Rabu, 21 November 2012

Kurikulum yang Multikultural


Kurikulum yang Multikultural
Sri Lestari ;  Mahasiswa Program Pascasarjana Prodi IPS Universitas Negeri Semarang (Unnes), Guru SD Hj Isriati Baiturrahman 2 Semarang
SUARA MERDEKA, 20 November 2012


Pemerintah sudah kali kesembilan mengubah kurikulum sejak Indonesia merdeka. Tersingkat, kurikulum 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang hanya berumur dua tahun.  Pada 2006, KBK berubah menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). 

Bila kita cermati, tidak ada perubahan mendasar, kecuali penambahan jumlah mata pelajaran (mapel), bukan pengembangan kualitas isi, dan penambahan jam belajar menjadi pokok bahasan (SM, 07/11/12). Dalam pandangan penulis, terkait dengan pengembangan kurikulum, rasanya kurang tepat kalau hanya mengejar kuantitas (jumlah jam pelajaran).

Pemerintah pasti melibatkan pakar ekonomi, sosial, psikologi, iptek, dan sebagainya dalam penyusunan kurikulum kendati pada tahap akhir lebih banyak melibatkan peran pakar pendidikan profesional. Program kurikulum haruslah menyajikan program yang memungkinkan terjadinya transformasi sosial.  Jika tidak tanggap maka kita akan hanyut ditelan gelombang globalisasi.

Dewasa ini masyarakat dunia sudah melebur dalam satu komunitas, yang dalam bahasa Prof Tilaar disebut global village. Berkait dengan realitas tersebut penyusunan kurikulum harus membuka diri dari berbagai kekuatan luar. Kurikulum juga harus peka terhadap perubahan sosial agar tidak tertinggal.
Angka pengangguran yang masih tinggi, pemujaan kepada ijazah formal, pemalsuan ijazah dan berbagai gejala negatif yang lain menjadi indikator kegagalan kurikulum forma. Realitasnya, kurikulum yang sekarang diterapkan belum sesuai dengan perubahan sosial di masyarakat, apalagi bila dikaitkan dengan kepesatan perubahan global.

Melihat kondisi itu, terasa cocok menerapkan kurikulum pendidikan multikultural kepada masyarakat Indonesia yang majemuk. Terlebih dewasa ini pemaknaan budaya kerap direduksi menjadi hanya sebatas kesenian berikut adat-istiadat dengan berbagai benda tradisionalnya. Padahal kebudayaan yang multi tersebut juga menyangkut cara berpikir, pengetahuan, pandangan hidup, pranata, dan nilai-nilai.

Jika pemerintah ingin mewujudkan pendidikan yang manusiawi berarti harus siap menghadapi keberagaman. Mengaitkan dengan tujuan itu, berarti perlu menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan kondisi masyarakat dan lingkungan secara nyata. Cara itu bisa ditempuh lewat pendekatan multikultural yang menekankan pada pengembangan kesadaran dan pengalaman dalam kehidupan sosial senyatanya.

Pribadi Tangguh

Jawa Tengah memiliki banyak potensi dan keunggulan, baik sumber daya alam maupun hasil kerajinan khas, dan beberapa sudah memasuki pasar global. Kenyataan ini  seharusnya menjadi perhatian pakar pendidikan karena bila sistem pendidikan menganut asas desentralisasi maka selayaknya potensi dan keunggulan daerah itu harus bisa menjadi bagian dari kurikulum.

Hal ini mengingat anak didik nantinya terjun ke masyarakat dengan segala permasalahan, sehingga harus memiliki bekal yang memadai dari sekolah supaya bisa menjadi pribadi yang tangguh, mandiri, bertanggung jawab pada kehidupan pribadi dan sosial.

Realitas di lapangan, pemerintah masih menjejali anak didik dengan berbagai konsep dan teori tapi kurang mengembangkan aspek keterampilan dan kecakapan hidup mereka. Dalam sistem pendidikan yang terdesentralisasi, seyogianya pemerintah mengembangkan keberagaman potensi di Jawa Tengah. Upaya itu supaya pada masa mendatang peserta didik bisa merasakan manfaat potensi daerahnya.

Potensi itu semisal industri batik, tempat wisata, makanan, kerajinan tangan dan sebagainya. Pemerintah bisa mengembangkan keragaman potensi ini pada diri anak melalui jalur pendidikan formal, dengan catatan terus menyesuaikan muatan kurikulum itu dengan perubahan zaman. Pemilihan kebijakan itu bisa membuat potensi Jawa Tengah makin berkembang di tengah global village.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar