Sabtu, 17 November 2012

Muhammadiyah Menjemput Perubahan Zaman


Muhammadiyah Menjemput Perubahan Zaman
Ahmad Fuad Fanani ;  Direktur Riset MAARIF Institute for Culture and Humanity, 
Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
SINDO, 17 November 2012


Pada 18 November 2012 ini, Muhammadiyah akan menapaki usianya yang ke-100. Bahkan, jika menggunakan kalender Hijriah, usia Muhammadiyah saat ini sudah 103 tahun. 

Berbagai kegiatan diselenggarakan untuk menyambut Milad Akbar 1 Abad Muhammadiyah, dari silaturahmi milad akbar, konferensi internasional, World Peace Forum (WPF), hingga berbagai diskusi dan pengajian. Banyak spanduk terbentang di berbagai tempat untuk menyambut Milad Akbar 1 Abad dengan tema “Sang Surya Tiada Henti Menyinari Negeri” ini. 

Selain menjadi rasa syukur dan syiar dakwah, hendaknya Milad 1 Abad ini juga ditujukan sebagai sarana refleksi dan proyeksi perjalanan Muhammadiyah selama ini dan masa depan. Perjalanan gerak dan kiprah Muhammadiyah yang sudah berjalan selama 100 tahun, tentu saja bukan prestasi yang biasa saja.Itu merupakan akumulasi dari cita, visi, misi, komitmen, serta ghirah para pendiri yang kemudian dilanjutkan oleh para warga dan aktivisnya sebagai kader pelopor, pelangsung,dan penyempurnacita- citaMuhammadiyah. 

Tentu,tanpa adanya eksistensi dan komitmen para kadernya, Muhammadiyah akan surut bersama waktu sebagaimana organisasi yang seumur dengannya. Kita bisa membandingkan, misalnya dengan organisasi serupa yang lahir pada tahun-tahun kelahiran Muhammadiyah seperti Syarikat Islam dan Boedi Oetomo.

Kedua organisasi besar yang pernah mengalami masa kejayaan dan memiliki pengikut yang meluas seantero Nusantara itu, sekarang itu tampak tidak sebesar Muhammadiyah. Bahkan, Syarikat Islam yang telah berulang kali bermetamorfosis menjadi partai politik itu, saat ini menjadi partai yang berganti- ganti nama karena sering tak lolos electoral threshold pemilu. Boedi Oetomo pun sulit dilacak jejak dan kiprahnya dewasa ini di masyarakat. 

Peran Muhammadiyah 

MenurutBuyaSyafi’iMa’arif (2010),alasan yang paling logis yang menjadikan Muhammadiyah tetap mampu berkiprah dan menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat bagi umat Islam dan bangsa Indonesia, adalah kecerdikan memilih visi dan misi gerakannya.Ketika KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah, beliau sudah memikirkan dan menekankan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi yang bertumpu pada kekuasaan dan tidak menjadikan kekuasaan sebagi tumpuan dan tujuan gerakannya. 

Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagamaan yang bervisi melakukan khidamah dalam bidang pembaruan keagamaan melalui kiprahnya dalam bidang pendidikan,kesehatan, ekonomi keumatan, dan amal sosial lainnya. Dengan pilihan yang cerdik dan cerdas itu, Muhammadiyah bisa terus bereksistensi dan menyumbangkan sesuatu yang positif bagi pencerdasan dan kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia. 

Oleh karena itu, kita bisa melihat betapa KH Ahmad Dahlan dengan cerdas mengadopsi sistem pendidikan modern dan tata cara organisasi modern untuk diterapkan di kalangan umat Islam. Dengan menggunakan sistem pendidikan modern yang berbasis pada penyelenggaraan kelas-kelas dan pengenalan baca tulis huruf latin serta tata kelola organisasi itu, umat Islam diharapkan bisa berdiri sama tinggi dan memiliki rasa percaya diri yang sama dengan bangsa Barat dan kaum penjajah yang saat itu mencengkeram Indonesia. 

Berkaitan dengan itu, menjadi tepat apa yang sering dikemukakan oleh Buya Syafi’i Ma’arif dalam Forum Tanwir Denpasar 2002 tentang perbedaan dakwah dan politik. Menurut Buya Syafi’i: “Politik mengatakan: si A adalah kawan, si B adalah lawan. Dakwah mengoreksi: si A adalah kawan, si B adalah sahabat. Politik cenderung berpecah dan memecah. Dakwah merangkul dan mempersatukan”. 

Kita bisa membayangkan, bagaimana nasib dan jejak historis Muhammadiyah jika sejak awal memilih jalur politik dibandingkan jalur dakwah dan sosial kemanusiaan. Maka itu, pilihan jeli dari KH Ahmad Dahlan dan yang dilanjutkan dengan penuh amanah oleh para kader penerus dan pelangsung cita-cita Muhammadiyah bisa jadi salah satu rahasia kenapa Muhammadiyah terus bisa eksis hingga hari ini. 

Pilihan menjadi organisasi sosial keagamaan dan bukan organisasi politik itu, juga bisa memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya kemandirian umat bagi warga Muhammadiyah dan umat Islam di Indonesia. Berdasarkan studi yang banyak dilakukan para pakar seperti Clifford Gertz,Mitsuo Nakamura,James Peacock, serta yang terbaru oleh Kim Hyung-jung,tampak bahwa Muhammadiyah relatif memiliki otonomi luas dan semangat egalitarianisme dan serta tidak bergantung pada negara. 

Bahkan,Clifford Gertz ketika melakukan penelitian di Mojokuto menemukan para pedagang Islam yang saleh dan berkomitmen pada kemajuan yang sepertinya terinspirasi oleh semangat Calvinisme, dan mereka itu rata-rata adalah warga Muhammadiyah. Hal itu menunjukkan dengan jelas, bahwa visi untuk memandirikan umat dengan tidak bergantung pada negara, sebetulnya sudah tampak pada masa-masa formatif Muhammadiyah. 

Tantangan Muhammadiyah 

Perjalanan 100 tahun pertama Muhammadiyah yang boleh dibilang cukup membanggakan dan kontributif itu, tentu saja tidak secara otomatis akan berulang lagi pada 100 tahun kedua. Jika Muhammadiyah terlalu terlena, atau stagnan dalam menjalankan kiprahnya untuk umat Islam, Indonesia, dan dunia internasional,maka Muhammadiyah tentu akan diam di tempat atau bisa jadi tergulung atau tergeser oleh organisasi lain yang lebih progresif.

Oleh karena itu,Muhammadiyah harus mulai serius memikirkan kira-kira apa tantangan dan peran yang layak diperankan oleh Muhammadiyah dalam era globalisasi ini. Menurut penulis, Muhammadiyah harus terus mendengungkan pentingnya kemandirian umat,pencerahan umat, pencerdasan umat, dan penyejahteraan umat dengan melihat konteks lokal, nasional, dan internasional. Dalam konteks lokal,Muhammadiyah harus membuka diri dan terlibat aktif dalam pemberdayaan ekonomi kerakyatan, peningkatan pendidikan, pengawalan moral kekuasaan,serta penciptaan pemerintahan yang transparan. 

Karena saat ini era otonomi daerah dan kepemimpinan nasional tampak hanya sibuk beretorika dan memoles citra tanpa bekerja nyata, maka kepemimpinan lokal adalah harapan yang masih mungkin untuk memperbaiki nasib negeri ini. Untuk konteks nasional, dalam situasi negara yang sedang oleng,tanpa ketegasan, serta rakyat yang setiap hari dijejali dengan isu-isu yang berganti-ganti yang sering memusingkan itu, hendaknya Muhammadiyah tetap memperteguh dirinya sebagai kekuatan civil society yang tangguh dan penuh komitmen. 

Menurut Azyumardi Azra (2010), dengan kekuatannya dan jaringan organisasinya yang tersebar di seluruh Indonesia, Muhammadiyah bisa memberikan kontribusi besar pada masyarakat melalui dakwah, pendidikan, penyantunan sosial, pengembangan ekonomi, dan amal usaha lainnya untuk penataan masyarakat yang lebih baik. Dengan peran itu, masyarakat tidak terjebak pada permainan negara dan partai politik yang sering berpurapura membela dan memberdayakan rakyat. 

Pada tataran internasional, kiprah dan peran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi Islam tentu harus lebih ditingkatkan.Muhammadiyah harus mampu berperan aktif dalam kerja sama dan langkah taktis untuk pembelaan dunia Islam dan penciptaan peradaban baru yang lebih humanis dan berkeadilan. 

Selain itu,Muhammadiyah hendaknya juga mulai memikirkan perannya sebagai pelopor untuk kerja sama global lintas agama dan negara untuk penanganan isu-isu bersama seperti yang tertera dalam Target MDGs: upaya mengakhiri kemiskinan dan kelaparan, tersedianya akses pendidikan bagi seluruh komponen masyarakat, penghormatan dan pengakuan terhadap hakhak perempuan, peningkatan akses dan pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak, penanggulangan masalah HIV/AIDS, pelestarian lingkungan, dan peningkatan kerja sama global untuk misi kemanusiaan. Wallahu A’lam Bisshawab. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar