupkan pengetahuannya ia meneliti hakikat setiap perkara. Dengan meneliti hakikat tiap perkara, cukuplah pengetahuannya. Dengan cukup pengetahuannya, ia dapat memantapkan tekadnya. Dengan memantapkan tekadnya, ia dapat meluruskan hatinya.

Dengan hati yang lurus, akan dapat membina dirinya sehingga dapat membereskan rumah tangganya dan setelah itu mengatur negaranya sehingga tercapailah damai di dunia. Karena itu, dari raja sampai rakyat jelata, ada satu kewajiban yang sama, yaitu mengutamakan pembinaan diri sebagai pokok. Adapun dari pokok yang kacau itu tidak pernah dihasilkan penyelesaian yang teratur baik, karena hal itu seumpama: menipiskan benda yang seharusnya tebal dan menebalkan benda yang seharusnya tipis. Sesungguhnya, untuk memperoleh kegemilangan, itu hanya bergantung pada usaha orang itu sendiri.“

Fenomena Hari Ini

Praktiknya, kita sering, dalam kearifan perenial Sunda ngarawu ku siku, ingin berbicara yang besar, global, dan universal, sedangkan yang mikro dan kecil diabaikan. Akhirnya semua menjadi tidak selesai, teu kaditu teu kadieu, ngabuntut bangkong.

Fenomena itulah yang terjadi hari ini. Orang akhirnya lebih terampil mengkritik orang lain, sedangkan dirinya sendiri justru banyak menyimpan masalah yang tidak kalah aibnya. Ia sibuk berbicara ke luar dan tidak pernah merefleksikan ke dalam. Dengan riang menertawakan yang `lain', padahal sesungguhnya seluruh tindakan kita layak ditertawakan yang lain itu.

Fenomena itulah yang pada gilirannya telah menjebak kita dalam situasi yang penuh dengan ambiguitas, paradoksal, dan serbaaneh. Coba kita tengok, bagaimana ceritanya t bangsa yang menempatkan kesadaran ilahiah sebagai sila pertama (ketuhanan yang maha esa), tapi dalam praktiknya kita sebagai masyarakat tak ubahnya dengan negara yang tidak memiliki keinsafan ilahiah.

Korupsi yang menjamur, kekerasan yang terus dirayakan untuk menuntaskan hal ihwal, kebohongan yang nyaris merata di semua kalangan, absennya kejujuran dan ketimpangan yang kian menggila, serta kegaduhan ritus formalistis yang abai terhadap pesan substantifnya merupakan alamat utama dari ambiguitas bernegara, bermasyarakat, dan berpribadi itu.

Coba kita cermati apa yang tidak cacagnangkaeun hari ini? Kasus hukum terutama yang menjerat para petinggi banyak yang tidak selesai (hukum tidak membersitkan keadilan). Politisi yang dipilih secara langsung ternyata tidak menjadi garansi hidup menjadi lebih santun. Ekonomi juga sama, bukannya kesejahteraan yang didapatkan, melainkan kemiskinan yang kian massal.
Pun keagamaan, realitasnya semarak upacara keagamaan tidak sebanding lurus dengan tegaknya etika sosial, dan masih banyak contoh lainnya.

Menata Pikiran

Intinya, itu tadi, bibliolateri. Untuk memecahkan masalah, dicari akarnya dari luar, dipaksakan untuk masuk pikiran, bukan sebaliknya. Itu persis perdebatan tentang orang buta ketika memegang gajah. Kesimpulannya berbeda-beda, bukan salah dan gajahnya yang berbeda, melainkan persepsinya berbeda karena yang dijadikan pegangan tidak sama.

Atau, kisah ihwal dua anak sekolah yang bertengkar tentang apakah bendera yang membuat angin tertiup atau angin tertiup yang melantarkan bendera berkibar. Tentu yang benar ialah jawaban arif sang guru, “Bukan angin dan bukan bendera, melainkan pikiranmu yang berkibar ke arah mana!“
Alhasil, nalar reduksi bibliolateri: inilah akar dari keterpurukan bangsa kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar