Jihad
Antikorupsi Berbasis Keluarga
Muh Kholid AS ; Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Jawa Timur
|
JAWA
POS, 19 November 2012
PADA 18 November 2012 kemarin, organisasi Muhammadiyah tepat berusia 100
tahun versi kalender miladiyah. Setelah melewati satu abad perjalanan,
kontribusi aktif Muhammadiyah pada perbaikan kondisi kebangsaan tetap menjadi
prioritas utama. Di antara tantangan kebangsaan kontemporer yang harus
dijawab adalah perlawanan masif terhadap korupsi. Terlebih ketika integritas
lembaga penegak hukum banyak dipertanyakan seiring dengan keterlibatan
oknumnya dalam kasus yang seharusnya diberantas.
Salah satu upaya pencegahan (preventif) strategis yang bisa dilakukan Muhammadiyah adalah menggalakkan dan mewujudkan keluarga yang berkarakter antikorupsi. Individu yang punya teladan kebaikan dalam berkeluarga adalah modal terbentuknya keluarga sakinah, yang berlanjut ke qaryah thayyibah, serta baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Peran yang terlihat kecil, tapi sangat fundamental, inilah yang harus dimainkan keluarga warga Muhammadiyah sebagai benteng antikorupsi. Sebagaimana yang disinggung dalam Pedoman Hidup Islami Muhammadiyah, keluarga merupakan tiang utama kehidupan umat dan bangsa. Ia menjadi tempat sosialisasi nilai-nilai yang paling intensif dan menentukan, bahkan lembaga pendidikan pertama yang dialami dan diterima oleh setiap manusia. Terlebih Islam juga mengingatkan agar setiap muslim selalu mendidik keluarganya agar mereka terhindar dari perilaku negatif atau nerakawi, yang salah satunya adalah korupsi (QS At-Tahrim: 6). Urgensi membangun keluarga antikorupsi merupakan jawaban atas semarak korupsi, yang salah satu faktor pemicunya adalah keluarga. Menurut budayawan Achudiat (2008), salah satunya adalah ikatan kekeluargaan yang terkadang melewati batas. Berbeda dengan term "keluarga" di Barat yang terbatas bapak, ibu, dan anak, di Indonesia menganut keluarga besar: kakek, nenek, kakek buyut, nenek buyut, kakak, adik, kakak ipar, adik ipar, mertua, keponakan, paman tua, paman muda, tante, cucu, dan seterusnya. Jika ada salah satu anggota keluarga yang mendapatkan kemakmuran, kehormatan, dan kesuksesan, dipandang tak signifikan jika anggota keluarga besarnya tidak ikut menikmati. Lingkaran keluarga semacam inilah yang melahirkan nepotisme begitu kental di Indonesia bersanding kuat dengan korupsi. Ketika seseorang menjadi pejabat, seseorang punya perasaan malu yang luar biasa jika tidak mampu mengangkat martabat anggota keluarga besarnya. Perasaan ini berbuah pada keberadaan anggota keluarga besar selalu hadir di sekeliling pejabat di negeri ini. Punya Tradisi Antikorupsi Keluarga Muhammadiyah mestinya bisa berdiri di garda depan untuk menjadi pencegah korupsi. Bukan karena alasan teologis yang mengajarkan korupsi sebagai tindakan mungkar, tetapi juga didukung tradisi dan budaya antikorupsi yang telah mendarah daging dalam Muhammadiyah. Muhammadiyah memiliki mentalitas memberi, bukan meminta, yang oleh mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas (2011) disebut sebagai tradisi antikorupsi yang sangat kuat. Tradisi antikorupsi ini secara mudah bisa dibuktikan dengan setiap kegiatan Muhammadiyah, para peserta sering membayar sumbangan wajib perorangan maupun organisasi. Tak hanya itu, dalam menjalankan kegiatan organisasi pun, banyak pimpinan yang harus merogoh koceknya sendiri. Bukannya organisasi memberi kepada warganya, tapi umat Muhammadiyah yang justru memberi (menghidupi) organisasi. Semangat "memberi" dan bukan menerima ini juga bisa terlihat dari model kelahiran amal usaha Muhammadiyah (AUM) yang "mengaum" dari bawah. Pendirian lembaga pendidikan, sosial, kesehatan, ekonomi, masjid, musala, dan AUM lainnya -yang kemudian diserahkan kepada organisasi Muhammadiyah-, sering berawal dari semangat "memberi" dari warga dan simpatisannya. Hanya segelintir cerita pendirian AUM yang dibangun atas dasar surat keputusan atau instruksi Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Tradisi besar organisasi yang antikorupsi ini seharusnya bisa ditansformasikan dalam kehidupan berkeluarga warga Muhammadiyah. Adalah penting setiap pasangan suami-istri untuk saling mengingatkan dan menguatkan agar pasangannya tidak terlibat korupsi. Sebab, anggota keluarga bisa menjadi salah satu pihak yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi, baik secara langsung maupun tidak. Seorang istri, misalnya, sering memengaruhi keputusan suami dan begitu juga sebaliknya, yang jika tidak dibarengi kemawasan diri akan mendorong pada tindakan korupsi. Ibarat dua sisi mata uang, istri atau suami bisa memengaruhi pasangan masing-masing untuk melakukan korupsi atau tidak. Sudah tentu kemawasan ini juga dibarengi dengan pembangunan karakter yang sederhana, jujur, dan bertanggung jawab. Keluarga antikorupsi adalah keluarga yang tidak mengukur segala sesuatu dengan materi. Dalam keluarga Muhammadiyah, orang tua mesti mengajarkan kepada anaknya bahwa materi bukanlah tujuan (goal), tetapi sebagai sarana mencapai tujuan. Begitu pula dalam memaknai kesuksesan, keluarga Muhammadiyah juga harus mampu melihatnya bukan sekadar banyaknya materi yang dipunyai. Ketika membimbing anak untuk bercita-cita, misalnya, keluarga mengarahkan anaknya pada profesi yang banyak memberikan manfaat bagi orang lain. Bukan karena profesi tersebut prospektif dan menjanjikan materi yang tak sedikit. Mampukah keluarga-keluarga Muhammadiyah yang ditopang tradisi organisasi yang antikorupsi mampu melaksanakan tugas besar itu? Kalau belum mampu, setidaknya jangan menjadi bagian dari masalah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar