Inefisiensi
PLN
Nengah Sudja ; Mantan Kepala Lembaga Masalah Ketenagalistrikan PT
PLN
|
KOMPAS,
07 November 2012
Menjelang Hari Listrik Nasional lalu, yang
jatuh pada 27 Oktober, media massa memberitakan bahwa DPR akan memanggil
Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara.
Pemanggilan itu terkait
laporan Badan Pemeriksa Keuangan bahwa selama 2009-2010 PLN merugi dan
mengalami inefisiensi Rp 37,6 triliun.
Masalah ini menarik untuk
ditelaah mengingat sebelum masuk PLN, direktur utama yang saat ini menjabat
sempat menyampaikan kritik bahwa pembangkit PLN salah minum solar. Justru
sekarang, PLN minum solar lebih banyak, dan menyewa lebih banyak pembangkit
diesel.
Namun, bagaimana jika
langkah itu dimaksudkan untuk menghindari pemadaman di sejumlah wilayah? Mana
yang potensi kerugiannya lebih besar: membakar BBM atau membiarkan krisis
tenaga listrik yang berakibat pemadaman?
Mari kita bandingkan nilai
gangguan listrik dengan biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi gangguan.
Apakah langkah pencegahan pemadaman listrik dengan menggunakan BBM merupakan
kebijakan yang salah dan merugikan negara?
Menggunakan BBM sebagai
bahan bakar pembangkit memang mahal. Biaya bahan bakar dalam komponen biaya
produksi listrik mencapai 30 persen. Sebagai ilustrasi pada tingkat harga solar
Rp 9.000 per liter, unsur biaya bahan bakar pembangkit menjadi 0,3 liter/kWh
x Rp 9.000 per liter > Rp 2.700/kWh. Jika dikonversikan ke dollar AS,
biaya bahan bakar pembangkit yang menggunakan solar 27 sen dollar AS/kWh
(asumsi nilai tukar Rp 10.000/dollar AS 2010-2011). Ditambah unsur biaya
modal serta biaya operasi dan pemeliharaan yang rata-rata 3 sen dollar
AS/kWh, total biaya pembangkit yang menggunakan solar mencapai 30 sen dollar
AS/kWh.
Sekarang, mari kita lihat
nilai gangguan listrik yang diakibatkan oleh pemadaman terhadap kegiatan
perekonomian yang merupakan korelasi antara tingkat pendapatan domestik bruto
(TPDB) dan pertumbuhan (growth/G) dengan tingkat pemakaian tenaga listrik
(TPL/E). Korelasi E dan G dinyatakan dengan rumus E > a.Gb. Sementara
nilai gangguan akibat pemadaman listrik atau service interuption cost
dinyatakan dengan rumus, SIC > dG/dE > G/(b.E).
Untuk Indonesia, dengan
asumsi besaran G > 2.000 dollar AS/kapita, E > 500 kWh/kapita, dan b
> 1,5 (b adalah koefisien elastisitas TPL dengan TPDB. Ketika G tumbuh 6
persen per tahun, E tumbuh 9 persen per tahun, nilai b > 9 persen/6 persen
> 1,5), besaran nilai gangguan SIC adalah 2,70 dollar AS per kWh. Jika
kita hitung nilai ekonominya, nilai gangguan listrik adalah 2,70/0,30 > 9
kali lebih besar dari pada biaya untuk mengatasi pemadaman listrik jika
memakai BBM.
Biaya pembangkitan dari
Langkah membiarkan
pemadaman merupakan upaya mikro perusahaan, sekadar untuk mengurangi pengeluaran
biaya perusahaan, minimalisasi rugi. Sementara menghilangkan pemadaman
merupakan langkah ekonomi makro untuk menghindari pengurangan pendapatan
domestik bruto nasional.
Tugas mencegah pemadaman
yang merupakan upaya penting dalam pengamanan penyediaan pasokan listrik
merupakan tugas kewajiban negara demi peningkatan kemakmuran, kesejahteraan,
dan kenyamanan warga. Pelaksanaannya wajib diutamakan oleh PLN sebagai
pelaksana penyediaan tenaga listrik di Tanah Air. Perlu dicatat bahwa nilai
gangguan listrik tidak hanya terkait biaya keekonomian, tetapi juga terkait
biaya politik, bahkan dapat berdampak pada ketahanan energi nasional.
Dari uraian di atas, upaya
menghindari gangguan dengan menggunakan BBM ”tidak salah” ketika ketersediaan
pasokan bahan bakar yang lebih murah tidak terjamin. Urusan pasokan bahan
bakar adalah kewenangan pemerintah, bukan PLN yang memiliki kewajiban public
service obligation. Namun, tentu saja ketiadaan jaminan pasokan bahan bakar
yang mampu membuat PLN efisien ini jadi pekerjaan rumah besar yang harus
diselesaikan.
Satu hal yang perlu
digarisbawahi, sejak PLN didirikan belum tersedia mekanisme penetapan tarif
dasar listrik (TDL) yang memungkinkan PLN jadi perusahaan mandiri dalam
menjalankan kewajiban pelayanan publik. Langkah utama yang perlu dilakukan
adalah depolitisasi penetapan TDL dengan mengubah peraturan perundangan. TDL
selayaknya tidak lagi ditetapkan oleh presiden dengan persetujuan DPR, tetapi
diatur dan ditetapkan oleh lembaga publik independen yang beranggotakan
perwakilan konsumen, pemasok PLN, pemerintah, ahli, dan perguruan tinggi.
Badan ini serupa dengan
Public Utility Board, yang di negara maju berhasil dalam penerapannya. Badan
ini pula yang menetapkan TDL berlandaskan asas pengembalian biaya (cost
recovery) untuk menjamin penyediaan dana pembangunan infrastruktur
ketenagalistrikan guna mencegah gagal listrik berkelanjutan. Pemerintah dan
DPR berwenang menetapkan peraturan perundangan, termasuk penetapan subsidi
dan pajak pada TDL, tetapi aspek teknis dan keuangan penetapan TDL merupakan
wewenang dan tanggung jawab lembaga publik independen.
Dengan demikian, PLN dapat
bertindak profesional, akuntabel dalam penyelenggaraan pelayanan, berani
bersikap independen tidak dikendalikan politisi, siap berdialog secara
terbuka, transparan, dan siap mengikutsertakan partisipasi publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar