Menelaah
Putusan MK atas BP Migas
Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Ilmu Hukum, Universitas
Indonesia
|
SINDO,
19 November 2012
Mahkamah
Konstitusi (MK) telah menjatuhkan putusan yang menyatakan keberadaan Badan
Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) inkonstitusional.
Menjadi pertanyaan, apakah inkonstitusionalitas BP Migas telah sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemohon dalam permohonan uji materi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Inkonsistensi Permohonan uji materi terhadap UU Migas oleh pemohon terfokus pada tiga hal. Pertama, memohon MK untuk membatalkan ketentuan tentang Kontrak Kerja Sama (KKS) atau kontrak lainnya terkait dengan migas. Alasannya karena negara yang berkontrak. Menurut pemohon seharusnya bukan negara yang berkontrak, melainkan badan usaha milik negara, meskipun BUMN yang berkontrak ini tidak harus tunggal (satu BUMN saja). Kedua, menyatakan batal ketentuan yang mengatur keberadaan pelaku yang melakukan kegiatan migas di hulu dan hilir, yaitu BP Migas, badan usaha, dan badan usaha tetap. Pemohon menghendaki agar di sektor migas, BUMN yang mendapat kuasa dari negara sebagaimana diatur dalam UU Migas lama, yaitu Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 44/Prp/1960. Selanjutnya, pemohon menghendaki agar BUMN diberi prioritas dalam pengelolaan sektor migas mengingat para kontraktor saat ini lebih banyak berasal dari luar negeri. Terakhir, menyatakan batal pasal yang mengatur kewajiban pemerintah untuk memberi tahu KKS yang telah ditandatangani kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Para pemohon menginginkan agar KKS harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari DPR, bukan sekadar memberi tahu setelah ditandatangani. Atas permohonan ini, MK mengabulkan permohonan kedua. Hanya, MK sepertinya tidak merespons esensi dari permohonan kedua dari pemohon, yaitu agar pelaku usaha di sektor migas dilakukan oleh BUMN dan tidak didominasi oleh pelaku usaha asing. Memang betul dalam permohonan pemohon, BP Migas diminta untuk dinyatakan tidak konstitusional. Pemohon sepertinya menghendaki Pertamina diberi kewenangan seperti sebelum UU Migas. Padahal, Pertamina saat ini berbeda dengan Pertamina masa sebelum UU Migas. Pertamina saat ini merupakan sebuah perseroan terbatas yang dimiliki oleh negara dan masuk kategori BUMN. Sementara itu, Pertamina sebelum masa UU Migas merupakan perusahaan negara yang khusus diatur dalam UU, yaitu UU Nomor 8 Tahun 1971. Di sini, kekeliruan pemohon yang meminta agar BP Migas digantikan dengan BUMN. Bila BUMN yang dikehendaki maka BUMN tersebut tunduk pada UU BUMN, bahkan bila dalam bentuk perseroan tunduk pada UU Perseroan Terbatas. Pertamina berdasarkan UU 8/1971 bukanlah perusahaan negara yang tunduk pada UU No 9 Tahun 1969 tentang Bentuk- bentuk Perusahaan Negara, yang kemudian pada 2003 diganti dengan UU BUMN. Pertamina merupakan perusahaan negara yang khusus dan istimewa. Di samping itu, agar peran BP Migas tergantikan maka pemohon mengargumentasikan bahwa BP Migas tidak efisien dan dapat melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Salah satu contohnya terkait dengan masalah cost recovery dari perusahaan asing dengan mudah disetujui. Bila mencermati putusan MK, MK sebenarnya tidak mengabulkan permohonan kedua dari pemohon. MK justru membuat penilaian sendiri bahwa keberadaan BP Migas tidak konstitusional. Sebagai alasannya adalah BP Migas tidak efisien dan memiliki potensi untuk menyalahgunakan kekuasaan. Padahal soal tidak efisien dan potensi penyalahgunaan kekuasaan, lembaga yang berwenang menangani adalah Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Di sini terjadi ketidakkonsistensian antara permohonan dari pemohon, dan putusan yang dibuat oleh MK. Pembubaran BP Migas oleh MK justru bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh pemohon. Kedudukan negara oleh MK,dalam istilah pemohon, telah “sangat direndahkan martabatnya”. Ini mengingat sekarang negara secara langsung yang berkontrak dengan kontraktor. Bila terjadi sengketa, baik di pengadilan maupun arbitrase, maka negara yang menjadi pihak dan berhadapan dengan kontraktor. Padahal, yang dikehendaki oleh pemohon adalah negara ataupun BP Migas sebagai pihak yang mewakili negara tidak berkontrak langsung dengan kontraktor. Pemohon menginginkan agar BUMN-lah yang berkontrak dengan kontraktor dalam KKS. Bila ditelaah lebih jauh, permohonan pemohon juga janggal. Janggal karena bila KKS dilakukan oleh BUMN dengan kontraktor maka menjadi pertanyaan, mengapa DPR harus memberikan persetujuan dalam proses tersebut sebagaimana dimohonkan dalam permohonan ketiga pemohon? Bukankah entitas BUMN dan entitas DPR merupakan dua entitas yang berada dalam lapangan hukum yang berbeda? Satu perdata dan satu lagi ketatanegaraan. Bubur Uraian di atas tentu tidak akan mengembalikan keberadaan BP Migas. Nasi telah menjadi bubur. Kini yang harus dipikirkan adalah kedudukan negara dalam KKS, bahkan kontrak-kontrak lain yang dibuat oleh eks BP Migas. Pemerintah harus dapat memitigasi risiko ketika mitranya mengajukan gugatan. APBN tidak boleh tergerus untuk membayar ganti rugi yang seharusnya untuk membangun negeri. Masalah lain adalah sumber daya manusia di BP Migas. Organisasi besar seperti BP Migas tentu banyak orang yang bergantung kehidupannya. Tidak seharusnya MK memutus serta-merta BP Migas bubar setelah dinyatakan inkonstitusional. Bila bijak, saat MK menyatakan BP Migas inkonstitusional maka proses transisi harus diserahkan kepada pemerintah. MK tentu boleh menentukan jangka waktu atas transisi ini. Pengalaman MK sendiri ada.Ketika Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam UU Komisi Pemberantasan Korupsi dinyatakan inkonstitusional, MK memberi waktu kepada pemerintah dan DPR selama tiga tahun untuk membentuk UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Di samping itu,masalah lain lagi adalah putusan pembubaran BP Migas juga dimaknai secara politis. Ada sejumlah kalangan yang mempertanyakan mengapa para ahli yang dihadirkan oleh pemohon, yang saat itu merupakan para petinggi di pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati, bisa meloloskan UU Migas dengan BP Migasnya? Bukankah saat itu mereka memiliki kewenangan untuk menghentikan UU Migas bila tidak sesuai dengan apa yang mereka katakan dalam kesaksian mereka di MK? Apakah ada pembiaran dari pihak mereka? Apakah ini upaya untuk mengoreksi kesalahan mereka di masa lalu? Inilahhebatnya diIndonesia. Dari putusan MK ini, tentu yang mendapat kredit adalah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.Pemerintahan ini yang siap melakukan koreksi atas kesalahan produk UU masa pemerintahan Wahid-Megawati. Tidak heran bila tidak ada perlawanan dari Presiden SBY. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar